Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IKTN 32
Jam tujuh malam di rumah Raksa. Seperti biasa, Anne, Raksa, dan Yeni makan bersama dengan harmonis. Bukan hanya obrolan ringan yang mewarnai suasana, melainkan juga canda dan tawa. Terlebih lagi setelah Anne positif hamil, makin harmonis saja hubungan mereka.
Yeni tak menganggap Anne sebagai menantu, melainkan anak sendiri seperti Raina. Perhatian terus tercurahkan, berikut dengan nasihat-nasihat seputar kehamilan.
Anne pun tak banyak membantah. Dia justru bersyukur Yeni mau memberikan nasihat. Demi apa kehadirannya sebagai istri Raksa diterima dengan baik. Keberuntungan tersendiri mendapat mertua yang sayang tulus tanpa berpura-pura.
Akan tetapi, makan malam kali ini sedikit mengusik benak Raksa. Sejak tadi, lelaki itu tak banyak menyahut perbincangan ibu dan istrinya. Dia malah sibuk memperhatikan leher sang ibunda yang tampak kosong. Entah ke mana kalung yang biasa menggantung di sana. Kalau tidak salah ... sudah beberapa hari ini Raksa tak melihatnya.
"Kalung Mama kok nggak dipakai?" Akhirnya Raksa memutuskan untuk bertanya.
"Oh, kalung ya." Yeni meraba lehernya. "Kapan hari nyangkut pas sisiran, terus tiba-tiba putus. Jadi Mama lepas," sambungnya.
"Kok nggak bilang sama aku, Ma? Tahu gitu kan aku ganti, atau dibenerin," sahut Raksa.
Yeni tersenyum. "Nggak usah lah. Mending kamu banyak-banyak nabung, biaya lahiran itu banyak. Jangan sampai kamu hanya mengandalkan Anne. Kamu sebagai suami, harus bertanggung jawab."
"Sekarang kan aku udah punya kerjaan bagus, Ma. Nyisihin sedikit untuk ganti kalung Mama bukan masalah besar," ujar Raksa.
Anne pun ikut menimpali, "Benar apa yang dikatakan Mas Raksa, Ma. Mama dulu udah berjuang keras untuk Mas Raksa, sekarang saatnya kami yang nyenengin Mama. Lagi pula hanya sebatas kalung, nggak sebanding dengan apa yang udah Mama berikan untuk kami."
Yeni tersenyum lagi. "Nggak apa-apa. Dengan kalian mau tinggal di sini aja Mama udah seneng. Jangan mikir kalung lagi, toh Mama juga jarang ke mana-mana, nggak perlu lah pakai perhiasan."
"Eh, tapi, Ma, bukannya Mama punya dua ya. Yang peninggalan Papa waktu itu, masih Mama simpan kan?" seru Raksa. Tiba-tiba dia ingat bahwa dulu Yeni punya kalung dari peninggalan almarhum. Dulu sempat hampir dijual untuk biaya sekolah Raina, tetapi dilarang oleh Raksa. Katanya, biar itu menjadi tabungan sekaligus kenang-kenangan. Lebih baik dirinya yang berjuang keras kala itu.
"Masih ada kok, masih Mama simpan rapi. Cuma ... lagi nggak pengin memakainya. Biar saja tetap di dalam kotak, biar tetap kayak dulu." Yeni menjawab sambil tersenyum lebar.
Raksa menatap ragu. "Serius, Ma?"
"Ya serius. Memang Mama pernah bohong sama kamu?" sahut Yeni.
Raksa terdiam. Meski ragu, tetapi dia mulai yakin. Sejauh ini, ibunya itu memang tak pernah berdusta dalam hal apa pun.
"Uang pegangan Mama ... masih ada?" Kini Anne yang bertanya.
"Masih, Nak. Setiap bulan kalian memberikan uang untuk Mama, dan dulu-dulu Raksa juga sering memberi. Sedangkan kebutuhan Mama semua kalian tanggung, jadi ya ... uangnya masih utuh." Yeni menjawab dengan serius, Anne dan Raksa pun jadi makin yakin dibuatnya.
"Ya sudah kalau gitu, Ma, disimpan aja uangnya. Kalau misal nanti ada kebutuhan dan pegangan Mama kurang, jangan sungkan ngomong ke kami," ujar Anne.
"Iya, pasti, Nak." Yeni tersenyum lagi.
"Ma—"
"Oh ya, tadi pagi Mama coba telfon adikmu, tapi nomornya nggak aktif. Apa Raina ganti nomor?" pungkas Yeni, membuat Raksa urung melanjutkan ucapannya.
Dalam beberapa saat, Anne dan Raksa sedikit gelagapan. Dua minggu ini, mereka masih sibuk mencari Raina, belum sempat memikirkan alasan yang tepat untuk menyembunyikan masalah itu dari ibunya.
"Raksa?" panggil Yeni. "Apa adikmu ganti nomor?"
Raksa tersenyum kaku. "Itu ... bukan ganti nomor, Ma. Aku dengar dari Nero kemarin, katanya HP Raina rusak. Sebenarnya, Nero udah nawarin beli baru aja, tapi Raina nggak mau. Benerin yang lama aja katanya. Jadi ya ... selagi nunggu diperbaiki, nomornya nggak bisa dihubungi, Ma."
Yeni mangut-mangut. "Oh, begitu ya. Mmm, ya sudah begini saja, nanti kalau selesai makan, kamu coba hubungi Nero ya. Mama mau bicara sama Raina."
"Malem gini, Ma?" Raksa kembali gelagapan.
"Iya, lebih baik malam, kan? Kalau pagi atau siang Nero juga sibuk di kantor."
"Ya ... maksudku apa nggak nunggu kalau HP Raina udah dibenerin aja? Meski malam dan lagi di rumah, kadang Nero juga masih lemburin apa gitu, Ma. Tahu sendiri kan, anak Mama yang satu itu sibuknya minta ampun," kilah Raksa, sebisa mungkin memberikan alasan yang tepat untuk menolak permintaan ibunya.
Namun, sepertinya Yeni kurang terima dengan alasan itu. Buktinya, sekarang dia menghela napas panjang sambil meletakkan sendok dan garpu yang tadi ia pegang.
Bersambung....