Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehilangan yang tidak pernah dihitung
Annisa menunduk, suaranya bergetar, nyaris tak terdengar. “Padahal aku juga kehilangan sosok Kakak yang kusayangi…” ucapnya lirih, suaranya penuh kepedihan yang sudah lama ia pendam. "Tapi kenapa seolah-olah di sini perasaanku tidak penting?"
Damian, yang tadinya hendak melangkah pergi, tiba-tiba berhenti. Untuk sesaat, suasana di antara mereka membeku. Damian menolehkan kepalanya perlahan, matanya menatap Annisa dengan ekspresi yang sulit ditebak. Namun, tidak ada empati dalam tatapannya, hanya tatapan yang dingin dan terhalang oleh dinding emosional yang tebal.
“Apa maksudmu dengan itu, Annisa?” tanyanya, suaranya rendah tapi tetap terdengar tegang.
Annisa mendongak, air mata menggenang di sudut matanya, namun ia tetap mencoba menahan agar tidak jatuh. “Aku menikah denganmu karena aku percaya bahwa ini adalah yang terbaik, untuk menjaga Clara, untuk menghormati amanah Mbak Arum. Tapi aku juga kehilangan, Mas. Aku kehilangan Mbak Arum—seseorang yang sudah seperti bagian dari jiwaku sendiri. Aku menjalani hidup ini dengan beban itu juga, tapi seolah-olah, di rumah ini... perasaanku tidak pernah dihitung.”
Damian hanya berdiri di sana, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Jantung Annisa berdegup kencang, rasa sakit yang sudah lama dipendam kini tumpah begitu saja.
“Kamu selalu fokus pada Clara, dan aku mengerti itu. Tapi bagaimana dengan aku, Mas?” lanjut Annisa dengan suara yang semakin pecah. "Aku juga butuh dukungan, butuh seseorang yang bisa mendengarkan aku. Bukan hanya sebagai istri pengganti yang terus-menerus disalahkan, tapi sebagai Annisa—orang yang juga berjuang menghadapi semua ini."
Damian menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan napas panjang, seolah-olah mempertimbangkan kata-katanya sebelum menjawab. “Kamu tahu sejak awal, Annisa. Tugasmu di sini adalah menjaga Clara, menjaga rumah ini. Aku tidak pernah memintamu untuk menjalani lebih dari itu.”
Annisa tersentak, merasa semakin tersakiti oleh sikap Damian yang tampaknya tak mampu memahami kedalamannya. “Kamu benar. Kamu tidak pernah memintaku lebih, Mas. Tapi kamu juga tidak pernah memberi ruang untuk perasaanku. Aku bukan hanya pengganti Mbak Arum. Aku adalah diriku sendiri, dengan luka, dengan harapan, dan dengan perasaan. Kenapa itu tidak pernah cukup bagimu?”
Damian menatap Annisa dengan dingin, seolah-olah dia tidak tahu bagaimana harus menanggapi perasaan yang begitu mentah dan nyata. "Ini bukan soal cukup atau tidak cukup, Annisa. Ini soal tanggung jawab. Kamu memilih untuk ada di sini, dan tanggung jawabmu adalah Clara dan rumah ini. Perasaanmu penting, tapi mereka tidak bisa selalu menjadi prioritas."
Annisa merasakan dadanya semakin sesak, seolah-olah kata-kata Damian adalah dinding yang menutup dirinya. “Kalau begitu... kapan, Mas? Kapan perasaanku akan dihitung? Atau mungkin, kamu memang tidak pernah melihatku sebagai lebih dari sekadar bayangan Kak Arum?”
Damian terdiam, tidak memberikan jawaban. Ia berbalik, kembali menatap tablet di atas sofa, seolah diskusi ini tidak penting lagi. “Kita akan bicara nanti, Annisa,” ucapnya singkat, sebelum meninggalkan Annisa berdiri sendirian, dengan hatinya yang terluka dan pertanyaan yang tidak terjawab.
Annisa hanya bisa menatap punggung Damian yang menjauh, air mata yang tadi ia tahan akhirnya jatuh perlahan. Rasa kesepian yang begitu dalam memenuhi ruang hatinya. Tepat di rumah yang seharusnya menjadi tempatnya berlindung, ia merasa tidak pernah sepenuhnya diterima—tidak oleh Damian, tidak oleh Clara. Dan yang paling menyakitkan, tidak oleh dirinya sendiri.
Di sudut hatinya, ia tahu bahwa semua ini bukanlah hanya soal Clara atau pekerjaan, tetapi tentang kehilangan dirinya dalam peran yang terus-menerus menuntut tanpa memberi apa pun kembali.
