Mengulik kehidupan selebriti di belakang layar. Novel ini menceritakan tentang, Kayla Aruna, selebriti kurang terkenal yang sudah lama berkecimpung di industri dunia hiburan itu harus menerima kritikan pedas dari netizen setelah dia tampil di salah satu program variety show bersama Thaniel Hanggono.
Namun di tengah kontroversi yang menimpa Kayla, tawaran untuk bermain film bersama Thaniel justru datang dari salah satu production house dengan bayaran yang cukup mahal. Kayla yang menerima tawaran itu karena tertarik dengan naskahnya pun semakin banyak menerima hate comment karena dianggap panjat sosial menggunakan nama Thaniel.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourlukey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Secret of hatred
Setelah jadwal pembacaan naskah bersama rekan selebriti selesai dilakukan, Kayla berencana mampir ke rumah Maura untuk bermain bersama Noah, menghibur sejenak pikirannya dari rutinitas mendalami peran. Tapi tiba-tiba Kayla mendapat telepon dari Putri, mantan Manajer pribadinya. Katanya dia ingin bertemu untuk mengatakan sesuatu.
Kayla yang secara pribadi dan profesional mengenal Putri secara baik itu tentu tidak keberatan saat perempuan itu ingin bertemu, toh saat dia keluar dari manajemen, hubungan mereka baik-baik saja, bahkan Putri pernah mengunjungi dirinya, jadi itu bukan masalah. Kayla dengan senang hati mengiakan ajakan tersebut dan membuat janji di sebuah tempat.
Namun, pertemuan tak terduga dengan orang yang sangat ingin Kayla hindari pun terjadi di restoran itu. Awalnya, Kayla ingin mengabaikan keberadaan Thaniel di sana dan bersikap biasa saja, tapi karena ada banyak pasang mata yang mengawasi mereka, perempuan itu pun akhirnya bergabung bersama Thaniel setelah Manajer laki-laki itu menawarinya untuk makan bersama.
Tujuan awal Kayla bertemu dengan Putri untuk mengobrol santai itu berubah menjadi acara makan siang yang canggung. Tidak ada obrolan yang berarti hingga makanan mereka selesai disantap. Setelah pertemuan itu, Kayla cepat-cepat masuk ke mobilnya, mengabaikan insiden sepatu yang membuatnya harus bertelanjang kaki.
"Kalian beneran punya masalah?" Putri bertanya tepat saat mobil Kayla meluncur dari tempat itu. "Kok, obrolan kalian dingin banget ?"
Kayla yang tampak enggan menanggapi pertanyaan itu menjawab sekenanya. "Masalah apa?"
"Malah balik tanya." Putri yang duduk di bangku penumpang protes karena Kayla tidak menjawab sesuai dengan keinginannya.
"Nggak ada masalah apa-apa." Kata Kayla, menatap lurus jalanan yang ada di hadapannya. Lalu lintas tidak terlalu padat, tapi dia mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan sedang. "Karena ada banyak orang mengawasi, makanya gue nggak terlalu banyak interaksi."
"Iya, sih, gue paham kalau untuk menghindari gosip yang nggak-nggak, tapi kalau sedingin itu malah takutnya jadi gosip beneran. Syukur aja kalau mereka nggak sadar."
"Iya juga, sih. Udah terlanjur." Kata Kayla. "By the way, lo mau ngomong apa? Jadi lupa kan tujuan awal kita ketemu."
"Sebelum gue ngomong, mending kita gantian dulu, deh. Gue yang gantiin nyetir." Putri menawar.
Kayla tidak keberatan. Dia justru senang karena ada orang yang menyetir untuk dirinya. Perempuan itu lantas berhenti di bahu jalan untuk bergantian tempat duduk. Setelah selesai, mobil itu kembali melaju.
"Mau ngomong apa?" Kata Kayla.
Putri diam sejenak, kemudian mengatakan apa yang sedari tadi ingin dia sampaikan. "Gue keluar dari kerjaan." Katanya.
Kayla mangut-mangut. Dia tidak terkejut dengan pemberitahuan itu, hanya saja dia tidak menyangka kalau Putri benar-benar keluar dari pekerjaannya setelah keluh kesahnya selama ini.
"Setelah bertahun-tahun lo ngeluh kerja di manajemen itu, keluar juga lo?"
