Ethan, cowok pendiam yang lebih suka ngabisin waktu sendirian dan menikmati ketenangan, gak pernah nyangka hidupnya bakal berubah total saat dia ketemu sama Zoe, cewek super extrovert yang ceria dan gemar banget nongkrong. Perbedaan mereka jelas banget Ethan lebih suka baca buku sambil ngopi di kafe, sementara Zoe selalu jadi pusat perhatian di tiap pesta dan acara sosial.
Awalnya, Ethan merasa risih sama Zoe yang selalu rame dan gak pernah kehabisan bahan obrolan. Tapi, lama-lama dia mulai ngeh kalau di balik keceriaan Zoe, ada sesuatu yang dia sembunyikan. Begitu juga Zoe, yang makin penasaran sama sifat tertutup Ethan, ngerasa ada sesuatu yang bikin dia ingin deketin Ethan lebih lagi dan ngenal siapa dia sebenarnya.
Mereka akhirnya sadar kalau, meskipun beda banget, mereka bisa saling ngelengkapin. Pertanyaannya, bisa gak Ethan keluar dari "tempurung"-nya buat Zoe? Dan, siap gak Zoe untuk ngelambat dikit dan ngertiin Ethan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Papa Koala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misi "Santai" Ethan
Setelah malam itu, Ethan mulai mencoba saran Zoe. Dia merasa ada yang perlu diubah dari dirinya, bukan karena Zoe memintanya, tetapi karena dia ingin belajar lebih santai. Sebagai orang yang selalu berpikir terlalu dalam tentang hal-hal kecil, Ethan sadar bahwa hidup tidak harus selalu serius.
Pagi itu, Ethan memutuskan untuk bangun lebih pagi. Dia mencoba melakukan meditasi untuk pertama kalinya. Dengan bantal kecil yang dia letakkan di lantai ruang tamunya, dia duduk bersila. Tangannya diletakkan di lutut seperti yang sering dia lihat di video-video meditasi di YouTube.
"Tarik napas... buang napas..." gumam Ethan, mencoba fokus. Tapi pikiran lain langsung muncul. Nanti siang harus ketemu klien. Aduh, email yang kemarin belum dibalas. Ah, Zoe bilang mau kasih liat tempat baru. Harus pakai baju apa ya?
Ethan membuka matanya. "Gimana sih orang bisa meditasi kayak gini? Otak gue malah makin sibuk," keluhnya sendiri. Dia lalu membuka ponselnya dan mencari aplikasi meditasi, berharap teknologi bisa membantu dia untuk lebih fokus.
Sebelum dia sempat memutuskan aplikasi mana yang akan dipakai, sebuah notifikasi masuk dari Zoe. Seperti biasa, Zoe adalah tipe orang yang sudah aktif di pagi hari, berbeda dengan Ethan yang seringnya memulai hari dengan lambat.
Zoe: "Eth! Ntar siang jangan lupa ya. Aku mau ajak kamu ke kafe baru di pinggir kota. Katanya tempatnya aesthetic banget buat foto-foto! Harus nyiapin OOTD yang bagus nih."
Ethan tersenyum membaca pesan itu. Satu hal yang selalu membuat dia kagum pada Zoe adalah caranya membuat hal-hal kecil terasa seperti petualangan seru. Untuk Zoe, pergi ke kafe baru bisa jadi acara yang perlu perencanaan matang, dari baju hingga konten Instagram.
Ethan membalas pesan itu: "Siap. Jangan lupa kasih tau aku dress code-nya. Takut nggak matching nanti."
Zoe cepat membalas: "Tenang aja, aku pilih yang gampang. Casual tapi tetap stylish! Gak mungkin kamu kelihatan jelek kok, Eth. Udah, ikut aja alur aku."
Membaca pesan itu membuat Ethan tertawa. Zoe selalu tahu bagaimana membuatnya merasa nyaman, meskipun sebenarnya dia sering kali cemas dengan hal-hal kecil seperti pakaian.
Siang harinya, Ethan tiba di kafe yang Zoe maksud. Tempatnya memang unik—dengan dekorasi kayu rustic dan jendela-jendela besar yang memancarkan cahaya alami. Di setiap sudut kafe, tanaman hijau diletakkan, memberi suasana segar dan tenang. Kafe ini tampak seperti tempat yang ideal untuk Zoe, dengan banyak spot foto yang pastinya akan masuk ke feed Instagram-nya.
Zoe sudah duduk di meja pojok yang menghadap ke jendela, dengan kamera di tangan. Dia melambaikan tangan saat melihat Ethan mendekat. "Eth! Sini, sini! Aku udah pesen latte buat kamu. Oh, dan aku udah nyobain croissant-nya, sumpah enak banget!"
Ethan duduk di seberang Zoe. “Latte dan croissant. Klasik. Gue bisa hidup dari ini tiap hari kalau harus.”
Zoe tertawa. "Iya kan? Simple but perfect. Eh, tapi coba liat sekitar deh. Bagus banget buat foto! Abis ini kamu harus bantu aku foto-foto."
