Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 32 ~
Sampai kami tiba di rumah papi, seorang satpam membuka pintu gerbang setinggi dua meter untukku.
Aku membunyikan klakson ketika mobilku memasuki gerbang sebagai ucapan terimakasih. Sang satpam meresponku dengan anggukan kepala lengkap dengan senyum tipis.
Belum mematikan mesin mobil, ku lihat Lala dengan marah berusaha membuka pintu di iringi isakan.
Entah apa yang ada dalam pikiran Lala saat ini, dari gurat wajahnya tersirat kemarahan terhadapku.
"Sebentar ayah bukakan, nak"
"Sekarang!" pekik Lala dengan tatapan fokus ke arah gagang pintu.
Dari dalam mobil aku membukakan pintu di sebelah kiri Lala yang tak sabar ingin segera turun.
Begitu pintu terbuka, gadis kecil yang tampak sembab itu langsung berlari menuju pintu utama.
Aku menyusul turun setelah mematikan mesin mobil.
"Oma, opa!" Lala menggedor pintu sebab tak bisa membukanya sendiri. "Buka oma!" Teriaknya lagi dengan sesenggukkan.
"Ucapkan salam, nak"
Bukannya menuruti ucapanku, dia malah kembali menggedor pintu sembari memanggil-manggil omanya.
"Oma, buka oma!"
Selang sekitar setengah menit, teriakan Lala terhenti karena tiba-tiba pintu terbuka. Lala langsung menerobos masuk membuat bik Nani keheranan.
"Ada apa dengan Lala mas?" tanyanya bingung. Wanita paruh baya di depanku melirik ke arah balik punggungku. "Nggak sama bu Arimbi?"
"Enggak"
Aku masuk, mengabaikan raut bingung bik Nani.
"Loh loh, cucu oma kenapa?"
"Bunda, oma"
"Ada apa dengan bunda?"
Tangis Lala justru kian kencang ketika sudah berdiri di hadapan mami dan papi yang duduk sambil menonton televisi.
Keduanya lantas menatapku sekilas sebelum kemudian kembali menatap sang cucu.
Setelah menunggu sejenak, mami kembali berkata.
"Cup sayang, jangan nangis lagi, sekarang cerita ke oma, ada apa?" mami membawa Lala ke atas pangkuannya. Sementara papi yang duduk di sebelah mami bergeming seraya menatap Lala dalam-dalam.
"Ayah kenapa jahat sama bunda, oma?"
Pertanyaan Lala membuat papi dan mami langsung mempertemukan pandangan. Aku yang berdiri di belakang sofa sambil melipat tangan di dada terdiam karena syok.
"Lala nggak suka kalau ayah jahatin bunda, Lala nggak suka ayah marahi bunda" Pungkas Lala dengan raut wajah menahan tangis. Sepasang mata indahnya berkaca-kaca, siap meluncurkan lelehan air mata yang terbendung.
"Lala sayang sama bunda, Lala juga sayang sama ayah, tapi Lala nggak suka ayah marah-marah sama bunda"
"Lala nggak mau bunda pergi, oma. Lala mau sama bunda" Usai mengadu, tangis Lala seketika pecah.
Dan aku hanya bisa mematung ketika tatapan papi dan mami beralih padaku dengan penuh intimidasi.
Baik papi dan mami sama-sama menahan diri untuk tidak memberondong rentetan pertanyaan sampai gadis kecil dalam pelukan mami tenang.
Melihat Lala menangis hingga membuat nafasnya tersengal, jujur hatiku sedih dan seakan seperti di remat kuat-kuat.
Sebegitu sayangnya Lala sama bunda Arimbi, nak?
Jika Lala tahu kalau bunda Arimbi bukan ibu kandung Lala, apa Lala masih menangisinya seperti ini?
Menghela napas perlahan, aku memijat pelipisku yang terasa sakit karena terlalu lelah. Seharusnya aku sudah bisa mengistirahatkan badan setelah dua bulan tenagaku terkuras di udara.
Tapi apa ini?