Meski Putri bekerja sebagai Manajer pribadinya Kayla, tapi untuk urusan keuangan dan lainnya, manajemen pusat lah yang mengurus semuanya. Termasuk saat Kayla sudah bukan artis yang dia tangani, tapi di bawah manajemen itu, Putri bisa memegang selebriti yang lainnya.
"Karena sekarang gue pengangguran, lo harus hire gue jadi Manajer lo." Katanya dengan mulut yang sangat ringan.
Kayla mengerutkan dahi, melirik Putri sebal. "Apa lo bilang? Gue nggak salah denger, kan?"
"Lo nggak salah denger. Kuping lo baik-baik aja."
Melihat Putri serius dengan ucapannya, Kayla menolak dengan cepat. "Nggak mau. Gue mau bayar lo pakai apa? Daun pisang? Di rumah gue bahkan nggak ada pohon pisang. Kecuali kalau lo mau nggak dibayar, baru gue bisa."
"Enak aja nggak dibayar, mau kencing aja harus bayar."
"Nah itu tahu. Terus kenapa malah minta gue buat mempekerjakan lo? Nggak make sense. Udah tahu gue lagi ngerintis dari bawah."
"Emang kalau dari bawah lo nggak butuh Manajer apa? Kan lo udah dapat tawaran film, nanti kalau lo butuh gimana? Mau nyari yang lain? Kalau cocok, kalau nggak? Mumpung gue lagi jadi pengangguran."
Kayla diam. Apa yang dikatakan Putri memang benar adanya. Meski tidak sekarang, tapi sebentar lagi dia akan disibukkan dengan jadwal syuting. Karena itu secepat mungkin dia harus mencari Manajer yang baru.
"Gimana?"
"Tapi gue nggak bisa bayar setinggi manajemen kemarin."
"Ok."
Keduanya sepakat. Mobil yang mereka tumpangi masih melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan ibu kota yang sebentar lagi akan dipenuhi oleh kendaraan lain.
"Oh, ya. Gimana rasanya dapat peran utama?" Putri membuka obrolan lagi.
Kayla tersenyum tipis. "Setelah sekian lama."
"Bareng Thaniel Hanggono lagi. Gue yakin kalau film-nya bakal sukses. Walaupun dia aktingnya masih agak kaku, seenggaknya dia punya basis penggemar yang cukup kuat."
Kayla mengangguk setuju.
"Tapi lo juga harus hati-hati," Putri menggantungkan kalimatnya.
"Maksud, lo?"
"Takut ada evil editing lagi."
"Iya, lo bener. Capek juga dihujat orang." Kayla menghela napas kasar. Syuting bersama Thaniel punya tantangan tersendiri, tantangan yang tak pernah dia pikirkan sebelumnya.
"Tapi lo nggak punya masalah serius kan sama Thaniel?" Putri mengulang pertanyaan yang sama.
Dan Kayla melontarkan jawaban yang sama. "Nggak ada masalah apa-apa, kok."
Putri mangut-mangut, mencoba mempercayai apa yang Kayla katakan.
Bermasalah dengan Thaniel? Haruskah Kayla menjawab jujur? Ingatan perempuan itu kembali ke masa di mana dia baru merintis karirnya sebagai seorang selebriti. Malam itu hujan deras dan orang tua Maura tidak ada di rumah. Katanya, mereka sedang pergi ke rumah nenek Maura. Jadi, tinggalah mereka berdua di rumah itu.
Kayla yang masih duduk di bangku SMA kelas sepuluh itu sedang belajar untuk persiapan kenaikan kelas, tapi tiba-tiba Maura datang ke kamarnya dengan raut wajah pucat pasi. Tangannya gemetar juga matanya merah.
Melihat kondisi Maura yang tidak biasanya, membuat Kayla sangat khawatir.
"Maura! Lo kenapa? Lo sakit? Ayo ke rumah sakit." Kayla berkata cemas. Dia beranjak dari meja belajarnya, lalu menghampiri Maura. "Lo kenapa Maura?"
Maura tidak menjawab. Dia hanya memeluk Kayla sambil menangis tersedu-sedu.
"Maura, lo jangan bikin gue khawatir. Lo kenapa, Maura? Bilang."
Masih belum ada jawaban, tangis Maura semakin kencang. Setelah Maura melampiaskan kesedihannya, Kayla pun menuntun sahabatnya untuk beristirahat di ranjangnya. Malam itu Kayla sangat khawatir pada Maura, dia ingin menelepon orang tua Maura, tapi Maura justru melarangnya. Kayla yang saat itu masih berusia lima belas tahun pun hanya menurut. Tanpa tahu apa yang sedang dialami sahabatnya.
