Rafael tidak pernah mengira hidupnya akan berubah saat dia menemukan sebuah topeng misterius. Topeng itu bukan sembarang artefak—ia membuka gerbang menuju dunia lain, dunia yang dihuni oleh makhluk gaib dan bayangan kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Setiap kali Rafael mengenakannya, batas antara dunia nyata dan mimpi buruk semakin kabur.
Di tengah kebingungannya, muncul Harun, tetangga yang dianggap 'gila' oleh penduduk desa. Namun, Harun tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain—rahasia kelam tentang topeng dan kekuatan yang menyertai dunia lain. Tapi, apakah Rafael bisa mempercayai pria yang dianggap tak waras ini, atau dia justru menyerah pada kekuatan gelap yang mulai menguasainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesepakatan Aneh
Pagi itu, Rafael dan Tristan berjalan keluar dari rumah Rafael menuju motor yang terparkir di halaman. Keduanya tampak sedikit lebih ceria meskipun bayangan topeng masih menghantui pikiran mereka. Udara pagi yang segar sejenak membuat suasana agak lebih ringan, tapi Rafael tak bisa berhenti mengingat kejadian semalam.
“Jadi, lo beneran bakal nungguin gue ke toilet juga?” tanya Rafael dengan nada setengah bercanda, setengah serius.
Tristan mengangguk mantap sambil mengibaskan tangan. “Gue udah janji, Raf. Kemanapun lo pergi, gue bakal lindungin.”
Rafael mencibir sambil tersenyum sinis. “Lindungin apaan? Pertahanan lo lemah, Tris. Dua kali lo nyekik gue, lo inget kan?”
Tristan langsung tertawa kecil, meski jelas ada rasa bersalah di matanya. “Makanya gue mau nebus kesalahan gue. Gue janji kali ini gak bakal ada acara nyekik-nyekikan lagi.”
Mereka berdua tertawa lepas sejenak, meredakan sedikit ketegangan. Tristan langsung naik ke motor, sementara Rafael duduk di belakangnya, memasang helm dengan cepat. Tristan menghidupkan motor dan mereka melaju menuju sekolah dengan angin pagi yang menyapa wajah mereka.
Sesampainya di sekolah, suasana seperti biasa—ramai dengan anak-anak yang berjalan ke sana kemari, dan obrolan pagi mulai memenuhi udara. Mereka baru saja turun dari motor ketika Nasya muncul, melangkah mendekat sambil menatap heran.
“Kalian kok barengan?” tanya Nasya, alisnya terangkat, jelas-jelas sedikit bingung.
Tristan dengan cepat melontarkan candaan, “Oh, lo jangan iri ya, Nas. Gue semalam nginep di rumah Rafael. Kita jadi makin akrab nih.” Tristan sengaja memberikan senyum lebarnya, seolah benar-benar menikmati momen itu.
Nasya langsung terdiam sejenak, wajahnya berubah sedikit merah. Dia tampak sedikit salting mendengar Tristan meledeknya, dan jelas dia tidak tahu bagaimana harus menanggapinya.
Rafael, yang merasa mulai canggung dengan situasi ini, langsung menegur Tristan. “Udahlah, Tris. Yuk, ke kelas. Lo ngeledekin Nasya terus.”
Nasya yang masih sedikit canggung buru-buru mengikuti mereka berdua sambil tetap menjaga jarak. “Gue nggak iri, kok. Cuma heran aja,” gumamnya, masih berusaha menjaga sikap.
Mereka bertiga pun berjalan menuju kelas, dengan Tristan sesekali melirik Nasya dan tersenyum jahil, sementara Rafael hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah temannya. Meski begitu, suasana hari itu terasa sedikit lebih ringan—setidaknya sampai topeng itu muncul lagi.
Setibanya di kelas, suasana masih cukup lengang. Beberapa siswa sedang mengobrol santai di tempat duduk masing-masing, sementara yang lain terlihat sibuk dengan ponsel atau buku mereka. Rafael, Tristan, dan Nasya memilih tempat duduk di deretan tengah. Mereka bertiga duduk bersebelahan, ngobrol santai sambil menunggu bel masuk.
Rafael beberapa kali menguap lebar. Semalam yang penuh ketegangan, ditambah efek dari obat yang baru saja diminumnya, membuat tubuhnya terasa lebih lelah dari biasanya. Tristan dan Nasya terus saja ngobrol, tapi Rafael mulai merasakan kelopak matanya semakin berat.
