Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 4 ~
Ketika mobil yang ku kendarai memasuki halaman rumah setelah mas Jim, satpam di rumah kami membukakan pintu gerbang untukku, Lala dan mas Bima sedang berada di teras rumah.
Lala berseru-seru bahagia menyambut kepulanganku setelah bekerja.
Aku yang mengarahkan mobilku menuju garasi melewati depan teras, langsung menurunkan kaca jendela di sebalah kanan demi untuk melihat wajah riangnya.
"Bunda!"
"Hai, cantik"
Aku melambaikan satu tangan lengkap dengan senyum lebar. Sepasang irisku melirik mas Bima yang terus fokus menatap laptop di atas pangkuannya.
Mobilku berhenti tepat di belakang mobil mas Bima. Mematikan mesin kemudian beranjak turun. Ketika aku menutup pintu mobil, Lala tengah berlari menghampiriku.
"Bundaa!"
Aku langsung berlutut, menyamakan tinggi kami lalu mengulurkan tangan. Setelah Lala mengecup punggung tanganku, aku menciumi pipinya bertubi-tubi.
"I miss you bunda"
"Oh, ya??" Mataku berbinar. "Bunda miss you too"
"Sama-sama kangen berarti"
Aku mengangguk sambil menghirup aroma tubuh putri kecilku. "Hmm,, baunya segar, sepertinya putri bunda sudah mandi"
"Sudah bun, mandi sama ayah"
"Anak pintar"
"Bunda kenapa pulangnya lama?"
"Maaf ya, tadi bunda ada rekapitulasi akhir bulan, jadinya agak sore pulangnya"
Setiap di tanggal tiga puluh atau tiga puluh satu, aku memang selalu pulang telat, hampir pukul lima bahkan setengah enam. Itu karena harus merekap menghitung pemasukan pajak selama sebulan. Dan itu membutuhkan waktu hampir tiga jam.
Akupun sudah memberitahu mas Bima kalau akan pulang terlambat melalui pesan singkat.
"Rekapilasi itu apa, bun?"
"Rekapitulasi, nak" Ralatku sambil meraih tubuh Lala untuk ku gendong.
"Apa itu bunda?" Pandangan Lala terus fokus ke arahku.
"Rekapitulasi itu mencatat semua kegiatan selama sebulan, sayang" Mungkin ringkasnya begitu aku menjelaskan pada Lala agar bisa di mengerti oleh anak seusianya.
"Bunda capek berarti?"
"Enggak, kan sudah ada Lala yang bisa ngurangin capeknya bunda"
Senyum kami sama-sama merekah. Hingga tak terasa, langkahku sudah sampai di teras rumah.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam" jawab mas Bima melirikku sekilas.
Aku menurunkan Lala dari gendonganku.
"Bunda sun tangan ayah dulu sama lepas sepatu ya"
"Eughh"
Melangkah menghampiri mas Bima, aku mengulurkan tangan.
"Mas!" Ucapku lembut.
Mas Bima menatapku seraya menyodorkan tangan untuk ku kecup. Setelahnya berjalan beberapa langkah, aku duduk di kursi teras lainnya dan melepas sepatuku.
"Bunda, tadi Lala jalan-jalan sebentar sama ayah sama onti Gesya"
"Jalan-jalan?" Aku mengernyit, sambil berusaha menormalkan detak jantungku yang tiba-tiba meliar.
"Cuma ke toko mainan dekat sekolah Thalia" sela mas Bima yang membuatku langsung menoleh ke samping kanan dimana mas Bima duduk.
Ucapannya barusan, seolah menyangkal kata jalan-jalan yang terucap dari mulut Lala.
Ingin menanyakan lebih detail, tapi tak ada nyali untuk itu, di tambah ingatanku mengulas pada perkataan mas Bima untuk tidak mencampuri urusan pribadinya. Jelas, rasa penasaranku terpaksa ku telan mentah-mentah.
Bangkit sambil mengangkat sepatu, aku mengayunkan kaki ke arah lemari dan menaruh sepatuku di sebelah sepatu mas Bima.
"Bunda masuk dulu ya, La"
"Lala ikut bun"
"Ayo" Aku menggandeng tangan Lala. Memasuki rumah tanpa memperdulikan mas Bima yang juga tak peduli denganku.
"Lala ke dalam, yah" Pamitnya.
"Iya, sayang!" sahut mas Bima dengan tatapan sepenuhnya menatap layar laptop.
Sementara hatiku seperti tercubit saat dengar kalau mereka pergi bersama. Pikiranku juga terus menerka-nerka bagaimana bisa mereka bertemu dan sempat mampir ke toko mainan.
Selagi berjalan menuju kamar, aku mencoba mencari tahu jawabannya lewat putriku.
"Tadi ayah jemputnya telat enggak, nak?"
"Enggak, bun. Malah pas Lala keluar sudah ada ayah sama onty Gesya lagi nunggu di bangku taman"
Jawaban Lala membuatku ingin menggali informasi dengan menanyainya lebih dalam.
"Berati ayah datang sama onty Gesya?"
