Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35: Tatapan yang Menuduh
Adara menyandarkan tubuhnya ke kursi kerja yang empuk, menatap layar komputer yang penuh dengan angka-angka laporan keuangan. Matanya perih, bukan hanya karena lelah menatap monitor selama berjam-jam, tetapi juga karena pikirannya sedang kacau. Sejak perjalanan bisnis ke Bandung beberapa minggu lalu, hubungan antara dirinya dan Arga menjadi semakin rumit.
Ada sesuatu di antara mereka yang sulit dijelaskan—sebuah ketegangan yang menyesakkan namun penuh dengan gairah yang tersembunyi. Namun, di balik setiap momen kecil yang membuat jantung Adara berdebar, ada perasaan bersalah yang selalu membayangi. Ia tahu posisinya. Ia hanyalah sekretaris, orang yang seharusnya menjaga profesionalisme, bukan membiarkan dirinya terjebak dalam lingkaran perasaan pribadi terhadap bosnya.
Pintu ruangan diketuk. Suara berat itu terdengar dari balik pintu. "Adara, ke ruangan saya sekarang."
Nada suaranya tidak terlalu keras, tapi cukup untuk membuat bulu kuduk Adara berdiri. Tidak ada salam, tidak ada basa-basi. Arga memang selalu seperti itu, langsung pada intinya. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam nadanya—sesuatu yang dingin dan tajam.
Adara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum melangkah ke ruangan bosnya. Pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan Arga yang berdiri membelakangi meja besar. Tangannya menyelip di saku celana, dan pandangannya terpaku pada jendela besar di belakangnya. Dari tempat itu, ia bisa melihat pemandangan kota yang sibuk, tapi sepertinya pikirannya tidak berada di sana.
"Anda memanggil saya, Pak?" tanya Adara dengan suara setenang mungkin.
Arga berbalik. Tatapannya tajam, menusuk, seolah-olah menembus lapisan luar diri Adara dan langsung masuk ke hatinya. Mata itu tidak seperti biasanya. Kali ini ada kilatan kemarahan dan… kekecewaan?
"Kenapa kau tidak pernah memberi tahu aku tentang ini?" tanyanya, langsung pada inti tanpa basa-basi.
Adara mengerutkan kening, bingung. "Maksud Anda apa, Pak?"
Arga berjalan mendekatinya, dengan langkah yang tenang namun mengintimidasi. Di tangannya, ia memegang sebuah amplop cokelat yang terlihat kusut. Ia meletakkan amplop itu di atas meja dengan keras, membuat Adara tersentak kecil.
"Ini," katanya tajam.
Dengan ragu, Adara mengambil amplop itu dan membukanya. Isinya adalah beberapa lembar foto. Saat ia melihatnya, darahnya langsung berhenti mengalir. Foto-foto itu adalah dirinya—bersama seorang pria. Di salah satu foto, ia tampak tertawa lepas, sedangkan pria di sampingnya memegang tangannya dengan akrab.
Itu Andre, mantan kekasihnya.
Adara menatap foto-foto itu dengan perasaan campur aduk. Ia tahu foto-foto itu diambil beberapa tahun lalu, sebelum ia bekerja di perusahaan ini, sebelum ia bertemu dengan Arga. Tapi kenapa foto-foto ini ada di sini sekarang? Dan yang lebih penting, bagaimana Arga mendapatkannya?
"Pak, saya tidak tahu dari mana Anda mendapatkan ini, tapi—"
"Kenapa kau tidak pernah bilang kau punya hubungan seperti ini?" potong Arga dengan nada penuh tuduhan.
Adara mengerutkan kening. "Karena itu masa lalu saya. Tidak ada hubungannya dengan pekerjaan saya di sini."
Arga menghela napas panjang, lalu memutar tubuhnya, berjalan menjauh ke arah jendela lagi. Punggungnya tegang, dan Adara bisa melihat bahwa rahangnya mengeras.
"Kau pikir ini tidak penting?" tanyanya tanpa berbalik. "Kau pikir aku tidak perlu tahu bahwa kau punya seseorang yang masih mengikutimu?"
Adara semakin bingung. "Apa maksud Anda, Pak? Andre sudah lama tidak ada dalam hidup saya. Kami putus dua tahun lalu."
"Benarkah?" Arga berbalik, matanya menyala dengan emosi yang sulit dijelaskan. "Lalu kenapa dia datang ke kantor ini, mencarimu, dan meninggalkan foto-foto ini di meja saya?"
Adara membeku. Kata-kata Arga seperti pukulan keras yang menghantam dirinya. Andre… datang ke kantor? Kenapa? Untuk apa? Ia merasa kepanikan mulai merayap di dadanya.
"Saya tidak tahu tentang ini, Pak. Saya benar-benar tidak tahu."
Arga menatapnya tajam, seolah mencoba mencari tanda-tanda kebohongan di wajahnya. Tapi yang ia lihat hanyalah keterkejutan dan kebingungan yang tulus. Perlahan, kemarahan di matanya mereda, tapi ketegangan itu tetap ada.
"Kenapa dia masih peduli padamu?" tanyanya, kali ini suaranya lebih pelan, namun tetap penuh tekanan.
Adara tidak tahu harus menjawab apa. Ia sendiri tidak mengerti kenapa Andre kembali muncul dalam hidupnya setelah sekian lama.
"Pak Arga," katanya pelan, mencoba meredakan situasi. "Saya tidak punya hubungan apa-apa lagi dengan Andre. Kalau dia datang ke sini dan melakukan ini, itu bukan atas keinginan saya. Saya minta maaf kalau ini mengganggu Anda, tapi saya benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi."
Arga menatapnya lama, seolah mencoba menilai kebenaran dari setiap kata yang diucapkannya. Setelah beberapa saat, ia menghela napas panjang dan duduk di kursinya, mengusap wajahnya dengan tangan.
"Ini bukan tentang dia, Adara," katanya akhirnya. "Ini tentang kau."
Adara mengerutkan kening, bingung. "Maksud Anda?"
Arga menatapnya dengan tatapan yang lebih lembut, meskipun masih ada sisa-sisa ketegangan di sana. "Aku tidak suka ketika ada orang lain yang mencoba mendekatimu. Aku tidak suka merasa bahwa aku tidak tahu segala sesuatu tentangmu."
Kata-kata itu membuat Adara terdiam. Ada kejujuran dalam nada suara Arga, sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Tapi pada saat yang sama, ia merasa bingung. Apa sebenarnya yang Arga rasakan padanya?
"Pak Arga, saya—"
"Sudahlah," potong Arga, mengangkat tangan. "Aku hanya ingin memastikan bahwa ini tidak akan terjadi lagi."
Adara mengangguk pelan, meskipun ia tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi. Ia hanya tahu bahwa hubungan mereka baru saja berubah lagi—dan ia tidak yakin apakah itu menjadi lebih baik atau lebih buruk.