Diceritakan seorang pemulung bernama Jengkok bersama istrinya bernama Slumbat, dan anak mereka yang masih kecil bernama Gobed. Keluarga itu sudah bertahun-tahun hidup miskin dan menderita, mereka ingin hidup bahagia dengan memiliki uang banyak dan menjadi orang kaya serta seolah-olah dunia ini ingin mereka miliki, dengan apapun caranya yang penting bisa mereka wujudkan.
Yuk simak ceritanya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Pak Lurah
Keesokan harinya, warung Jengkok semakin ramai. Kabar tentang kelezatan makanan buatan Slumbat sudah menyebar ke seluruh kampung. Bahkan ada yang bilang, "Kalau mau ngerasain surga di lidah, ya datanglah ke warung Pak Jengkok." Tidak heran, pagi itu warung kecil di teras rumah mereka penuh dengan pembeli.
Di tengah kesibukan melayani para pelanggan, tiba-tiba terdengar suara sirine sepeda motor dari kejauhan. Semua mata tertuju ke arah jalan. Terlihat sebuah motor dinas dengan plat nomor desa berhenti di depan warung. Siapa lagi kalau bukan Pak Lurah!
Jengkok yang sedang mengaduk minuman langsung menegakkan badan. “Waduh, Mah! Pak Lurah datang, nih. Ada apaan ya? Jangan-jangan kita bikin masalah gara-gara rame terus warung ini.”
Slumbat yang tengah menata gorengan di piring malah tersenyum tenang. “Santai aja, Pak. Mungkin Pak Lurah penasaran sama masakan kita. Jangan salah, pejabat juga doyan gorengan!”
Pak Lurah turun dari motornya dengan gaya yang berwibawa, memakai baju dinas lengkap. Di belakangnya, ada dua orang staf desa yang ikut mendampinginya. Tanpa basa-basi, Pak Lurah melangkah ke arah warung dengan senyum lebar.
“Selamat pagi, Pak Jengkok, Bu Slumbat,” sapa Pak Lurah sambil melepas kacamata hitamnya. “Wah, saya dengar dari banyak warga, warung ini sudah terkenal seantero kampung. Katanya, gorengan sama rendangnya nggak ada tandingannya!”
Jengkok langsung menyambut dengan senyuman kaku, agak grogi juga disambangi pejabat. “Eh, pagi, Pak Lurah. Iya, Alhamdulillah, ini cuma warung kecil-kecilan, Pak. Masih belajar cari rezeki. Silakan duduk, Pak!”
Pak Lurah duduk di salah satu bangku kayu yang tersedia, diikuti stafnya. Dia melirik ke arah makanan yang ada di etalase warung. “Wah, ini nih yang katanya bikin lidah bergoyang! Saya penasaran, Bu Slumbat. Saya mau coba rendang sama mendoannya. Sekalian teh manis hangat, ya.”
Slumbat langsung sigap menyiapkan pesanan Pak Lurah. Sementara itu, Jengkok, yang belum terbiasa melayani pejabat, mencoba berbasa-basi. “Pak Lurah ini hebat, bisa atur waktu buat mampir ke warung kecil kami. Padahal pasti sibuk ya, Pak, urusin desa?”
Pak Lurah tertawa kecil sambil melipat tangan di depan dada. “Wah, sibuk sih, Pak Jengkok, tapi yang namanya perut kan nggak bisa diajak kompromi. Lagian, saya juga mau lihat langsung usaha warga saya yang katanya makin maju. Siapa tahu nanti bisa buka cabang di balai desa!”
Jengkok terkekeh. “Aduh, Pak, kami ini masih warung teras. Buka cabang? Waduh, saya malah takut kalau nanti malah nggak ada waktu buat ketemu pocongan lagi.”
Pak Lurah dan stafnya langsung tertawa mendengar itu. “Hahaha, pocong? Ini cerita apa lagi, Pak Jengkok?”
