Marriage Is Scary...
Bayangkan menikah dengan pria yang sempurna di mata orang lain, terlihat begitu penyayang dan peduli. Tapi di balik senyum hangat dan kata-kata manisnya, tersimpan rahasia kelam yang perlahan-lahan mengikis kebahagiaan pernikahan. Manipulasi, pengkhianatan, kebohongan dan masa lalu yang gelap menghancurkan pernikahan dalam sekejap mata.
____
"Oh, jadi ini camilan suami orang!" ujar Lily dengan tatapan merendahkan. Kesuksesan adalah balas dendam yang Lily janjikan untuk dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma Syndrome, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mual Tak Tertahan
Isaac melangkah keluar dari rumah, berjalan menuju mobil. Di belakangnya ada Lily yang sedang mengunci pintu. Hari itu tampak cerah, dan seperti biasanya, Isaac siap mengantar Lily ke kantornya sebelum dirinya berangkat menuju kantornya sendiri.
Ketika Lily duduk di kursi penumpang dan mengencangkan sabuk pengamannya, Isaac sudah menyalakan mesin dan siap melaju. Namun, tiba-tiba Lily merasakan rasa mual yang kuat, memaksanya untuk menutup mulut dan menahan napas.
Isaac melirik heran. “Lily, kamu kenapa?” tanyanya cemas.
Lily melambaikan tangan, mencoba menenangkan suaminya. "Isaac, parfummu… baunya bikin aku mual."
Isaac melongo tak percaya. Dia memiringkan kepala, tidak paham dengan reaksi istrinya yang tiba-tiba.
“Lily, kamu bilang suka parfumnya. Bahkan, kamu pernah bilang kalau baunya bikin nyaman.”
Lily menggeleng, wajahnya tampak sedikit pucat. “Iya, dulu sih. Tapi sekarang… nggak tau kenapa baunya jadi bikin pusing. Aku nggak tahan.”
Isaac masih menatapnya dengan heran, tapi melihat ekspresi Lily yang tampak sangat tidak nyaman, akhirnya dia mengalah.
“Lily, kamu aneh banget, sih,” komentar Isaac sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Mending kamu ganti baju, deh. Aku nggak tahan!” pinta Lily sambil menutup hidungnya.
“Ganti baju? Nanti kita telat gimana?”
“Ck, mending berangkat sendiri-sendiri deh,” dumel Lily seraya melepas sabuk pengaman hendak turun dari mobil.
“Oke, aku ganti baju, ya. Tunggu sebentar,” kata Isaac menahan Lily agar tidak turun dari mobil.
Dengan cepat, Isaac keluar dari mobil, masuk kembali ke rumah dan melepas bajunya. Setelah itu, dia memilih kemeja lain dan memutuskan untuk tidak memakai parfum sama sekali. Dia segera kembali ke mobil dengan setengah berlari dan duduk di belakang kemudi.
“Gimana sekarang? Masih mual?”
Lily hanya menggeleng perlahan, meski wajahnya masih tampak sedikit pucat. Dia menatap jam tangan, seolah mengingatkan Isaac akan waktu.
“Kita berangkat sekarang, aku nggak mau telat ke kantor.”
Isaac tidak bertanya lagi, hanya mengangguk dan mulai melajukan mobil dengan kecepatan yang sedikit lebih tinggi dari biasanya. Di sepanjang perjalanan, dia mengawasi Lily sesekali, khawatir istrinya benar-benar sakit. Pagi itu, Lily hanya makan sarapan dalam porsi kecil, seperti tidak nafsu makan sama sekali.
Begitu mereka tiba di depan kantor Lily, Isaac menepikan mobil dan berbalik menatapnya dengan lembut. “Kalo kamu mual lagi atau merasa nggak enak badan, kabari aku, ya?”
Lily tersenyum tipis dan mengangguk. Sebelum turun, Isaac mencium keningnya dengan hangat. Lily balas tersenyum, lalu keluar dari mobil dan berjalan menuju gedung kantornya dengan anggun.
Agatha, sahabat baiknya sudah menunggu kedatangannya dengan wajah ceria.
“Hai, Lily!” sapa Agatha riang. Namun, saat memperhatikan lebih dekat, Agatha mengernyit, menyadari ada sesuatu yang aneh dengan sahabatnya itu.
“Eh, kamu kenapa? Kok kelihatan pucat gitu?”
Lily tersenyum lemah. “Ah, nggak apa-apa, mungkin masuk angin,” jawabnya, mencoba meremehkan rasa mual yang masih tersisa.
“Yakin cuma masuk angin?” tanya Agatha memastikan.
“Iya, akhir-akhir ini aku ngerasa nggak enak badan. Mual, sensitif soal bau, terus nggak nafsu makan juga,” keluh Lily seraya duduk di kursinya. Dia meletakkan tas, dan menyalakan komputer.