"Iya"
Persekian detik, otakku langsung berkelana menebak-nebak apakah mereka memang tak sengaja bertemu di sekolah, atau mas Bima jemput Gesya di tempat kerja, setelah itu mereka sama-sama jemput Lala.
Kalau iya, berarti mas Bima nggak pulang pukul tiga. Bisa jadi dia pulang lebih awal karena harus jemput Gesya dulu ke kantornya. Karena nggak mungkin keluar kantor jam tiga, bisa langsung sampai ke sekolah Lala dengan membawa Gesya. Sementara jarak kantor mas Bima ke kantor Gesya lumayan jauh, di tambah perjalanan dari kantor Gesya ke sekolah Lala. Akan butuh waktu lama untuk perjalanan itu.
Pikiranku mendadak terusik dengan spekulasi yang ku buat sendiri.
Apa mas Bima pulang awal, terus janjian sama Gesya? setelah puas menghabiskan waktu berdua, baru mereka ke sekolah Lala. Mereka kan lama nggak ketemu, aahhh ...
Ada nyeri yang ku rasakan saat aku menarik napas panjang.
"Lala di beliin tas baru sama onty, bun"
Lamunanku buyar mendengar suara Lala. "Oh ya?"
"Iya, ayah juga beliin perhiasan buat bunda"
"Perhiasan? buat bunda?" Aku memastikan, sambil menunduk dan agak menoleh. Ku lihat Lala mendongak karena level mata kami cukup jauh.
"Iya, kata ayah biar bunda tambah cantik kalau pakai perhiasan itu di jilbabnya bunda"
Mendengar penjelasan Lala, aku baru ngeh kalau perhiasan yang Lala maksud mungkin sebuah bross.
"Ayah beliin buat bunda?"
Aku membuka pintu kamarku bersamaan dengan kepala Lala yang terangguk tanpa ragu.
Hatiku mendadak menghangat. Ini pertama kalinya mas Bima membelikan sesuatu untukku, meskipun hanya sebuah bross, tapi itu sangat istimewa bagiku.
"Brossnya tadi Lala taruh di meja kamar bunda, ayah yang suruh buat taruh di sana"
Saat aku sudah berdiri di samping ranjang, ku palingkan wajah ke obyek dimana benda itu teronggok.
Bross itu ternyata sangat cantik, seperti swarovski yang memancarkan kilaunya. Bentuknya sangat simple, harganya juga paling nggak nyampai dua ratus ribu, tapi entah kenapa membuatku bahagia luar biasa.
Reflek tanganku terulur mengambil bross dari atas nakas, kemudian mencermatinya dalam-dalam.
"Bagus ya bun, cantik kayak bunda" Lala yang sudah berdiri di atas kasurku, turut menatap benda mengkilap di tanganku.
"Kayak Lala juga cantiknya"
Tiba-tiba...
"Bunda" Lala mendadak membuat keningku mengernyit.
Aku pun memandangnya dengan tatapan heran.
"Iya nak?"
"Tadi onty Gesya mau pegang-pegang tangan ayah, tapi di tolak sama ayah. Megangnya gini, bun" Lala melingkarkan tangan di lenganku. "Tapi langsung di lepas sama ayah, ayah pura-pura mau ambil ponsel di saku celananya"
"Oh ya?"
"Iya, terus ayah tanya ke Lala, bunda belikan apa ya Tha? gitu bun, ngomongnya juga keras-keras sampai onty Gegey dengar. Terus ayahnya lihat perhiasan itu langsung di ambil, katanya hadiah buat bunda biar tambah cantik di pakai di kerudung bunda"
Pikiranku bercabang antara mas Bima memang benar-benar membelikanku dengan tulus, atau hanya alibinya saja agar bisa menghindari Gesya. Benar-benar memuji kecantikanku, atau malah memuji hijabnya yang tampak cantik jika di tambah dengan aksesoris bross.
Tiba-tiba saja nyaliku kembali mengkerut saat Lala mengatakan itu. Rasa percaya diriku yang tadi melambung tinggi, langsung turun drastis hingga berada di level terendah.
"Nanti bunda bilang makasih sama ayah, karena udah beliin ini buat bunda"
"Iya"
"Ya sudah, bunda mandi dulu ya nak"
"Lala ke kamar Lala dulu ambil tas baru supaya bunda bisa lihat ya?"
"Iya tapi hati-hati jangan lari"
"Iya bunda" Anak itu mengecup pipiku sebelum turun dari ranjang_________
Aku menggeleng lengkap dengan senyuman menatap Lala yang melangkah keluar dari kamarku.
Berjalan menuju kamar mandi, aku kembali memfokuskan pandangan pada bross pemberian mas Bima yang masih ku pegang.
Apa ini tanda mas Bima mulai membuka hatinya untukku? tapi bagaimana soal aktivitasnya siang tadi? kenapa mereka bisa sama-sama jemput Lala? apakah mereka menyempatkan diri untuk bertemu setelah hampir tiga minggu mas Bima di tugaskan di Riau. Melepas rindu, mungkin??
Berbagai pertanyaan seakan hilir mudik memenuhi isi kepalaku. Rasa cemburu berbalur sesak tiba-tiba kian menyergap.
Bersambung.