Rayan dan rai, sepasang suami-istri, pasangan muda yang sebenarnya tengah di karuniai anak. namun kebahagiaan mereka di rampas paksa oleh seorang wanita yang sialnya ibu kandung rai, Rai terpisah jauh dari suami dan anaknya. ibunya mengatakan kepadanya bahwa suami dan anaknya telah meninggal dunia. Rai histeris, dia kehilangan dua orang yang sangat dia cintai. perjuangan rai untuk bangkit sulit, hingga dia bisa menjadi penyanyi terkenal karena paksaan ibunya dengan alasan agar suami dan anaknya di alam sana bangga kepadanya. hingga di suatu hari, tuhan memberikannya sebuah hadiah, hadiah yang tak pernah dia duga dalam hidupnya dan hadiah itu akan selalu dia jaga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon happypy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
delapan
Pagi harinya, Rayan terbangun dengan kegelisahan yang mendalam. Zeline, putri kecilnya, mendadak demam tinggi. Tubuhnya menggigil dan wajahnya tampak pucat. Sepanjang malam, Zeline meracau memanggil ibunya dalam tidurnya, membuat hati rayan semakin gundah. Rasa bersalah mulai merayap di pikirannya. Seharusnya ia tak mengajak zeline ke wahana permainan malam tadi. Jika saja ia lebih tegas sebagai seorang ayah, mungkin zeline tak perlu melalui ini.
Tapi bagaimana mungkin ia tak membiarkan putrinya merasakan kegembiraan di tengah malam yang indah itu? Suasana penuh canda dan tawa, sesuatu yang jarang bisa mereka nikmati bersama. Namun kini, rasa sesal dan cemas menyelimuti dirinya.
Tak ingin menunggu lebih lama, Rayan dengan panik memutuskan membawa zeline ke rumah sakit. Harapannya hanya satu, putri kecilnya akan baik-baik saja. Di sepanjang perjalanan, hatinya berdebar tak menentu, menyesali setiap keputusan yang seolah menuntun mereka pada waktu yang penuh dengan kegelisahan ini.
Sesampainya di rumah sakit, Rayan merasa sedikit lega saat suster yang bertugas di pagi itu langsung menyambut zeline dengan sigap. Zeline segera mendapatkan penanganan pertama, dan tak lama kemudian, dokter datang untuk memeriksanya. Rayan hanya bisa menunggu di luar ruang gawat darurat, pikirannya kalut dan perasaan cemas menghantui setiap detik.
Pandangannya menerawang, kembali ke tiga tahun yang lalu, ketika dia berdiri di depan ruang operasi, menunggu kabar tentang rai yang tengah berjuang melahirkan zeline. Saat itu, ia juga dipenuhi rasa takut dan khawatir. Perasaan yang sama kini kembali hadir, menekan dadanya dengan kuat.
Tubuh rayan mulai gemetar, seperti saat-saat kritis menunggu kelahiran zeline dulu. Dia merasa sendirian di lorong rumah sakit yang dingin. Dia butuh rai. Hanya rai yang selalu tahu bagaimana meredakan ketakutannya, menenangkan gemuruh di hatinya. Namun, kali ini rai tak ada di sisinya, dan itu membuat ketakutannya semakin nyata.
Tak ada pilihan lain bagi Rayan selain menghubungi Rahma, satu-satunya orang yang selalu menjadi tempat curhatnya. Bidan yang ia anggap seperti kakaknya itu selalu tahu cara menenangkan hati Rayan. Ketika telepon tersambung, tanpa basa-basi, Rayan langsung menceritakan keadaan zeline yang demam dan kini sedang dirawat di rumah sakit. Suaranya bergetar saat ia mengungkapkan ketakutannya, ketakutan seorang ayah yang merasa tidak berdaya.
Rahma yang mendengar kabar itu ikut khawatir. Ia tahu betapa pentingnya zeline bagi Rayan, dan ia juga bisa merasakan kecemasan yang sama. Namun, di balik rasa khawatir itu, Rahma berusaha menenangkan rayan dengan kata-kata lembut, “Zeline pasti baik-baik saja rayan. Gadis kecilmu itu kuat, percayalah padaku. Aku akan ke sana nanti bersama tio.”
Rayan mengangguk meski Rahma tak bisa melihatnya. Suaranya terdengar semakin lirih, “Iya kak, kalian kemarilah. Aku sangat takut... aku takut kalau zeline kenapa-napa. Kak... aku butuh rai.”