Arimbi menghilang, Lala terus saja menangis dan menanyakannya.
Pikiranku kacau kerana dua perempuan beda generasi ini.
Sebagian pikiranku mengasihani Lala, dan sebagian lagi memikirkan keberadaan Arimbi.
Meskipun aku sangat kecewa dengan sikapmu, Bi ... Tapi aku berharap kamu baik-baik saja.
"Nggak apa-apa sayang, ayo keluarin semua sedihnya Lala, Lala boleh nangis sekencang-kencangnya, setelah itu Lala ceritakan pelan-pelan ke opa sama oma" Papi mengusap belakang kepala Lala.
Aku kembali tersadar dan langsung fokus pada putriku yang masih menangis kejer.
"Gara-gara ayah bunda pergi"
"Bunda pergi?" tanya Mami mengernyitkan dahi.
"Eungh" Lala mengangguk sambil terisak.
"Kenapa bunda pergi?"
"Ayah yang sudah bikin bunda pergi" Pandangan Lala teralih ke wajahku penuh benci.
"A-ayah jahat, ayah ng-nggak sayang sama Lala. Lala nggak mau sama ayah, La-la nggak mau lihat ayah. Ayah suruh pergi, oma!" Ujar Lala dengan terbata sebab masih tersengguk.
"Ssttt,, Lala nggak boleh kayak gitu sama ayah. Ayah sayang sama Lala" Hibur mami mengusap kening Lala yang di penuhi butiran keringat, kemudian menyelipkan rambut Lala ke belakang telinga.
"Lala tahu, ayah sama bunda kenapa?"
"Ayah marahin bunda, terus bunda bilang mau pergi, sekarang bunda beneran pergi, oma. Bunda belum pulang ke rumah"
"Kapan ayah marahi bunda?"
"Waktu itu"
"Okay, sekarang ayo oma bantu Lala gosok gigi, terus bobo"
"Nggak mau, Lala mau gosok gigi sama bunda, Lala mau bobo sama b-bunda"
"Lala!" bentakku membuat Lala beringsut. "Bunda sedang sibuk, besok bunda pasti pulang, sekarang Lala menurut sama oma. Gosok gigi lalu tidur" Hilang kendali, tanpa sadar aku membentak putriku.
"Ayah kan sudah bilang kalau bunda nggak akan pergi, ayah akan cari bunda, kenapa Lala nakal, hmm? Lala nggak dengar apa kata ayah_"
"Bima" Potong papi cepat.
"Turunkan intonasimu di depan putrimu!"
Hufftt.. Aku benar-benar pusing.
Satu tanganku memijat kening, sementara tangan lainnya berkacak pinggang.
Frustasi??
Jelas aku frustasi memikirkan Arimbi.
Tahu-tahu, mami menggendong Lala dan membawanya keluar karena Lala terus merengek meminta menunggu bundanya di teras depan rumah.
"Opa telfon bundanya Lala ya, suruh bunda pulang cepat-cepat" Gumam mami melirik papi untuk menenangkan cucunya. "Yuk kita tunggu bunda Arimbi di luar"
Setelah mami menghilang, netraku dan papi bertemu.
"Duduk dan jelaskan ke papi, ada apa dengan kalian!"
Sebelum duduk, aku menghela napas panjang.
"Dimana Arimbi?" Tanya Papi dengan nada datar. Setelah aku duduk tentunya.
"Aku nggak tahu pih"
"Kamu suaminya, kamu nggak tahu dimana istrimu berada? Suami macam apa kamu!"
"Pi, aku baru saja pulang tugas dan langsung jemput Lala, aku juga menunggunya di sekolah Lala" Jawabku berusaha membela diri. Aku benar-benar tak tahu hal apa yang menyebabkan Arimbi pergi tanpa kabar.
"Apa Arimbi pergi setelah pulang dari kantor?"
"Iya pih"
"Di dalam rumah tangga hanya ada kamu dan istrimu, kalau kalian ada masalah, pasti salah satu di antara kalian biang keroknya"
"Sumpah pi, aku nggak tahu apa masalahnya, aku sendiri bingung kenapa tiba-tiba dia menghilang"
"Kamu benar-benar nggak tahu kemana istrimu pergi?"