Jengkok langsung melanjutkan cerita dengan semangat. “Iya, Pak, dulu waktu masih mulung, saya pernah ketemu pocong usil di tengah jalan. Bayangin, Pak, tengah malam, saya lagi dorong gerobak, tiba-tiba pocong itu nongol! Untungnya, saya nggak takut sama dia, saya malah ajak ngobrol!”
Pak Lurah menahan tawa. “Dia jawab, Pak Jengkok?”
“Nah, itu dia yang bikin kaget, Pak. Ternyata jawab! Dia bilang, ‘Bang, mau mulung apa mau ketemu saya?’ Saya jawab aja, ‘Mulunglah, Mas. Kalau ketemu kamu terus nggak dapet uang, mending saya pulang!’ Eh, si pocong ketawa terus hilang gitu aja!” Jengkok bercerita sambil menggerakkan tangan seolah sedang berakting menghadapi pocong.
Pak Lurah dan stafnya tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita itu. “Aduh, Pak Jengkok, kalau begitu mendingan tetap jualan aja deh, daripada mulung ketemu pocong. Lagian, kayaknya usaha warung ini lebih menjanjikan.”
Slumbat datang dengan pesanan Pak Lurah, menyodorkan piring rendang dan mendoan. “Ini dia, Pak Lurah. Silakan dicicipi. Saya yakin, rendang ini lebih sedap daripada ketemu pocong di malam hari,” katanya sambil tertawa kecil.
Pak Lurah mencicipi rendangnya dengan penuh penasaran. Begitu potongan pertama masuk ke mulutnya, matanya langsung berbinar. “Wah! Bu Slumbat, ini rendang enak banget! Lembut, bumbu meresap sempurna, dan ada rasa gurih yang beda dari rendang-rendang lain yang pernah saya coba.”
Staf Pak Lurah juga ikut mencicipi mendoan. “Pak, mendoannya ini juga juara. Renyah di luar, lembut di dalam. Saya kira ini mendoan biasa, ternyata luar biasa!”
Jengkok yang melihat reaksi itu langsung tersenyum lebar. “Nah, Pak Lurah, makanya warung kami jadi rame. Makanan yang sederhana, tapi rasanya bikin orang balik lagi.”
Pak Lurah mengangguk-angguk sambil terus menikmati rendang di hadapannya. “Saya setuju, Pak Jengkok. Kalau begini terus, saya yakin usaha ini bisa makin besar. Nanti kalau ada event di balai desa, saya pasti pesan makanan dari sini!”
Jengkok dan Slumbat saling berpandangan dengan senyum puas. “Terima kasih banyak, Pak Lurah. Kami senang bisa melayani, apalagi kalau pelanggan puas.”
Setelah selesai makan, Pak Lurah berdiri dan mengeluarkan dompetnya. “Wah, saya nggak sabar nunggu event berikutnya. Bu Slumbat, rendang dan mendoannya bikin saya lupa kalau masih banyak urusan di kantor. Ini bayarannya, ya!”
Slumbat menolak dengan sopan. “Wah, nggak usah, Pak. Ini kan kehormatan buat kami, Pak Lurah sudah mau mampir ke warung kecil kami.”
Namun, Pak Lurah tersenyum dan tetap menyerahkan uangnya. “Nggak bisa, Bu. Justru ini apresiasi dari saya buat usaha keluarga kalian. Terus berkarya, ya. Siapa tahu nanti warung ini jadi kebanggaan kampung!”
Setelah Pak Lurah pergi, Jengkok dan Slumbat berdiri di depan warung, tersenyum lebar sambil memandangi jalanan yang kembali lengang.
“Pak,” kata Slumbat sambil menyandarkan bahunya ke Jengkok, “kayaknya kita beneran bisa sukses dari warung ini, ya?”
Jengkok mengangguk, “Bener, Mah. Kalau begini terus, kita nggak perlu lagi takut sama pocong di malam hari. Sekarang tinggal fokus masak rendang dan mendoan, udah jelas lebih aman—dan menguntungkan!”