Kepala Rafael sedikit terhuyung ke arah Nasya, dan sebelum dia menyadari apa yang terjadi, Nasya dengan refleks merangkul kepala Rafael, menopang kepalanya dengan lembut. Tanpa berpikir panjang, Nasya membiarkan kepala Rafael bersandar di pundaknya, sementara tangannya tetap menyentuh rambut Rafael, seolah menenangkan.
Awalnya, Nasya tidak menyadari apa yang terjadi. Sentuhan lembut itu terasa alami, seolah tak ada yang aneh. Namun, seiring waktu berlalu, tatapan teman-teman sekelas mulai tertuju pada mereka. Bisik-bisik mulai terdengar, beberapa suara terkikik dan tawa kecil menyebar di sekeliling kelas.
“Uuuh... ada yang romantis nih!” salah satu suara terdengar dari sudut kelas.
“Ciyee, Rafael! Enak banget, tuh!” celetuk seorang teman lainnya, membuat suasana semakin ramai dengan godaan.
Rafael yang awalnya masih dalam kondisi setengah tertidur tiba-tiba terbangun, tersadar sepenuhnya. Kepalanya yang masih bersandar di pundak Nasya langsung terangkat dengan cepat, matanya membelalak.
“Aduh, sori, Nas!” kata Rafael dengan nada panik, wajahnya mulai memerah karena malu.
Nasya yang tadinya tampak tenang langsung ikut tersipu malu. “Nggak apa-apa, Raf,” ucapnya pelan sambil sedikit menghindari tatapan Rafael.
Tawa dan godaan dari teman-teman sekelas semakin ramai, membuat suasana jadi semakin canggung. Rafael menunduk, wajahnya semakin memerah. Dia menggaruk belakang kepalanya sambil berusaha menghindari tatapan teman-temannya.
“Udah, udah, nggak usah diledekin,” ujar Tristan sambil menahan tawa, mencoba menghentikan keramaian, meski sebenarnya dia sendiri juga terlihat terhibur dengan situasi tersebut.
Mereka bertiga akhirnya tertawa kecil, meskipun rasa malu masih menyelimuti Rafael dan Nasya.
Setelah kejadian canggung tadi, Rafael merasa wajahnya masih panas akibat rasa malu yang belum hilang sepenuhnya. Ia bangkit dari kursinya, berniat pergi ke kamar mandi untuk cuci muka dan menenangkan diri.
“Gue ke kamar mandi bentar,” kata Rafael pelan, masih agak kikuk.
Tristan langsung menyusul dengan cepat. “Gue temenin,” katanya tanpa ragu, wajahnya serius seperti ini adalah hal yang penting.
Rafael hanya mengangguk singkat. “Ayo,” sahutnya tanpa banyak pikir, seolah sudah jadi hal yang wajar bagi mereka berdua.
Tanpa penolakan, Rafael dan Tristan langsung berjalan keluar kelas menuju kamar mandi. Tapi, adegan itu tidak luput dari perhatian Nasya yang masih duduk di kursinya, memperhatikan mereka dengan tatapan curiga. Mereka memang selalu dekat, tapi hari ini terasa aneh. Nasya mulai menyadari pola baru dalam kebiasaan mereka.
“Kenapa sih Tristan ngejar Rafael gitu terus?” gumam Nasya pelan, berbicara pada dirinya sendiri, tapi tidak bisa menepis rasa penasaran yang mulai tumbuh.
Ia berpikir lebih dalam, mencari alasan di balik tingkah aneh Tristan hari ini. Mungkinkah ada sesuatu yang belum ia ketahui? Pikiran-pikiran aneh mulai berputar di benaknya, membayangkan segala kemungkinan yang membuat Tristan begitu protektif terhadap Rafael.
Mungkin... ah, jangan-jangan...
Nasya mencoba menepis pikiran itu, tapi semakin ia memikirkan, rasa curiga itu justru semakin kuat.
Nasya masih bengong di tempatnya ketika Bimo masuk ke kelas. Ia berjalan santai ke arah Nasya, menepuk bahunya dengan pelan. “Lo kenapa bengong gitu, Nas?” tanyanya sambil tertawa kecil.
Nasya menggeleng, mencoba mengusir pikiran-pikiran aneh yang masih berputar di kepalanya. “Nggak, gue cuma... ngerasa aneh aja,” jawabnya sambil melirik ke arah pintu kelas, tempat Rafael dan Tristan baru saja keluar.