Aku menggeleng tanpa ragu.
"Sudah di hubungi kantor dan teman-temannya?"
"Sudah, pih"
Tiba-tiba saja aku mendapatkan tatapan penuh selidik dari papi.
"Benar kamu nggak tahu? Kamu nggak menyakiti Arimbi, kan?"
"Kenapa papi tanya gitu?"
"Enggak, papi cuma teringat masa lalu ayah Danu dan bunda Nina"
Aku tahu cerita soal ayah Danu dan bunda Nina.
Ah,, kenapa aku mendadak was-was. Bagaimana kalau Arimbi pergi tanpa kabar dan nggak akan kembali.
Kacau semua, ekspektasiku kacau. Aku berharap setelah sampai di rumah, aku bisa bicara dengan Arimbi, tapi nyatanya?
"Sudah kamu lacak ponsel Arimbi?" tanya Papi membuyarkan fokusku.
"Sudah pih, tapi tidak bisa, Arimbi mematikan layanan GPSnya, ponselnya juga nggak aktif"
"Apa sebelumnya kalian bertengkar?"
"Enggak, pih"
"Ada ngomong sesuatu, Arimbi ke kamu?"
"Nggak ada pih, semua baik-baik saja"
"Apa ada seseorang yang menculiknya?"
"Bunda!" Teriakan Lala sembari menangis menginterupsi obrolanku dengan papi. Kompak, aku dan papi mengalihkan pandangan ke arah mami yang menggendong Lala menghampiri kami di ruang keluarga.
"Iya ayo, kita suruh ayah buat cari bunda, yuk"
"Kenapa mih?"
"Anakmu loh Bim, dia terus menanyakan bundanya"
"Sama ayah yuk, kita bobo dulu"
"Nggak mau! Lala mau bobo sama bunda"
Lala kembali menangis.
"Lala bobo dulu, besok bunda pulang"
"Ayah bohong, Lala nggak percaya sama ayah, kata ayah setelah Lala mandi dan makan bunda akan pulang, tapi bunda nggak pulang-pulang"
"Ini sudah malam nak, sudah jam sepuluh, bunda pasti marah kalau Lala nggak mau bobo, nggak mau istirahat"
"Lala mau bunda"
"Gini aja, ayah cari bunda, terus Lala bobo sama oma, gitu ya" Bujuk mami.
"Besok pas bangun, bunda pasti udah pulang, okay cucu oma"
Lala yang matanya sudah merah dan sangat sembab, tampak berfikir.
Setelah beberapa saat, akhirnya dia mengangguk setuju. Mungkin karena sudah lelah sebab dari pukul lima dia sudah menangis.
"Di luar hujan deras, kamu nggak bisa melakukan apapun, coba telfon mas bagas, suruh dia kerahkan anak buahnya buat cari istrimu"
Mendengar perintah papi, aku langsung merogoh ponsel di dalam saku celana.
Sebelum menelpon mas Bagas, temannya mas Ken yang saat ini menjadi suaminya mbak Ayu, aku mengecek kolom chatku dengan Arimbi.
Aku berharap pesan beruntun yang ku kirim ke nomor ponselnya beberapa waktu lalu sudah berubah menjadi centang dua dan berwarna biru.
Sepersekian detik, mataku membulat ketika mengetahui pesanku sudah terbaca. Di sisi bagian atas tampak kalau Arimbi aktif sekitar lima belas menit yang lalu.
"Nomor Arimbi aktif pih" Ucapku lega, sementara papi terkesiap "Sebentar aku telfon dulu"
Setelah menggeser ikon panggil, kekecewaan kembali ku rasakan ketika nomor Arimbi lagi-lagi tidak bisa di hubungi.
"Kenapa Bim?" Tanya papi penasaran.
"Sudah nggak aktif lagi, pih" Sahutku frustasi lalu membanting punggungku ke sandaran sofa.
Bersambung...
Semangat berkarya