Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.
Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian
Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Terjebak dalam Simpul
Radit mengakhiri kata sambutannya. Tatapannya beralih ke para karyawan yang berkumpul di ruangan itu. Tatapannya berhenti pada seorang wanita berambut panjang yang tampak sedikit canggung di antara para karyawan lainnya.
"Amara?" ujar Radit, suaranya terasa heran dan sedikit tak percaya.
Amara terkesiap. Ia terkejut karena Radit mengenalnya. Ia berusaha menahan rasa malunya. Ia tak menyangka akan bertemu Radit di tempat ini.
"Pak Radit?" jawab Amara, suaranya terasa bergetar.
Radit mendekati Amara. Tatapannya penuh pertanyaan. "Apa yang kau lakukan di sini, Amara?" tanya Radit, suaranya terasa sedikit tegang.
Amara merasa panik. Ia tak tahu harus menjawab apa. Ia takut akan reaksi Radit.
"Saya... saya bekerja di sini, Pak," jawab Amara, suaranya bergetar. "Saya kasir."
Radit terdiam sejenak. Ia menatap Amara dengan tatapan yang tak terbaca.
"Amara...," ujar Radit, suaranya terasa sedikit kecewa. "Kenapa kau bekerja di tempat ini?"
Amara menunduk. Ia tak bisa menjelaskan segalanya pada Radit. Ia takut akan reaksi Radit.
"Saya butuh uang, Pak," jawab Amara, suaranya terasa lemah. "Ayah saya sakit, dan saya harus membiayai pengobatannya."
Radit menangguk. Ia mengerti keadaan Amara. Ia takut akan menyakiti perasaan Amara jika ia menunjukkan kekecewaan pada Amara.
"Bagaimana keadaan ayahmu?" tanya Radit, suaranya terasa sedikit lembut.
"Ayah saya sudah sedikit membaik, Pak. Ia sudah diizinkan pulang dari rumah sakit," jawab Amara. "Terima kasih atas kepedulian Bapak."
Radit menangguk. Ia merasa lega mendengar kabar itu. Ia menatap Amara dengan tatapan yang penuh simpati.
"Amara...," ujar Radit, suaranya terasa sedikit menarik. "Saya senang kita bisa bertemu lagi di sini."
Amara terkejut. Ia tak menyangka Radit akan mengatakan itu.
"Saya juga senang bertemu Bapak," jawab Amara, sambil mencoba menahan rasa malunya.
"Amara... saya mau berterus terang padamu," ujar Radit. "Saya membeli klub ini sebenarnya karena saya mau mencari kamu. Saya ingin membantu keluargamu."
Amara terkejut. Ia tak pernah menyangka bahwa Radit memiliki perasaan pada dirinya.
"Pak Radit... saya..." ujar Amara, suaranya terasa terbata-bata.
"Panggil saya Radit saja," ujar Radit, dengan senyuman lembar di wajahnya.
******" Bayangan Masa Lalu
Malam hari mulai menyergap. Kupu-kupu Klub semakin ramai dengan para tamu yang berdatangan. Amara bersiap untuk menjalankan tugasnya sebagai kasir. Ia mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, namun pikirannya terus tersita oleh pertemuan yang tak terduga dengan Radit sebelumnya.
Ia berusaha untuk mengabaikan perasaannya yang campur aduk. Ia hanya ingin melakukan pekerjaannya dengan baik dan cepat agar ia bisa pulang dan menjaga ayahnya.
Para tamu mulai datang dan memesan minuman. Amara sigap menjalankan tugasnya. Ia mencatat pesanan para tamu dan menyerahkan minuman yang dipesan.
Amara menolak ketika tamu menawarkan minuman beralkohol. Ia tetap fokus pada pekerjaannya. Ia tak ingin terjerumus dalam lingkaran kehidupan yang gelap lagi.
Namun, bayangan masa lalu terus menghantuinya. Ia teringat saat ia masih bekerja di klub itu beberapa tahun yang lalu. Ia teringat saat ia terpaksa menyerahkan dirinya pada pria yang tak ia kenal hanya untuk mendapatkan uang yang ia butuhkan.
Amara menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menyingkirkan bayangan masa lalu itu. Ia ingin menjalani hidup yang lebih baik. Ia ingin menjalani hidup yang bersih dari noda masa lalu.
Amara menatap para tamu yang sedang berjoget dan bernyanyi di lantai dans. Ia menatap mereka dengan tatapan yang kosong. Ia merasa terasing di tempat ini.
Ia teringat lagi pada ayahnya yang sedang berjuang untuk memulihkan kesehatannya. Ia teringat pada adiknya, Mira, yang sangat bandel dan acuh tak acuh dengan keadaan keluarga mereka.
Amara merasa terbebani oleh segala masalah yang ia hadapi. Ia merasa tak berdaya.
"Amara... kamu kenapa sih? Kok diam saja?" tanya Alber, yang sedang berdiri di dekatnya. "Kamu nggak baik-baik aja?"
Amara mengeleng lemah. Ia tak ingin menceritakan segalanya pada Alber. Ia takut akan membuat Alber khawatir.
"Tidak apa-apa, Alber," jawab Amara, sambil mencoba menenangkan dirinya. "Aku cuma sedikit lelah."
Alber menangguk. Ia tahu Amara sedang mengalami kesulitan. Ia menatap Amara dengan tatapan yang penuh simpati.
"Kamu mau minum kopi?" tanya Alber.
Amara mengeleng. Ia tak ingin minum kopi. Ia ingin segera pulang dan menjaga ayahnya.
"Aku mau pulang, Alber," ujar Amara. "Aku capek."
Alber menangguk. Ia menyerahkan Amara segelas air minum.
