Kasih Sayang Cahaya

Kasih Sayang Cahaya

Hama

Sebagian banyak orang berpikir bahwa tinggal di kampung itu lebih nyaman di bandingkan tinggal di kota, tetapi lain halnya dengan gadis berusia 23 tahun bernama Cahaya Sukma Anjani. Setiap harinya Cahaya mendengar ocehan tetangganya yang rese, di umurnya yang baru menginjak angka 23 di gunjing karena belum menikah, bagi mereka di umur segitu sudah cukup untuk menikah. Banyak juga yang umurnya baru menginjak angka 20 sudah memiliki anak, pernikahan di kampung Cahaya bagaikan perlombaan, siapa yang duluan dan siapa yang paling megah pernikahannya.

Seperti sekarang ini, Cahaya membantu Ibunya menanam singkong di ladang, menjelang ashar nanti juga dia harus ikut ke sawah bersama Adiknya yang bernama Dandi. Tetapi tetangganya mulai menggunjingnya, ada tiga orang ibu-ibu yang saling berbisik-bisik membuat Cahaya mendengus kesal.

"Lihat tuh, ibu-ibu. Gimana mau punya suami, kerjaannya di kebon terus, mana makin item lagi.. Hahaha, laki mana yang mau sama perawan tua."

"Iya, perempuan kok ireng.. Hihi.."

"Mukanya aja ireng, apalagi yang bawahnya."

Ketiga ibu-ibu itu saling melempar tawa, Cahaya yang mendengarnya pun mengepalkan tangannya, sudah cukup sabar dia mendengar hinaan mereka hanya karena dia belum menikah. Padahal, di usianya saat ini justru harus di gunakan sebaik mungkin, jangan terpengaruh dengan lingkungan orang-orang yang menikah terburu-buru. Banyak dari mereka juga yang gagal dalam pernikahan, bagi Cahaya menikah adalah ibadah dan hanya di lakukan sekali seumur hidup, bukan menikah hanya untuk melanjutkan hidup.

"Ngapain nikah buru-buru kalau akhirnya jadi janda, miris sekali ya. Jadi Jamur cuman karena liat yang lain udah nikah, duh amit-amit deh ya." Sahut Cahaya dengan wajah santainya. Tentu dia berucap seperti itu untuk menyindir salah satu biang gosip, anaknya seumuran dengannya dan memiliki anak satu, tetapi bercerai karena suaminya selingkuh.

"Hus, Neng jangan kayak gitu ah. Biarin aja atuh mereka mau ngomong apa juga, yang penting mah kita sabar aja soalnya gak ada gunanya juga." Tegur Ibu Cahaya.

"Gapapa, Bu. Biar mereka gak seenaknya terus." Ucap Cahaya kesal.

Salah satu diantara ketiganya itu merasa tersindir, ia memalingkan wajahnya yang memerah karena malu. Dua yang lainnya hanya saling senggol saja, mereka juga tahu siapa yang Cahaya sindir.

"Kamu nyindir saya, hah!" Bentak Marni.

"IYA! Emangnya kenapa? Bicara fakta aja saya mah, makanya jangan sok sibuk ngurusin kehidupan orang kalau hidupnya sendiri aja belum bener. Urusin aja tuh si Susi jamur, jangan kelayapan terus! Bunting tau rasa loh." Cahaya lantas berdiri, dia berkacak pinggang dengan wajah menantang, sudah cukup ia berdiam selama ini menghadapi hama tiga itu.

"Berani kamu ya!" Tunjuk Marni.

"Heh, Cahaya redup! Jangan so jagoan deh, gak baik ngatain anak orang jamur, nanti balik ke diri sendiri tau rasa!" Dina membela temannya, meskipun memang ucapan Cahaya adalah faktanya, dia tetap berada di pihak Marni selaku sahabat ghibahnya.

"Iya, lagian kan si Susi cantik, gak kaya kamu. Udah item, gak laku, bau keringet lagi." Timpal Sani dengan wajah julidnya.

Marni mengangkat dagunya, tangannya di lipat di depan dadanya merasa puas hati karena ada yang membelanya.

"Ceu Dinamo, mending bayar hutang deh daripada julid ke orang. Janjinya mana, hah! Katanya seminggu di bayar, ini udah sebulan gak ada tuh uang balik lagi ke aku." Cahaya menyodorkan tangannya kearah Dina, ia tersenyum miring begitu melihat wajah Dina berubah pias dan gelagapan begitu ia tagih hutangnya.

