Ryo seorang pengusaha yang sukses harus menelan musibah dari tragedi yang menimpanya. Sebuah kecelakaan telah membuatnya menjadi lumpuh sekaligus buta. Istrinya sudah tidak Sudi lagi untuk mengurusnya.
Aura, adik sang istri tak sengaja hadir ditengah mereka. Aura yang memerlukan uang untuk kebutuhan hidupnya kemudian ditawari sang kakak sebuah pekerjaan yang membuat semua kejadian cerita ini berawal.
Pekerjaan apakah yang ditawarkan pada Aura?
dan bagaimana nasib Ryo selanjutnya?
Biar tau kisah selengkapnya, yuk ... di intip kisahnya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yurika23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 - Pulih
Dengan kecemasan yang menyebar, Ryo mendekat dan berusaha turun dari kursi roda untuk menolong Aura. Tapi pria itu juga tidak bisa berdiri untuk menggotong tubuh Aura.
“Akh! Sial!. Kenapa kaki ini sulit untuk digunakan!” Ryo mengutuk dirinya sendiri dengan kelemahannya.
Ryo mencoba lagi untuk menggerakan kakinya dan berusaha berdiri. Ia memaksakan kekuatan di kakinya untuk menopang tubuhnya dan juga tubuh Aura.
“Aaargh!” dengan teriakan kekesalan ia berusaha berdiri. Tetapi entah kekuatan darimana, ternyata dengan paksaan dan tekad yang kuat, Ryo memaksakan kakinya untuk berdiri dan mampu melangkah sambil menggotong tubuh Aura yang masih pingsan.
Dengan usaha yang berat, Ryo berhasil membawa Aura dengan memaksakan kakinya yang sedikit masih lemah, tapi justru ia merasakan kekuatan datang entah darimana.
Ia berhasil mencapai sofa, kemudian ia membaringkan Aura di sofa. Nafas pria itu tersengal-sengal. Ia terkulai jatuh dan duduk di lantai bersandar pada bawah sofa. ‘Kenapa aku selemah ini!. Tapi, apa tadi aku mampu berdiri?’ gumamnya seolah tidak sadar apa yang tadi ia lakukan.
Ryo mencoba bangkit dari duduknya, kemudian mencoba melangkah berjalan beberapa langkah. Ya, ia mampu berjalan tanpa bantuan kursi rodanya atau alat bantu berjalan.
“Hah! Aku sudah pulih! Aku bisa berjalan!” pekiknya semangat. Sampai ia lupa wanita yang tadi pingsan dan telah dibopongnya ke sofa.
Ryo mendekati Aura yang masih tidak sadar. Pria itu menepuk-nepuk pipi Aura tapi tidak ada tanda-tanda Aura sadar, akhirnya ia meraih handphone yang selalu ada di saku celananya, kemudian menelpon Yunda dan Dokter langganannya.
Sambil menunggu kedatangan Dokter, Ryo masih memandang wajah putih Aura yang cantik dan teduh.
‘Apakah dia kelelahan mengurusku, sampai malam hari pun dia terjaga untukku. Tapi yang masih mengganjal di pikiranku, kenapa selama ini dia membohongiku dan berpura-pura menjadi Jesica, lalu dimana istriku yang tidak tahu diri itu’ Ryo meraup kasar rambutnya seolah ingin mengungkap semuanya.
Beberapa jam kemudian,
Aura membuka matanya perlahan. Ia berada di ranjang mewah milik Ryo, tubuhnya di selubungi selimut sebatas dadanya.
“M-Mas Ryo?” ucapnya dengan suara sedikit parau.
“Kau sudah sadar?” ucap Ryo yang berpura-pura masih buta dan masih lumpuh.
Yunda menunggu Ryo, Yunda sudah tau kalau tuannya sudah pulih dari lumpuh dan butanya.
“Apa yang terjadi denganku?” tanya Aura masih berbaring lemah.
“Kau hanya kelelahan. Istirahatlah” ucap Ryo lalu mengelus kepala Aura dengan lembut, kemudian Yunda mendorong kursi roda tuannya kearah luar kamar, kemudian pria itu menutup pintunya.
Diluar kamar, Ryo menatap kearah jendela besar yang membentang. Ia berdiri gagah dengan kakinya. Pria itu memikirkan sebuah cara agar istrinya mengakui ada apa sebenarnya dibalik sandiwara ini.
“Kau sudah tau tugasmu, Yunda. Sekarang pergilah,” perintah Ryo tanpa menoleh kearah Yunda, sang tangan kanan yang setia.
“Baik, saya permisi” ucap Yunda, kemudian berlalu dari sana.
Beberapa jam setelahnya,
Aura beranjak dari kamar dan keluar dengan kondisi yang masih agak lemah.
“Jika masih sakit, istirahat saja,” kata Ryo yang sudah berpura-pura berada di kursi roda lagi dan pandangan yang seolah masih buta.
“Tidak apa, Mas. Aku sudah lebih baik. Aku justru memikirkanmu. Oya, apa Mas sudah makan?. Aku ambilkan makanan ya?”