Rahma terdiam sesaat, lalu menghela napas panjang. “Haruskah aku mencari Rai sekarang rayan? Jika memang itu yang kamu butuhkan, aku bisa mencarinya dan membawanya ke sana.”
Rayan terdiam. Pikirannya melayang, memikirkan rai, tapi segera ia menepis ide itu. “Jangan kak,” katanya pelan namun tegas. Meski hatinya merindukan kehadiran rai, ada sesuatu yang menahannya. Bagian dari dirinya tahu, ini adalah sesuatu yang harus ia hadapi sendiri untuk sementara waktu.
“Baiklah rayan. Aku tutup teleponnya dulu ya. Aku siap-siap sekarang. Kalau ada apa-apa, segera kabari aku. Dan ingat, jangan terlalu panik. Tarik napas dalam-dalam sebelum mengambil keputusan dari dokter nanti ” kata Rahma dengan nada lembut namun tegas. Di ujung telepon, Rayan mengangguk, meski Rahma tak bisa melihatnya. Setelah percakapan mereka selesai, Rahma menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum turun untuk memberitahu suaminya, Tio.
Di taman belakang rumah, Tio sedang bermain dengan putri kecil mereka di bawah sinar matahari pagi yang hangat. Saat Rahma mendekat, Tio menoleh dan tersenyum, namun senyumnya memudar ketika melihat ekspresi serius di wajah istrinya.
“Sayang, ayo kita ke cendrawasih ” kata Rahma cepat, tanpa basa-basi.
Tio segera bangkit dan mendekat. “Ada apa sayang? Rayan dan zeline baik-baik saja?” tanyanya cemas.
Rahma menggeleng pelan. “Zeline demam. Rayan butuh kita. Ayo, kita harus segera ke sana ” jawabnya dengan nada khawatir namun tetap tenang.
Tanpa berpikir dua kali, Tio mengangguk. Ia langsung masuk ke dalam rumah dan mulai bersiap-siap. Tak butuh waktu lama, mereka sudah mengemas apa yang perlu, siap untuk melakukan perjalanan ke kota cendrawasih. Di dalam hati, Rahma berharap perjalanan mereka akan membawa ketenangan dan dukungan yang sangat dibutuhkan oleh Rayan dan zeline di saat-saat sulit ini.
Perjalanan menuju kota Cendrawasih terasa sedikit panjang bagi rahma, pikirannya masih dipenuhi kecemasan akan kondisi zeline. Tiba-tiba, ia meminta tio berhenti saat mereka melewati sebuah minimarket di depan sebuah apartemen.
“Sayang, berhenti sebentar. Aku mau beli sesuatu dulu ” katanya.
Tio memarkirkan mobil di tepi jalan. Rahma menoleh ke putri kecilnya yang duduk di belakang. “Nesya sama Papa dulu ya nak. Mama mau beli makanan dulu ” ucapnya lembut sambil tersenyum, memastikan Nesya mengerti.
Setelah itu, Rahma segera turun dari mobil dan bergegas masuk ke minimarket. Ia mengambil sebuah keranjang dan mulai menyusuri lorong-lorong untuk memilih apa yang dibutuhkan. Rahma memutuskan untuk membeli beberapa roti dan buah-buahan segar.
Namun, ketika ia sedang fokus memilih buah, tubuhnya tiba-tiba bertabrakan dengan seseorang. Rahma terkejut dan buru-buru meminta maaf, “Maaf… maaf.”
Ketika ia mendongak, mata rahma langsung terpaku pada wajah orang yang ada di hadapannya. Seketika, napasnya tertahan, dan matanya membesar karena keterkejutan.
"Rai " bisiknya lirih, hampir tak percaya pada apa yang dilihatnya. Wajah itu, sosok yang selama ini tak pernah hilang dari pikirannya, kini berdiri di depannya. Perasaan tak menentu tiba-tiba menyeruak di dadanya, dan waktu seolah berhenti sesaat.
“Kak rahma...” suara rai bergetar, sama terkejutnya dengan rahma. Wajahnya penuh keterkejutan, dan dalam sekejap, matanya berkaca-kaca. Sosok rahma, bidan yang dulu membantunya saat mengandung, kini berdiri di depannya, seperti bayangan masa lalu yang datang menghampiri.