Dina dan suaminya mendatangi rumah Cahaya sebulan yang lalu, anak lelakinya yang masih remaja di tangkap polisi karena sudah membuat anak orang babak belur, untuk membebaskan putra mereka membutuhkan uang sebagai tebusannya. Waktu itu, uang Dina kurang sampai akhirnya berani meminjam pada Cahaya 3 juta dan berjanji akan membayarnya dalam jangka waktu seminggu. Tetapi sampai detik ini tidak ada sepeserpun Dina membayarnya, parahnya wanita itu malah gencar mencibirnya bersama teman-temannya.

"Y-ya n-nanti, cuman uang segitu kok di tagih-tagih." Dina gugup, dia sungguh malu di hadapan teman-temannya.

"Aku kasih waktu dua hari, kalau dalam dua hari itu gak di bayar juga, liat aja aku bikin viral di media sosial kalau seorang Dina gak mau bayar hutangnya!" Ancam Cahaya dengan nada tegas.

Dina membulatkan matanya, sepertinya Cahaya tidak main-main dengan ucapannya, dia takut kalau Cahaya benar-benar memviralkannya sampai satu kampung tahu. Sebenarnya uang itu sudah ada, namun dia sudah membelanjakannya tanpa sepengetahuan suaminya.

"J-jangan dong, jangan..." Dina memelas di hadapan cahaya, ia mengatupkan kedua tangannya.

"Makanya bayar!" Sewot Cahaya.

Tanpa basa-basi lagi, Cahaya mengajak ibunya pergi dari hadapan para hama itu. Cahaya mendengus karena sejujurnya ia ingin sekali merobek mulut tetangganya itu, tetapi dia harus bisa mengendalikan dirinya karena tidak mau mengambil resiko yang pastinya akan merugikan dirinya. Ketiga wanita yang menjadi ratu gosip di kampungnya sangat berbahaya, mereka sangat pandai berakting dan juga bersilat lidah.

"Sabar ya, Neng. Jangan di dengerin omongan mereka mah, bukan kamu aja yang suka mereka ejek, lagian anak ibu teh kan cantik, nanti juga pasti banyak yang antri. Ibu mah gak bakalan maksa anak-anak ibu atau nyuruh cepet-cepet nikah, namanya juga menikah itu sekali seumur hidup, jadinya harus cari calon yang bener biar pernikahannya langgeng." Ucap Euis.

"Iya, Bu. Cuman ya kesel aja, tiap hari gak ada bahasan lain selain perkara nikah." Gerutu Cahaya.

"Kita sholat dzuhur dulu, nanti di sambung lagi nanem singkongnya ya. Maafkan ibu ya, karena ibu kamu harus ikut panas-panasan cari uang segala macem buat keluarga. Andai bapak masih ada, kamu sama Dandi gak perlu kotor-kotoran kayak gini, bisa main sama temen-temen kalian yang lain." Ucap Euis merasa bersalah.

Cahaya pun tersenyum, dia merangkul kedua bahu ibunya. Sejatinya dia memang bercita-cita untuk kuliah sampai sarjana, tapi apalah daya dengan takdir yang maha kuasa, dia terpaksa harus putus sekolah dan membantu ibunya berjualan, berkebun atau melakukan pekerjaan yang lainnya asal mendapatkan upah untuk makan.

"Udah ya, Bu. Bapak udah tenang di syurga, udah jadi kewajiban Cahaya juga bantuin ibu cari uang, setidaknya kita harus bersyukur masih bisa makan dan punya tempat tinggal. Selebihnya, kita pasrahkan aja sama Allah." Ucap Cahaya.

Euis menganggukkan kepalanya dengan ari mata yang berlinang, di usapnya tangan anak sulungnya penuh kelembutan. Sejak meninggalnya sang suami, tak pernah sekalipun Euis mendengar keluhan dari putrinya yang bekerja dari pagi buta sampai sore menjelang malam tiba.

Terpopuler

Comments

Isabela Devi

Isabela Devi

kadang ibu ibu memang seenaknya aja ngosipin orang lain tapi mrk ga cermin pada diri sendiri

2024-10-08

3

Nur Faris

Nur Faris

semangat cahaya buktikan KL kamu bisa dpt suami yang sempurna,....
biar tu lampir nyahok gigit jari😏😏😏

2024-10-08

0

🌷💚SITI.R💚🌷

🌷💚SITI.R💚🌷

ceritay seru nih..memsng klu kita ngafepin ora g2 yg julid bisa kurus kering de mending egp

2024-10-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!