•••
Damian membasuh wajahnya, merasakan air dingin yang mengalir di kulitnya seperti mencoba menenangkan gejolak yang tak terlihat di dalam dirinya. Ia menatap cermin di hadapannya, melihat bayangannya sendiri. Wajah yang selalu tampak tegar dan penuh kendali kini terlihat sedikit berbeda—ada kelelahan dan kebingungan yang samar di balik tatapan matanya.
Kata-kata Annisa tadi terus terngiang di pikirannya. "Padahal aku juga kehilangan sosok Kakak yang kusayangi... Tapi kenapa seolah-olah di sini perasaanku tidak penting?"
Damian mengusap wajahnya sekali lagi, mencoba mengusir pikiran-pikiran itu. Tapi percakapan tadi tidak mudah dilupakan. Jika dipikir-pikir, memang benar. Annisa juga kehilangan Arum. Arum bukan hanya kakaknya, tetapi juga sahabatnya, orang yang paling dekat dengannya sejak kecil. Namun, entah mengapa, setiap kali Damian memikirkan kehilangan Arum, dia tidak pernah bisa memasukkan Annisa ke dalam gambaran itu. Baginya, kehilangan Arum adalah luka yang terlalu dalam, terlalu pribadi—sesuatu yang dia rasakan seolah-olah hanya dia yang menanggungnya.
Kenapa? pikir Damian. Kenapa aku tidak pernah mengakui kalau Annisa juga terluka?
Dia menghela napas panjang, merasa jantungnya berdetak lebih keras saat pikirannya kembali ke masa-masa itu. Arum, dengan senyumannya yang lembut dan penuh kasih, adalah segalanya baginya. Mereka membangun keluarga bersama, mereka memiliki Clara, dan Damian tidak pernah membayangkan hidup tanpa Arum. Kehilangan itu begitu mendadak, menghancurkan setiap rencana dan harapan yang mereka miliki bersama.
Dan kemudian ada Annisa. Dia datang sebagai solusi, sebagai amanah terakhir yang disepakati oleh keluarganya. Damian tidak pernah mencintai Annisa, tapi dia tahu tanggung jawabnya. Dia menerima Annisa sebagai istri pengganti, bukan karena cinta, melainkan karena kewajiban untuk Clara. Namun, dalam proses itu, dia tidak pernah melihat lebih jauh dari tanggung jawab tersebut. Perasaan Annisa? Itu sesuatu yang dia hindari untuk dipikirkan.
Damian menatap cermin lagi, seolah-olah mencari jawaban di balik bayangannya sendiri.
"Kenapa?" gumamnya pelan.
Kenapa dia enggan untuk mengakui perasaan Annisa? Kenapa, di setiap kesempatan, dia menempatkan kesalahan di pundak Annisa—mengenai Clara, mengenai rumah tangga mereka, bahkan mengenai kematian Arum, meskipun jelas itu bukan kesalahan Annisa?
Kenyataannya, mungkin Damian belum pernah benar-benar berdamai dengan perasaan kehilangan itu. Setiap hari dia hidup dengan bayangan Arum, berusaha menjalani peran sebagai ayah tunggal untuk Clara, dan entah bagaimana, kehadiran Annisa menjadi pengingat akan apa yang hilang—bukan pengganti, tapi sosok yang membuat luka itu tetap terbuka.
Namun, di balik semua itu, ada kebenaran yang sulit diabaikan. Annisa juga kehilangan. Arum adalah bagian dari hidupnya sebelum menjadi bagian dari Damian. Kematian Arum meninggalkan lubang di hidup mereka berdua, tapi Damian enggan mengakui itu, enggan membiarkan dirinya merasa bahwa mungkin Annisa juga butuh ruang untuk berduka.
Dia menghela napas panjang, menundukkan kepalanya, tangan masih mencengkeram tepi wastafel. Apa aku yang terlalu keras? pikir Damian. Apa aku sudah terlalu lama menutup diri, sampai aku lupa bahwa Annisa juga manusia yang terluka?
Damian menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Dia tahu, di balik rasa marah dan frustrasi yang ia arahkan kepada Annisa, ada sesuatu yang lebih dalam. Rasa bersalah, rasa takut untuk benar-benar membuka diri, dan mungkin, ketakutan untuk benar-benar merasakan kehilangan Arum tanpa menyalahkan siapa pun.
Namun, mengakui itu semua akan membutuhkan lebih dari sekadar memikirkan perasaannya sendiri. Itu berarti harus membuka mata dan hatinya kepada Annisa, melihatnya sebagai lebih dari sekadar istri pengganti—melainkan sebagai seseorang yang juga tersakiti oleh kehilangan ini.
Seseorang yang, meskipun tidak pernah meminta apa pun, telah menanggung beban yang tidak sepenuhnya miliknya.