“Rai...” Rahma memanggil pelan, masih terperangah. Air mata mulai mengalir dari mata rai, jatuh tanpa henti. Dengan isak tangis yang tertahan, Rai hanya bisa mengucapkan satu kata, “Kak...” Suaranya lirih, penuh beban yang tak terucapkan, seakan tubuhnya tak mampu menahan derita itu lebih lama.
Tanpa berpikir panjang, Rahma segera memeluk rai erat. Rai menangis dalam pelukannya, tubuhnya berguncang oleh isakan yang tak lagi bisa ia tahan. “Kakak...” isaknya, terisak-isak seperti anak kecil yang mencari perlindungan di tengah badai. Rahma dengan lembut mengusap punggungnya, mencoba menenangkan rai yang tampak sangat hancur.
“Rai, apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis seperti ini?” tanya rahma dengan penuh kebingungan, hatinya diliputi rasa khawatir yang mendalam.
Dagu rai bergetar saat ia berusaha mengucapkan kalimat yang begitu menyakitkan. “Rayan dan anakku... mereka meninggal kak ” ucapnya dengan suara yang hampir tak terdengar, sebelum kembali terisak dalam pelukan Rahma.
Rahma membeku mendengar kata-kata itu. Spontan, apel yang ada di tangannya terlepas, jatuh menggelinding di lantai tanpa ia sadari. Seakan dunia Rahma ikut berhenti sejenak. Hatinya ikut tenggelam dalam kesedihan yang tak terkatakan. Rahma tetap memeluk Rai erat, tak tahu harus berkata apa. Di dalam pelukan itu, hanya ada keheningan yang menggema, keheningan yang dipenuhi kesedihan mendalam.
Pelukan rahma perlahan terlepas, dan ia menatap wajah Rai yang masih basah oleh air mata. Rasa penasaran menggulung di dalam benaknya, pertanyaan-pertanyaan muncul di pikirannya. Dengan hati-hati, Rahma bertanya “Siapa yang memberitahumu tentang itu rai?”
Rai menghapus air matanya, mencoba menenangkan diri meski suaranya masih bergetar. “Ibuku kak... Begitu aku sadar dari koma ku, aku langsung mendengar kabar duka itu dari ibu ” jawabnya dengan lirih, menyisakan kesedihan yang mendalam di setiap kata.
Rahma terdiam sejenak, pikirannya berputar cepat. Ia merasa tak habis pikir. Bagaimana mungkin ibu rai tega memberikan kabar bohong yang begitu menghancurkan? Rahma hanya bisa menggeleng pelan, menghela napas berat. Ia tak ingin menyalahkan siapa pun saat ini, tapi hatinya berontak mendengar kebohongan itu.
Rahma membungkuk, mengambil apel yang tadi jatuh ke lantai, lalu bangkit dan kembali menatap Rai dengan penuh simpati.
“Rai, aku minta maaf... Aku tidak bisa lama berbincang. Ada yang menunggu ku ” kata Rahma dengan lembut.
Rai, yang masih berusaha menenangkan dirinya, mengangguk pelan. “Siapa yang menunggumu kak?” tanyanya penasaran.
Rahma menatap wajah Rai, menimbang-nimbang apakah saatnya untuk memberi tahu kebenaran yang sesungguhnya. Tapi, ia menahan diri. Dengan senyum samar, ia menjawab “Adik dan keponakanku.”
Di dalam hatinya, Rahma berkata lain. " Mereka adalah suami dan anakmu rai..." Namun ini bukan waktu yang tepat. Ia tahu bahwa ada banyak hal yang harus dijelaskan nanti, di saat yang lebih baik. Sambil mengusap lembut bahu Rai, Rahma berpamitan dan bergegas menuju kasir, bersiap untuk kembali ke Rayan dan zeline yang sedang menunggu di rumah sakit.
Rai memperhatikan dengan seksama saat Rahma berjalan cepat menuju mobilnya, meninggalkan minimarket dengan langkah terburu-buru. Rai menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri dari pertemuan yang tak terduga itu. Setelah membayar belanjaannya di kasir, Rai berjalan perlahan kembali ke unit apartemennya, membawa beban pikiran yang semakin berat.
Sementara itu, Rahma masuk ke dalam mobil dengan wajah penuh kegelisahan. Saat pintu mobil tertutup, tubuhnya terasa lemas. Ia terdiam sejenak, membiarkan keheningan memenuhi ruang mobil. Tanpa ia sadari, air mata mulai mengalir dari sudut matanya. Tio, yang duduk di sebelahnya, segera menyadari ada yang tidak beres.