Keesokannya, orang tua Maura masih belum pulang. Katanya mereka akan menginap satu hari lagi dan Maura tidak keberatan dengan itu. Tapi pagi itu wajah Maura semakin pucat, matanya bengkak, juga tubuhnya lemas.
"Lo beneran nggak mau ke rumah sakit, Maura?" Kayla bertanya sekali lagi.
Maura menggeleng. "Nanti juga baikan." Katanya. "Udah, lo berangkat sekolah aja. Ada ulangan, kan?
Kayla mengangguk. "Kalau ada apa-apa telepon, ya."
"Iya." Jawabnya dengan suara parau.
Kayla kemudian keluar dari kamarnya dengan perasaan gelisah, tapi dia tetap berangkat ke sekolah.
Sore harinya hujan kembali turun, Kayla tiba di rumah dengan keadaan basah kuyup. Setelah berganti pakaian, dia lantas menjenguk Maura yang masih tertidur di ranjangnya. Sambil menunggu Maura bangun, Kayla beranjak ke dapur untuk membuat bubur. Dia yakin kalau seharian ini Maura pasti belum mengisi perutnya sama sekali.
Setelah bubur siap disantap, Kayla lantas membawa makanan itu ke kamar, menaruhnya di meja di samping ranjang, kemudian membangunkan Maura untuk menyantap bubur buatannya.
Kayla duduk di tepi ranjang, kemudian mencoba membangunkan Maaura. "Maura, makan dulu." Kata Kayla sambil menggoyangkan bahu sahabatnya.
Butuh beberapa saat untuk membangunkan Maura, begitu dia membuka matanya, dia langsung menyenderkan kepalanya di sandaran tempat tidur.
"Kay, ada yang mau gue omongin." Kata Maura. Tiba-tiba air matanya menetes membasahi pipinya.
Kayla menyeka air mata sahabatnya. "Maura, lo kenapa?"
Tangis Maura kembali pecah. "Gue, gue hamil, Kay."
Kayla menelan ludah. Semua kalimat semangat yang ingin dia sampaikan pada Maura itu kontan tidak bisa keluar dari mulutnya, semua perkataannya seolah tersangkut di kerongkongan.
"Gue bingung harus gimana, Kay."
"Ini karena kejadian tiga bulan yang lalu?"
Maura menganggukan kepalanya dengan berat hati.
Kayla ikut meneteskan air mata, urat-urat tangannya mengeras karena dia menggenggam ujung bajunya terlalu kuat. Dia ikut geram mendengar apa yang disampaikan Maura. "Berarti dia harus tanggung jawab. Dia harus tanggung jawab, Maura. Laki-laki itu harus tanggung jawab."
"Nggak boleh, Kay. Dia nggak boleh tanggung jawab." Kata Maura. Dia menarik tangan Kayla saat sahabatnya itu ingin beranjak dari tempat duduknya.
"Kenapa nggak boleh? Ini juga salahnya. Emang lo mau tanggung jawab sendiri?" Kayla melepas tangan Maura, kemudian melenggang keluar dari kamar itu.
Hari semakin malam, hujan semakin deras. Kayla dengan perasaan tak karuan keluar dari rumah tanpa membawa satu barang pun untuk melindungi dirinya.
"Kayla!" Seru Maura. Dengan tubuh yang masih sempoyongan, dia lari mengejar Kayla di tengah hujan. "Please, Kayla, jangan begitu."
"Nggak bisa Maura, dia juga harus tanggung jawab!"
Maura menghentikan langkah kaki sahabatnya. "Nggak, Kay. Gue nggak mau hancurin keluarga mereka. Ini bukan salah dia, ini salah gue."
"Jelas-jelas ini salah dia, Maura. Terus gimana sama keluarga lo, sama diri lo, sekolah lo?" Kayla menangis. Air matanya luruh bersamaan dengan derasnya air hujan.
"Nggak, Kayla. Ini bukan salah dia, ini salah gue. Gue yang nggak bisa jaga diri dengan baik."
"Maura."
"Please, Kay. Dia nggak boleh tahu." Pinta Maura dengan isak tangis yang masih tersisa.
Kayla tidak bisa berbuat apa lagi selain menuruti permintaan sahabatnya. Dia hanya bisa memeluk Maura untuk memberi sedikit kekuatan.