Di tengah malam yang sunyi di Jakarta, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Dua belas remaja—Aisyah, Delisha, Gathan, Jasmine, Arka, Azzam, Queensha, Abib, Nafisah, Nizam, Seno, dan Masagena—terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 4
Gathan terbangun dengan jantung yang berdetak kencang. Biasanya ia tidak pernah takut, tapi malam ini berbeda. Keringat dingin menetes di pelipisnya, meski udara malam cukup dingin. Sebuah suara mengerikan menggelegar dari luar jendela, seperti sesuatu yang merayap di antara bayang-bayang. Ia duduk tegak di tempat tidurnya, matanya terpaku ke jendela. "Apa itu tadi?" pikirnya, kerongkongannya kering.
Gathan mendengarkan lebih seksama, berharap suara itu hanya bagian dari mimpi. Tapi tidak, suara itu semakin jelas—geraman pelan yang diikuti dengan suara gemuruh rendah. "Ini bukan mimpi," desisnya, mengusap wajah dengan gugup. "Harus kuperiksa." Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur, lalu menyambar jaket yang tergantung di kursi.
Sementara itu, di tempat lain, Jasmine terbangun dengan rasa resah. Biasanya ia tenang dalam menghadapi banyak hal, tetapi malam ini ada sesuatu yang sangat salah. Hawa dingin menyeruak dari bawah pintu kamarnya, membuat bulu kuduknya meremang. Jasmine memaksakan dirinya bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela. "Suara apa itu?" batinnya, ketika suara gemuruh yang sama terdengar, semakin lama semakin dekat.
Dia mengintip melalui celah tirai, dan matanya langsung tertuju pada sebuah bayangan besar yang bergerak cepat. Bayangan itu bukan milik manusia. Jantung Jasmine berdegup lebih kencang. "Apa itu?" pikirnya panik, napasnya tertahan di tenggorokan. Bayangan itu bergerak cepat, seolah-olah sedang memburu sesuatu, atau... seseorang.
Merasa ada yang tidak beres, Gathan akhirnya memutuskan untuk keluar dan mencari tahu. "Aku tak bisa diam saja," gumamnya dengan tekad, meski hatinya dipenuhi keraguan. Dengan senter kecil di tangan, ia membuka pintu depan dan melangkah keluar. Udara malam semakin dingin, menampar wajahnya seperti peringatan samar. Jalanan tampak lengang, tak ada satu pun mobil melintas, dan tidak terdengar suara apapun selain gemuruh dari kejauhan. "Aneh...," pikirnya, alisnya berkerut dalam.
Ia melangkah dengan hati-hati di atas aspal yang sepi, sinar senternya hanya mampu menembus sedikit kegelapan di depannya. Ia mencoba menghubungi teman-temannya—Aisyah, Delisha, dan Jasmine—tetapi semua panggilannya gagal tersambung. "Apa yang terjadi? Kenapa tidak ada sinyal?" desah Gathan, frustasi.
Jasmine, di sisi lain, merasa semakin tidak nyaman. Ia ingin menelepon seseorang, siapa saja, tetapi sama seperti Gathan, jaringannya mati. Ia kembali ke tempat tidurnya dengan tangan gemetar, ponsel masih tergenggam erat. "Apa yang harus kulakukan?" pikirnya. Bayangan itu masih terekam jelas di pikirannya, membuatnya merasa seolah ada sesuatu yang mengintainya dari kegelapan.
Tiba-tiba, sebuah suara gemuruh keras terdengar, kali ini sangat dekat. Jasmine menjerit kecil dan segera menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya melebar. Suara itu terdengar seperti sesuatu yang besar menghantam tanah. "Oh Tuhan, apa yang sedang terjadi?" batinnya, tubuhnya gemetar ketakutan.
Sementara itu, Gathan mulai merasakan bahwa apa pun yang ia hadapi malam ini bukanlah sesuatu yang biasa. Suara langkah berat mulai menggema, semakin dekat. "Itu bukan angin, bukan juga hewan... ini lebih besar dari apa pun yang pernah kulihat," pikirnya dengan cemas. Bayangan besar yang ia lihat di kejauhan mulai bergerak lebih cepat, semakin dekat dengan posisinya.
Tanpa berpikir panjang, Gathan berbalik dan mulai berlari, kakinya menghentak tanah dengan cepat. Napasnya memburu, matanya sesekali melirik ke belakang, memastikan bayangan itu tidak mengikutinya. "Aku harus memperingatkan yang lain... tapi bagaimana?!" pikirnya panik. Seluruh kota terasa mati—tidak ada sinyal, tidak ada listrik, hanya kegelapan yang menyelimuti.
Saat ia tiba di rumah, Gathan mencoba menenangkan diri, tetapi detak jantungnya terus berpacu. Ia menatap ke langit yang gelap, mendengarkan suara gemuruh dan geraman yang semakin dekat. "Ini nyata," bisiknya, dadanya terasa sesak oleh rasa takut yang mulai mendominasi dirinya.