“Sayang, kamu kenapa? Apa yang terjadi?” tanyanya, suaranya dipenuhi kebingungan dan kekhawatiran.
Rahma menoleh perlahan, menatap Tio dengan mata yang basah. Dengan suara yang serak oleh tangis, ia berkata, “Tio... betapa jahatnya ibu Rai... Dia membohongi Rai. Yatuhan, suami dan anak Rai masih hidup...” Air mata Rahma jatuh semakin deras, dan ia tak bisa lagi menahan kesedihannya.
“Bagaimana bisa seseorang setega itu memberikan kabar bohong yang begitu kejam?”
Tio terdiam mendengar pengakuan Rahma, hatinya ikut diliputi kekecewaan. Rahma mengusap wajahnya yang basah dengan tangannya, sambil berkata di antara isakan nya, “Kenapa orang-orang sebaik Rayan dan Rai harus menghadapi ujian sepahit ini? Apa salah mereka Tio?” Suaranya dipenuhi dengan kepedihan yang mendalam. Hatinya hancur melihat begitu banyak kesedihan yang harus ditanggung oleh dua orang yang begitu ia sayangi.
Tio, tak ingin melihat Rahma larut dalam kesedihan, segera meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Sayang, kita akan membantu mereka. Apapun yang terjadi, kita akan ada di samping mereka. Zeline dan rayan membutuhkan kita. Rai juga, cepat atau lambat, harus tahu kebenaran ” ucap Tio dengan tegas namun lembut, berusaha menenangkan Rahma dan memberikan harapan di tengah kekalutan mereka.
Rahma mengangguk, berusaha menguatkan hatinya. Mereka berdua tahu, perjalanan ini baru dimulai, dan kebenaran harus terungkap di waktu yang tepat.
“Yang penting sekarang adalah kita harus cepat sampai. Rayan pasti sedang menunggu kita ” kata Tio lagi, suaranya penuh keyakinan. Rahma mengangguk pelan, masih mencoba menenangkan diri dari kegelisahan yang menggulung di hatinya. Dengan satu tarikan napas panjang, ia menghapus sisa-sisa air mata dari pipinya. Tio memutar kunci mobil dan perlahan menginjak pedal gas, membawa mereka kembali ke jalan raya yang mengarah ke kota Cendrawasih. Tujuan mereka jelas rumah sakit tempat zeline dirawat.
Di dalam mobil, suasana hening, hanya suara mesin yang terdengar lembut di antara mereka. Rahma menatap keluar jendela, pikirannya sibuk memikirkan Rayan, Zeline, dan kini Rai. Terbayang wajah Rayan yang mungkin sedang cemas, menunggu kabar dari dokter tentang kondisi putrinya, sementara Rahma sendiri masih dikejutkan oleh pertemuannya dengan Rai. Betapa sulitnya untuk menahan rahasia besar yang ia tahu tentang kebohongan ibu Rai. Namun, sekarang bukan waktu yang tepat untuk memikirkan itu. Fokusnya harus pada zeline dan rayan.
Setiap detik terasa lambat, jalanan yang mereka lalui terasa begitu panjang. Rahma mencengkeram kantong belanjaan di pangkuannya lebih erat. Tio melirik rahma sekilas, tangannya yang satu tetap kokoh di kemudi.
“Kita akan segera sampai ” ucapnya menenangkan, suaranya penuh kepastian.
Rahma mengangguk lagi. “Iya, aku tahu. Aku hanya berharap zeline baik-baik saja. Aku tahu Rayan pasti sangat takut. Dia pasti sangat membutuhkan Rai sekarang...,” lirihnya, kata-kata itu hampir tenggelam dalam suara mesin mobil.
Tio mengulurkan tangan dan meraih tangan Rahma, memberinya sedikit genggaman yang menenangkan. “Kita akan melewati ini bersama rahma. Semua akan baik-baik saja ” katanya dengan penuh keyakinan.
Dan mobil mereka terus melaju, menyusuri jalan yang menuju kota Cendrawasih, menuju rumah sakit di mana harapan dan ketakutan berbaur menjadi satu. Rahma tahu, begitu mereka tiba, semuanya akan berubah baik untuk zeline, Rayan, maupun Rai.