Keduanya tertawa bersama, merasa bersyukur atas apa yang mereka capai sejauh ini. Warung sederhana di teras rumah mereka kini bukan sekadar tempat jualan, tapi juga menjadi tempat berbagi cerita, tawa, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Pak Lurah pulang dari warung Pak Jengkok dengan senyum tersungging di wajahnya. Di atas motornya, pikirannya terus terfokus pada satu hal: rendang buatan Bu Slumbat. Rasanya begitu lezat, seolah masih menempel di lidahnya. Pak Lurah, yang biasanya tenang dan penuh wibawa, sekarang seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.
“Waduh, kok bisa ya rendang itu seenak itu? Kayak ada bumbu rahasia yang nggak pernah aku coba sebelumnya,” gumamnya dalam hati. "Bumbu rempahnya benar-benar bikin lidah nggak mau berhenti."
Setibanya di rumah, Pak Lurah disambut oleh istrinya, Bu Lurah.
“Pak, sudah pulang? Mau makan malam?” tanya Bu Lurah dengan senyum ramah.
Pak Lurah menelan ludah, mencoba menahan diri. “Eh, terima kasih, Bu. Tapi... aku masih kenyang. Baru aja makan di warung Pak Jengkok.”
Bu Lurah melirik curiga. “Warung Pak Jengkok? Dengar-dengar mereka baru buka warung kecil di teras rumah, ya? Kenapa kamu makan di sana?”
Pak Lurah tersipu. “Iya, Bu. Tadi mampir sebentar, lihat warga. Aku makan rendang buatan Bu Slumbat.”
“Rendang? Enak?” Bu Lurah merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Mendengar pertanyaan itu, Pak Lurah tersenyum lebar tanpa sadar. “Wah, enak banget! Kamu harus coba suatu hari. Rendangnya luar biasa!”
Mendengar itu, wajah Bu Lurah mulai berubah. “Jadi, masakan istrinya Pak Jengkok lebih enak daripada masakanku sendiri?”
Pak Lurah langsung panik. “Eh, bukan begitu, Bu. Maksudku, rendangnya beda aja. Kamu tahu kan, setiap orang punya cara masak yang beda. Masakanmu juga enak, tapi rendang Bu Slumbat ini... ya, unik gitu.”
Bu Lurah tidak mau kalah. “Baiklah. Besok kita ke warung Pak Jengkok. Aku mau coba rendangnya sendiri.”
Keesokan harinya, sebelum Pak Lurah sempat berangkat ke kantor, Bu Lurah sudah siap di depan pintu.
“Ayo, Pak! Kita ke warung Pak Jengkok sekarang!” ujar Bu Lurah penuh semangat.
Pak Lurah tak punya pilihan selain mengangguk dan mengikutinya. Setibanya di warung, suasananya tetap ramai seperti hari sebelumnya. Warga berdatangan untuk mencicipi masakan Slumbat yang kini makin terkenal. Begitu sampai, Bu Lurah langsung memesan seporsi rendang.
“Bu Slumbat, saya mau coba rendang yang katanya bikin suami saya nggak bisa berhenti memikirkan,” kata Bu Lurah dengan senyum tipis.
Slumbat, yang tak tahu apa-apa tentang drama di rumah Pak Lurah, tersenyum ramah. “Tentu, Bu. Semoga cocok ya dengan selera Ibu.”
Setelah rendang tersaji, Bu Lurah mulai mencicipinya. Pak Lurah yang duduk di sebelahnya, menahan napas.
Bu Lurah perlahan mengunyah, lalu matanya membesar. “Wah, ini enak banget!” serunya, meski masih menahan gengsi. “Tapi jangan salah, Pak. Aku juga bisa bikin rendang kayak gini. Nanti kita lihat di rumah!”
Pak Lurah mengangguk dengan senyum tipis, lega tapi juga cemas, tahu bahwa akan ada tantangan di dapur nanti.