"Minum dulu, Amara," ujar Alber. "Nanti kamu lemas".
*********
Amara baru saja menyerahkan minuman kepada seorang tamu, ketika pandangannya tertuju pada Radit yang sedang berjalan menuju ke arahnya. Radit menatap Amara dengan tatapan yang penuh simpati.
"Amara," sapa Radit lembut, "Kamu kelihatannya lelah. Kenapa tidak istirahat sebentar?"
Amara mencoba menahan rasa canggungnya. Ia tahu bahwa Radit adalah seorang laki-laki yang sudah beristri. Ia tak ingin terlihat terlalu dekat dengan Radit.
"Tidak apa-apa, Pak," jawab Amara, sambil mencoba menahan rasa canggungnya. "Saya baik-baik saja."
"Amara, aku ingin menanyakan keadaan ayahmu lagi," ujar Radit. "Bagaimana kabarnya?"
"Ayah saya sudah sedikit membaik, Pak," jawab Amara. "Ia sudah diizinkan pulang dari rumah sakit."
"Syukurlah," ujar Radit, dengan nada yang menenangkan. "Aku senang mendengarnya."
"Amara, aku akan antar kamu pulang," ujar Radit, tiba-tiba. "Sudah larut malam. Tidak baik jika kau pulang sendirian."
Amara terkejut. Ia tak menyangka Radit akan menawarkan diri untuk mengantarkannya pulang.
"Tidak usah, Pak. Saya bisa pulang sendiri," jawab Amara, menolak dengan sopan.
"Tidak apa-apa, Amara. Aku sudah memutuskan untuk mengantarkanmu pulang," ujar Radit, dengan suara yang tegas. "Aku takut jika terjadi apa-apa padamu di jalan."
Amara merasa sedikit canggung. Ia tak ingin terlihat terlalu dekat dengan Radit. Namun, ia tak bisa menolak kebaikan Radit.
"Baiklah, Pak," jawab Amara, dengan suara yang sedikit bergetar.
Radit menangguk. Ia menuntun Amara keluar dari Kupu-kupu Klub. Mereka berjalan menuju parkiran.
"Mobilmu di mana?" tanya Amara.
"Aku datang dengan taksi," jawab Radit. "Kita akan naik taksi bersama."
Amara menangguk. Ia tak bisa menolak kebaikan Radit.
Mereka berjalan menuju halte taksi. Radit menghentikan sebuah taksi yang melintas. Radit membuka pintu taksi dan menuntun Amara masuk ke dalam taksi.
"Ke mana?" tanya sopir taksi.
"Ke alamat yang ada di ponselku," jawab Radit. "Tolong antar kami ke sana."
Sopir taksi menangguk. Ia menyalakan mesin taksi dan mengarahkan kendaraan itu menuju alamat yang ada di ponsel Radit.
Amara menatap Radit dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Ia ingin bertanya, kenapa Radit melakukan semua ini? Apakah ia masih memiliki perasaan padanya?
*******
Taksi akhirnya sampai di depan rumah Amara. Radit menuntun Amara keluar dari taksi. Radit menyerahkan uang kepada sopir taksi dan kemudian berbalik menghadap Amara.
"Terima kasih telah mengantarkan aku, Pak," ujar Amara, dengan suara yang sedikit bergetar.
"Sama-sama, Amara," jawab Radit, dengan senyuman lembut. "Semoga ayahmu segera sembuh."
Amara menangguk. Ia menatap Radit dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Ia ingin bertanya, mengapa Radit melakukan semua ini? Apakah ia masih memiliki perasaan padanya?
Namun, Amara tak bisa menanyakan hal itu. Ia takut akan reaksi Radit.
"Selamat tidur, Amara," ujar Radit, sambil mengangguk. "Aku pergi dulu."
Amara menangguk. Ia menatap Radit yang sedang berjalan menuju taksi. Ia merasa sedikit kecewa karena Radit tak berlama-lama di depan rumahnya.
Radit masuk ke dalam taksi. Ia menatap Amara sejenak sebelum taksi itu berangkat.
Amara berjalan masuk ke dalam rumah. Ia menutup pintu rumah dengan lembut. Ia melihat ayahnya dan ibunya sudah tertidur di kamar mereka.
Amara berjalan menuju kamarnya. Ia mencari Mira, adiknya, namun Mira tak ada di kamarnya.
Amara merasa kesal. Ia bertanya-tanya, di mana Mira? Kenapa ia tak ada di rumah?
Amara mencari Mira di seluruh penjuru rumah, namun ia tak menemukan Mira. Amara akhirnya menyerah. Ia mengingat kata-kata Mira yang mengatakan bahwa ia akan mengingap di rumah temannya untuk bekerja kelompok.
Amara mencoba menenangkan dirinya. Ia berharap Mira baik-baik saja di rumah temannya.
Amara berjalan menuju kamarnya. Ia merasa lelah dan ingin segera tidur. Namun, pikirannya terus tersita oleh Radit.
Ia mengingat tatapan Radit yang penuh simpati ketika ia menemani Radit pulang. Ia mengingat kata-kata Radit yang mengatakan bahwa ia membeli Kupu-kupu Klub karena ingin membantu keluarganya.
Amara merasa sedikit terbebani oleh perhatian Radit. Ia tahu bahwa Radit adalah seorang laki-laki yang sudah beristri. Ia tak ingin terlalu dekat dengan Radit.
Amara menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menyingkirkan pikiran tentang Radit. Ia ingin fokus pada keluarganya.
Amara berbaring di ranjangnya. Ia menutup matanya dan berdoa agar segalanya baik-baik saja.
Ia berharap bahwa ayahnya segera sembuh. Ia berharap bahwa Mira baik-baik saja.