Ethan mengangguk sambil tersenyum. “Oke, tapi lo tau kan kalau gue nggak jago foto?”
Zoe mengangkat bahu. “Tenang, gue yang edit kok. Lo tinggal pencet tombol kamera aja.”
Setelah beberapa menit obrolan ringan, Zoe mulai mengeluarkan HP-nya dan memberikan beberapa instruksi untuk foto. “Oke, Eth. Gue mau foto di depan jendela ini. Cahaya naturalnya pas banget, terus lo ambil dari sudut sini biar kesannya candid.”
Ethan tertawa sambil mengambil HP Zoe. "Lo nggak pernah bener-bener candid, Zo."
"Eh, makanya kan lo yang fotoin biar kesannya candid! Yaudah, fotoin dulu deh, ntar lo liat hasilnya."
Meskipun Ethan awalnya merasa sedikit kikuk, dia berusaha mengikuti instruksi Zoe. Setelah beberapa kali klik, Zoe dengan sigap mengambil HP-nya dan mulai melihat hasilnya.
"Eth, lo nggak terlalu jelek kok kalau soal foto," kata Zoe dengan nada menggoda sambil melihat hasil foto. "Tapi lo bisa belajar lebih banyak tentang angle. Ini gue keliatan kayak lagi bingung nyari jalan pulang, bukan candid elegan."
Ethan tersenyum canggung. "Lo tau lah, itu emang level skill gue. Gak bisa ngarep lebih banyak."
Zoe tertawa keras. "Yaudah, lo udah bagus kok. Gue tinggal edit dikit, voila! Perfect!"
Mereka kembali duduk dan ngobrol tentang hal-hal kecil yang terjadi di hidup mereka belakangan ini. Zoe cerita tentang proyek baru di kantornya yang mengharuskan dia bekerja sama dengan orang yang nggak pernah bisa diajak serius. "Lo tau nggak sih, Eth, si Mark di kantor? Dia tuh kayak meme berjalan. Setiap kali ada meeting penting, pasti ada aja komennya yang random banget, kayak, 'Kalau deadline-nya digeser jadi minggu depan, cuaca bakal lebih baik buat ngerjain.' Gimana coba?"
Ethan tertawa mendengarnya. "Mungkin dia tau sesuatu yang kita nggak tau, Zo. Cuaca bisa jadi faktor yang mempengaruhi produktivitas."
Zoe tertawa keras. "Ya, tapi tetep aja aneh. Gue sampe heran, gimana caranya dia bisa tetap kerja di situ. Tapi, lucunya, walaupun dia random, dia selalu berhasil nyelesaiin kerjaan tepat waktu. Gue rasa dia kayak karakter film komedi yang nggak pernah lo sangka bakal berhasil, tapi somehow dia bisa."
Ethan terdiam sejenak, memikirkan betapa Zoe selalu bisa melihat sisi lucu dari segala situasi. Dia mulai menyadari bahwa cara Zoe menghadapi hidup adalah pelajaran penting yang selama ini dia abaikan. Menikmati momen kecil, tertawa di tengah kesibukan, dan tidak terlalu serius menghadapi segala hal itulah yang membuat Zoe berbeda, dan Ethan mulai menyadari betapa dia mengagumi itu.
Ketika sore mulai menjelang, Zoe menatap jam tangannya. "Eh, Eth, gue harus cabut sebentar. Ada janji sama temen lama, tapi gue balik lagi nanti, mau lanjut jalan-jalan di sekitar sini. Lo ikut gak?"
Ethan menggeleng. “Kayaknya gue bakal keliling-keliling sendirian dulu. Ada beberapa tempat yang mau gue liat. Nanti kabarin aja kalau lo balik.”
Zoe tersenyum. “Oke, Eth. Have fun ya. Jangan terlalu mikir berat-berat! Ntar ketularan laptop lo nge-hang.”
Ethan tertawa kecil. “Santai aja, gue lagi latihan buat lebih chill, kan?”
Setelah Zoe pergi, Ethan duduk sendirian di kafe. Dia memandang keluar jendela, menikmati pemandangan jalanan kota yang mulai ramai. Ada sesuatu yang tenang dalam momen itu—tanpa suara Zoe yang menggebu-gebu, tanpa rencana yang jelas. Hanya dia, secangkir latte, dan pemandangan yang indah.
Untuk pertama kalinya, Ethan merasa bahwa dia bisa menikmati momen tersebut tanpa perlu memikirkan terlalu banyak hal. Ini mungkin langkah kecil, tapi bagi Ethan, ini adalah awal dari perjalanan baru dalam hidupnya, belajar untuk lebih santai dan membiarkan hidup mengalir apa adanya.
Tapi tentu saja, di balik semua itu, ada Zoe, sosok yang diam-diam membuat Ethan belajar untuk melihat dunia dengan cara yang lebih ringan dan penuh tawa. Dan, meskipun Ethan masih belum tahu apa yang akan terjadi antara dia dan Zoe, satu hal yang pasti: misi "santai" Ethan baru saja dimulai.