“Tidak perlu, aku sudah makan. Yunda membelikannya untukku tadi”
“Kalau begitu aku buatkan minuman ya. Oya, tadi pagi aku mau buatkan Matcha Latte untuk Mas, tapi belum sempat, sebentar ya Mas aku buatkan …”
“Tid-” belum sempat Ryo menolak, Aura sudah beranjak kearah dapur. Ryo menghela nafas pendek sambil menurunkan pundaknya.
Pria itu menggerakkan tombol di kursi roda lalu menuju jendela besar tempat biasa ia duduk disana dan memandang kearah jendela. Kini ia benar-benar bisa melihat pemandangan yang ada di balik jendela besar itu.
‘Apa aku harus marah pada wanita yang telah banyak membantuku, atau aku harus berterimakasih pada wanita yang telah menipu dan membuatku merasa bodoh’ Ryo terus bergelut dalam kebimbangannya sendiri.
Lamunan Ryo membuyar, ketika Aura sudah berada di belakangnya sambil menunduk dan meletakkan segelas minuman berwarna hijau di gelas kristal agak tinggi.
Ryo bisa melihat Aura dari pantulan kaca jendela besar di depannya. Wanita itu memang jauh lebih sempurna di banding istrinya dari segi apapun. Ryo terus memandang gerak-gerik Aura dari pantulan jendela tanpa harus menoleh kearah wanita itu.
“Mas, ini Matca Latte-nya” ucap Aura lembut.
“Ya, letakkan saja disitu”
Tiba-tiba Aura duduk di lantai di sebelah Ryo juga memandang ke arah jendela besar di depannya. Ia memiringkan kedua pahanya di lantai dan kepalanya bersandar pada pegangan kursi roda Ryo.
Ryo menoleh kearahnya, tapi ia hanya mendapati kepala Aura dari atas, karena ia tidak bisa memandang wajahnya.
“Mas, kalau seandainya Mas Ryo sembuh, apa yang pertama Mas akan lakukan?” tiba-tiba Aura bertanya pada Ryo.
Ryo sedikit heran dengan pertanyaan Aura, ia menoleh kearah Aura, kemudian beralih kembali memandang ke arah jendela, lalu dengan percaya diri Ryo menjawab …
“Entahlah, mungkin aku akan buru-buru memandang wajah cantik wanita yang selalu berada di sisiku saat ini.”
Sontak Aura terperanjat tanpa sadar. Seolah ia tercekat dengan sesuatu di tenggorokannya. Matanya yang jernih spontan membulat menerima jawaban dari pria di sampingnya. Ia diam seribu bahasa.
Aura kemudian diam, menunduk, merasa salah telah melontarkan pertanyaan yang menurutnya bodoh dan tidak seharusnya ia tanyakan.
Dalam diamnya Aura, Ryo sedikit tersenyum dengan sudut bibirnya tanpa di sadari wanita di sisinya.
Malam harinya, seperti biasa Aura memijit kaki Ryo. Yang berbeda kali ini, Ryo bisa dengan jelas memandang wajah Aura dan melihat Aura memijit kakinya.
“Apa kau tidak lelah mengurusku?” tanya Ryo tiba-tiba.
“Tidak” jawab Aura dengan wajah tenang.
“Bagaimana jika aku tidak sembuh untuk waktu yang lama, apa kau tetap akan terus mengurusku?”
“Ya, tentu saja,” jawab Aura lagi dengan mantap.
“Kenapa kau tidak beralih saja ke pria lain yang normal?” pertanyaan Ryo kali ini membuat Aura menghentikan gerakan pijatannya.
“Pertanyaan konyol apa itu!. Kenapa aku harus beralih ke pria lain?, Aku akan mengurusmu sampai kau sembuh, itu merupakan suatu kepuasan yang tidak bisa di beli dengan apapun,” jawab Aura.
“Kenapa kau tidak pernah meminta apa-apa padaku semenjak kau mengurusku?. Mintalah apapun, aku akan membelikannya untukmu,” ujar Ryo yang ternyata masih menatap Aura.
“Tidak perlu, Mas. Aku sudah merasa sangat tercukupi saat ini.”
“Baiklah. Hey, sudah lama aku tidak melihat wajahmu. Kau pasti terlihat cantik saat ini” goda Ryo seolah masih tidak dapat melihat.
Aura tertunduk seolah malu, padahal wanita itu masih mengira Ryo masih belum bisa melihat, dan Aura masih mengira bahwa Ryo masih menganggap dia adalah Jesica, kakaknya.
“Hey, kenapa diam?” tanya Ryo.
“Wajahku masih sama seperti yang dulu kok Mas” Aura sedikit tersenyum.
Aura tertunduk dengan senyuman yang begitu manis. ‘Andai Mas Ryo menganggapku sebagai diriku yang sebenarnya dan bukan kak Jesica’ batin Aura berharap. Yang ternyata harapannya memang sudah terpenuhi.
Ryo terus memperhatikan Aura. Ia hampir saja tidak dapat menahan diri ketika melihat Aura tersenyum sangat manis, sangat menggoda. Tapi bukan saatnya kebenaran di bongkar saat itu. Ryo menahan hasratnya melihat wanita cantik di hadapannya.
‘Dia benar-benar membuatku berhasrat’ batin Ryo yang tak lepas memandang kecantikan Aura.