Bimo menaikkan alisnya. “Aneh gimana? Lo ngomong apa sih?”
Nasya akhirnya tak bisa menahan diri untuk menceritakan apa yang dipikirkannya. “Gue ngerasa aneh aja sama Tristan dan Rafael. Barusan ke toilet berduaan lagi.”
Bimo tertawa keras mendengar itu, seolah Nasya baru saja menceritakan lelucon. Tapi, tawa Bimo langsung menarik perhatian teman-teman sekelas yang lain. Beberapa dari mereka mulai mendekat, penasaran dengan percakapan yang sedang berlangsung.
“Eh, ada apaan sih?” tanya salah satu teman yang mendekat, bergabung dalam lingkaran kecil di sekitar Nasya dan Bimo.
“Gue nggak tau, nih,” kata Bimo sambil menahan tawanya. “Nasya bilang, Tristan sama Rafael ke toilet harus berduaan terus!”
Teman-teman yang mendengar itu langsung terkikik, beberapa mulai berbisik-bisik dan tersenyum jahil. “Wah, serius? Ada apa nih sama mereka?” celetuk salah satu teman yang lain, memancing lebih banyak bisikan dan tawa dari seisi kelas.
“Kayaknya ada yang aneh, deh,” tambah yang lain, semakin memanaskan suasana.
Nasya mulai panik. “Eh, gue nggak bilang gitu!” serunya, mencoba menghentikan gosip yang mulai berkembang. Tapi teman-teman sekelasnya sepertinya sudah terbawa suasana. Mereka terus melanjutkan ledekan dan menambah-nambahkan cerita.
“Gila, jangan-jangan mereka pacaran nih!” celetuk salah satu teman dengan tawa keras.
“Eh, jijik ah!” sahut yang lain sambil tertawa, memancing tawa yang lebih besar dari yang lainnya.
Tawa dan ledekan semakin keras ketika Rafael dan Tristan kembali ke kelas. Mereka langsung disambut dengan tatapan aneh dari teman-teman sekelas, disertai tawa dan bisikan.
“Aduh, pacarannya jangan di toilet dong!” ledek salah satu teman, yang langsung diikuti oleh tawa lepas dari seisi kelas. “Raf, jadi lo sebenernya suka sama Nasya apa Tristan? Gak konsisten banget?”
“Deket sama Nasya cuma buat tameng aja kali, haha…”
Rafael dan Tristan berhenti sejenak, bingung dengan ledekan yang tiba-tiba mengarah pada mereka. “Apa sih?” Rafael bertanya, menatap seisi kelas dengan alis berkerut.
Tristan juga menatap teman-temannya dengan bingung. “Apaan, lo semua?” tanya Tristan.
Namun, teman-teman mereka terus tertawa dan menggodai, tidak memperhatikan kebingungan Rafael dan Tristan.
Rafael dan Tristan mulai merasa tidak nyaman, terutama saat salah satu dari mereka dengan bercanda berkata, “Nasya tau sendiri, lo berdua mau ke toilet aja harus berduaan terus.”
Rafael langsung menoleh ke arah Nasya, wajahnya berubah kaget. “Nasya? Lo bilang apa sih?” tanya Rafael.
Nasya kaget, panik melihat Rafael yang mulai menatapnya dengan tatapan kecewa. “Nggak! Gue nggak bilang gitu, sumpah!” serunya, berusaha menjelaskan. Tapi teman-teman yang lain sudah terlalu asyik dengan gosip mereka, menambah-nambahkan cerita hingga membuat situasi semakin tidak terkendali.
“Lo ngapain sih ngomong kayak gitu, Nas?” tambah Tristan, yang juga mulai terlihat kesal.
“Gue beneran nggak bilang kayak gitu!” Nasya mencoba membela diri, tapi suaranya tenggelam oleh tawa dan ledekan dari teman-teman yang lain.
Tepat pada saat itu, guru masuk ke kelas, menghentikan ledekan dan tawa yang masih berlangsung. “Semua siap-siap, kita mulai pelajaran,” ujar guru itu dengan nada tegas.
Rafael dan Tristan duduk di tempat mereka dengan raut wajah yang jelas-jelas kecewa, sementara Nasya masih berusaha memproses apa yang baru saja terjadi.