Agatha memperhatikan Lily lebih serius, mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Lily.
“Kapan terakhir kamu menstruasi?” tanya Agatha serius.
Lily terdiam, kaget. Dia mulai mengingat-ingat kapan terakhir kali dirinya menstruasi, dan tiba-tiba dia membekap mulut dengan tangan.
Sudah beberapa minggu dia terlambat, tapi karena kesibukannya, dia benar-benar tidak memperhatikannya. Perasaan harap dan cemas berkecamuk dalam dirinya.
Melihat ekspresi Lily, Agatha histeris dan mulai melompat-lompat. “Oh Tuhan, aku bakal punya ponakan! Aku jadi tantenya, kan?”
Lily cepat-cepat menenangkan Agatha, sedikit malu dengan ekspresi berlebihan sahabatnya yang menarik perhatian orang di sekitar.
“Agatha, jangan berisik! Aku cuma nggak enak badan kok. Soal telat menstruasi itu karena aku kecapekan,” elak Lily. Dia sendiri tidak yakin dengan kondisinya saat ini.
“Nggak, aku yakin pasti kamu hamil,” kata Agatha mantap seraya kembali duduk di kursinya.
Lily menggigit bibir bawahnya menahan senyum. Tidak bisa dipungkiri jika perasaannya begitu bahagia mendengar dugaan Agatha. Meskipun baru dugaan, tapi Lily benar-benar bahagia.
Dia membayangkan melahirkan seorang anak lelaki tampan, lalu merawatnya dengan penuh kasih sayang. Dia jadi tidak sabar menantikan ada bayi kecil di kamarnya.
“Tuh, kan, senyum-senyum sendiri,” ledek Agatha setengah tertawa. Dia sendiri tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
Sepanjang hari, Lily tidak bisa berhenti memikirkan kemungkinan tersebut. Perasaan cemas, senang, dan sedikit takut bercampur aduk. Apakah benar dia sedang hamil? Setelah mengingat berbagai gejala yang dialaminya, mual, rasa pusing, serta perubahan selera makan yang cukup drastis, kemungkinan itu tampak semakin nyata.
Saat jam kerja berakhir, Lily mendapati Isaac sudah menunggunya di depan kantor sambil membawa es matcha kesukaan Lily.
Lily tersenyum bahagia sambil menerima es matcha tersebut. Dia segera menyesapnya, dan merasakan seluruh tubuhnya terasa segar.
“Capek?” tanya Isaac.
“Sini peluk dulu biar capeknya ilang,” kata Isaac seraya merentangkan kedua tangannya.
Lily tersenyum malu-malu. Matanya mengedarkan pandangan ke sekitar, berharap tidak ada banyak orang. Setelah memastikan jika sekitarnya hanya ada segelintir orang, Lily segera maju selangkah dan memeluk Isaac dengan erat.
Pelukan hangat itu memberikan energi, tepatnya semacam recharge energy yang tak bisa Lily dapatkan selain dari pelukan Isaac.
“Sayang, kita ke rumah sakit dulu ya,” kata Lily saat keduanya masih berpelukan.
Isaac melepas pelukannya, menatap Lily dengan cemas.
“Kamu masih mual? Atau pusing?” tanya Isaac yang kini dengan wajah panik.
“Nggak kok, aku cuma mau cek kesehatan sama Lucas aja,” kata Lily, menyembunyikan dugaan akan kehamilan pada dirinya. Dia akan memberi tahu Isaac jika dirinya sudah melakukan tes dan memang hasilnya positif.
“Tapi sekarang masih mual?” tanya Isaac lagi. Dia merasa belum puas dengan jawaban Lily.
“Nggak, aku baik-baik aja,” kata Lily meyakinkan. Dia mundur selangkah, memperlihatkan jika dirinya baik-baik saja.
Isaac mengangguk, lalu menuntun Lily untuk masuk kedalam mobil. Dia membukakan pintu mobil dan mempersilahkan Lily untuk masuk. Tak hanya membukakan pintu, isaac juga melindungi kepala Lily agar tidak terbentur saat masuk.
Setelah memastikan Lily masuk dengan aman, Isaac memutari mobil dan masuk ke mobilnya. Dia segera melesat ke rumah sakit tanpa banyak bicara. Bahkan dia melarang istrinya untuk banyak bicara karena takut akan mual lagi.
“Emang ada hubungannya, ya, antara banyak ngomong sama mual?” tanya Lily saat Isaac menyuruhnya untuk tidak banyak bicara.
“Ada,” jawab Isaac singkat.
“Kamu tau darimana?”
“Ngarang aja, sih,” kata Isaac sambil tersenyum polos. Ucapan itu disambut tawa ringan oleh Lily sambil memukul bahu Isaac perlahan.
Mobil terus melaju, hingga akhirnya sampai di tempat tujuan.
kenalin yahhh aku author baru 🥰
biar semangat up aku kasih vote utkmu thor