Gathan yang berdiri di kegelapan, suara langkah besar semakin mendekat, dan ia sadar bahwa apa pun yang datang malam ini, tidak ada cara mudah untuk menghadapinya.
*****
Nizam terbangun dengan napas tersengal. Keringat dingin membasahi pelipisnya, meskipun udara kamar terasa sejuk. Ia langsung menoleh ke arah Azzam, saudara kembarnya, yang tengah duduk tegak di tempat tidur, matanya membelalak menatap pintu kamar.
"Ada yang aneh...," bisik Azzam, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan yang tiba-tiba menyesakkan.
Nizam bangkit dan mengusap wajahnya. "Kenapa listrik padam? Padahal belum pernah kejadian seperti ini," gumamnya, mencoba menenangkan diri, meskipun jantungnya berdebar kencang. Ia berjalan ke arah saklar dan mencoba menekan-nekan tombol, tapi sia-sia. Gelap total.
"Ada suara aneh di luar tadi... kau dengar?" tanya Azzam, suaranya lebih tegang sekarang. Nizam mengangguk, meskipun tidak yakin suara apa yang barusan ia dengar. Sesuatu menggeram di kejauhan, seperti binatang buas yang sedang mencari mangsa.
“Tenang, mungkin cuma gangguan listrik biasa,” kata Nizam, mencoba berpikir logis. Tapi dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang salah. "Kenapa sunyi sekali?" pikirnya. Biasanya Jakarta tidak pernah benar-benar tidur.
Di ruang tamu yang gelap, Nafisah duduk dengan ponsel di tangan, mengutak-atik tombol meski tahu jaringannya mati. Ia merasakan hawa mencekam yang tak biasa. Di kepalanya, berita-berita aneh dari beberapa hari lalu mulai muncul kembali: wabah misterius di luar negeri, kota-kota yang tiba-tiba dikarantina, dan teori konspirasi yang ia baca tentang eksperimen rahasia. Nafisah menggigit bibir, berusaha menekan perasaan cemas yang semakin memuncak. "Apa yang sedang terjadi?"
"Kenapa jaringannya mati?" Azzam muncul di belakangnya, suaranya pelan namun jelas dipenuhi ketegangan.
"Sesuatu yang lebih besar sedang terjadi," bisik Nafisah, setengah untuk dirinya sendiri. “Ini bukan pemadaman biasa.” Ia berdiri, berjalan menuju jendela, dan menarik tirai pelan. Jantungnya berdegup lebih kencang saat matanya menyapu jalanan gelap di luar. Tidak ada mobil, tidak ada lampu, bahkan tidak ada suara. Kota ini seperti dihantam kekosongan.
"Kenapa semuanya mati?" Nizam yang berdiri di dekat pintu akhirnya angkat bicara, mencoba menyembunyikan ketakutannya. Nafisah diam, menelan ludah. Matanya membesar saat sesuatu di kejauhan menarik perhatiannya.
"Ada orang di sana..." Nafisah berbisik, menahan napas. Di sudut jalan, bayangan beberapa orang tampak bergerak. Tapi gerakan mereka... tidak wajar. Terlalu kaku, terlalu lambat, seperti boneka yang digerakkan oleh benang tak kasat mata.
"Apa maksudmu? Siapa?" tanya Nizam, mendekat. Nafisah menoleh dengan wajah pucat, bibirnya bergetar seolah mencari kata yang tepat.
“Mereka... tidak terlihat normal...” Nafisah mundur beberapa langkah, rasa takut menjalar di seluruh tubuhnya. Tangannya mulai bergetar tanpa ia sadari. "Kenapa mereka bergerak seperti itu?"
Azzam ikut mengintip dari balik jendela. “Mereka bergerak seperti... zombie...” gumamnya pelan, suaranya penuh kebingungan. Nafisah menelan ludah, mencoba memproses apa yang dilihatnya.
Tiba-tiba, salah satu dari Zombie, sosok yang berjalan paling depan, berhenti dan menoleh langsung ke arah rumah mereka. Nafisah tersentak mundur, punggungnya membentur dinding. "Apa dia melihat kita?" bisiknya, suaranya penuh kepanikan.
Nizam menatap kakaknya dengan mata penuh kecemasan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" pikirnya, namun tidak berani mengucapkannya. Tiba-tiba, langkah-langkah aneh itu berubah menjadi lari. Mereka mulai mendekat, dengan gerakan yang cepat dan tidak manusiawi.
"Masuk ke kamar! Sekarang!" Nafisah menarik kedua adiknya, panik. Mereka bertiga berlari ke dalam kamar dengan jantung berdebar kencang. Nafisah mengunci pintu dan merapatkan telinganya ke dinding, mendengar langkah-langkah itu semakin mendekat di luar.
Sementara itu, di luar, gerakan makhluk-makhluk itu semakin tidak wajar, semakin cepat. Nafisah menahan napas, berharap langkah-langkah itu akan berlalu begitu saja. Tapi... tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Nafisah berdiri di balik pintu, terperangkap dalam kegelapan dan ketakutan, sementara di luar sesuatu yang tak dikenal semakin mendekat, menunggu di dalam bayangan.