[ OST. NADZIRA SAFA - ARAH BERSAMAMU ]
Kejadian menyedihkan di alami seorang Adiyaksa yang harus kehilangan istrinya, meninggalkan sebuah kesedihan mendalam.
Hari - hari yang kelam membuat Adiyaksa terjerumus dalam kesedihan & Keputusasaan
Dengan bantuan orang tua sekaligus mertua dari Adiyaksa, Adiyaksa pun dibawa ke pondok pesantren untuk mengobati luka batinnya.
Dan di sana dia bertemu dengan Safa, anak pemilik pondok pesantren. Rasa kagum dan bahagia pun turut menyertai hati Adiyaksa.
Bagaimanakah lika - liku perjalanan hidup Adiyaksa hingga menemukan cinta sejatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reza Ramadhan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
Dengan memakai gamis berwarna putih, Ibu Dewi bersiap untuk ke masjid menghadiri acara pengajian yang akan di selenggarakan di sebuah masjid yang ada di dekat rumah bersama dengan para tetangga.
Setelah berpamitan pada Pak Sapto, Adiyaksa dan juga Damar, perempuan itu segera mengayunkan langkah keluar dari rumah.
Sembari melangkah, Ibu Dewi bertemu dengan para tetangga yang hadir di acara pengajian. "Assalamu alaikum, Ibu Dewi." Ujar salah satu tetangga.
"Wa Alaikum Salam."
Sifat Ibu Dewi dan juga Pak Sapto yang sangat ramah membuat para tetangga sangat menghormati keluarga Pak Sapto.
Sembari mengayunkan langkah bersama - sama, seorang dari tetangga pun menanyakan kondisi menantu dari Ibu Dewi.
"Bu, bagaimana keadaan menantu anda? Karena yang kami tahu setelah kecelakaan yang menimpa anak dan menantu anda, keadaan menantu anda sangat memperihatinkan."
"Setelah kecelakaan yang di alami oleh Adiyaksa jujur sangat memprihatinkan. Setelah sadar dari koma, ia terlihat murung. Aku sebagai Ibu mertua merasa kasihan pada menantuku itu."
Para tetangga yang mendengarkan pun merasa prihatin dengan kondisi yang di alami oleh Adiyaksa. Tak lama kemudian, mereka pun sampai di sebuah masjid.
Tampak beberapa orang - orang selain warga di daerah tersebut juga turut hadir. Terlihat di halaman masjid, beberapa kendaraan memenuhi halaman tersebut.
Saat melangkahkan kaki masuk ke dalam masjid tanpa sengaja Ibu Dewi bertemu kembali dengan Safa. Perempuan itu terlihat cantik dengan gamis berwarna putih yang di pakainya.
"Assalamu Alaikum, Ibu." Sapa Shafa dengan senyum sumringahnya.
"Wa Alaikum Salam, loh nak. Kau ada di sini juga."
Ibu Dewi menatap Safa dan juga penampilannya, perempuan itu sumringah tampak mengagumi penampilan dari perempuan itu yang terlihat sangat anggun.
"Iya, Ibu, kebetulan ayah saya yang kini mengisi acara pengajian di masjid ini dan saya sebagai anaknya di minta untuk mendampingi beliau kemari."
Mendengar ucapan itu membuat Ibu Dewi terperangah. Perempuan itu tak percaya bahwa Safa adalah anak dari ustad yang akan mengisi pengajian di masjid.
Safa lantas mengajak Ibu Dewi untuk masuk ke masjid untuk menyaksikan Tausiyah yang akan di sampaikan oleh ustad Ibrahim.
Terlihat, beberapa orang perempuan tampak sudah memenuhi pelataran masjid. Ibu Dewi lantas duduk tepat di tengah.
Tak lama kemudian, ustad yang ditunggu oleh sebagian orang di sana kini telah datang. Ustad Ibrahim tengah mengayunkan langkahnya menuju mimbar.
Lelaki itu kini menghembuskan nafasnya sebentar sembari melihat para jamaah yang hadir di acara tersebut dan menantikan Tausiyah yang akan di berikan lelaki itu.
Ustad Ibrahim lantas memulai Tausiyahnya. "Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh."
...🕌🕌🕌...
Beberapa jam kemudian, Acara pengajian tersebut telah usai. Ibu Dewi segera beranjak dari masjid namun saat akan mulai keluar dari Masjid, perempuan itu teringat akan sesuatu.
Sesuatu yang mengusik pikirannya selama acara pengajian berlangsung dan hal itu juga berkaitan tentang menantunya.
Ibu Dewi pun bergegas menghampiri ustad Ibrahim yang masih berbincang dengan para tamunya dan ketika tamu terakhir sudah beranjak keluar, Ibu Dewi pun lantas mengatakan niatnya itu pada Ustad Ibrahim.
"Assalamu Alaikum, ustad."
"Wa Alaikum Salam Warahmatullahi Wabarakatuh. Iya Bu. Ada yang bisa saya bantu?" Ucap Ustad Ibrahim dengan wibawa.
Ibu Dewi lantas mengatakan niatnya. "Maaf sebelumnya sudah mengganggu anda. Saya Ibu Dewi dan saya kemari karena saya ingin sekali berbicara pada anda dan ini mengenai menantu saya."
Senyum tersungging di bibir ustad Ibrahim. "Silahkan."
Setelah ustad Ibrahim mengajak Ibu Dewi duduk. Ibu Dewi pun segera membicarakan niatnya pada ustad Ibrahim.
Ibu Dewi lantas menceritakan tentang Adiyaksa dan perilakunya seusai kejadian yang menimpanya, terlihat ustad Ibrahim kini menganggukkan kepalanya, mencoba memahami apa yang diceritakan Ibu Dewi padanya.
Sementara Shafa yang kini duduk di sebelah ayahnya kini begitu terkejut dengan cerita tersebut yang ternyata lelaki yang di temuinya di taman dan juga ayah dari Damar mengalami hal menyedihkan seperti itu.
"Saya sebagai Ibu mertua yang sudah menganggap Adiyaksa sebagai anak saya sendiri ingin sekali melihat Adiyaksa dengan hidupnya yang lebih baik lagi dan mencoba menata hidupnya agar bahagia kembali."
"Saya sedih ketika harus melihat Adiyaksa murung, sedih dan juga selalu mengurung diri dalam kamarnya."
Ustad Ibrahim yang mendengarkannya pun kini saling menatap pada putrinya, Shafa. Ustad Ibrahim pun menyarankan untuk membawanya ke pondok pesantren.
"Sebelumnya, saya juga turut berduka atas apa yang menimpa anak dan menantu saya. Kalau anda berkenan. Saya mau memberikan sebuah ide pada anda agar menantu anda bisa menata hidupnya kembali."
"Anda bisa membawanya ke pondok pesantren milik saya. Di sana, menantu anda bisa menentramkan hatinya, memulai hidup yang baru sekaligus mempelajari ilmu agama dan Insya Allah ke depannya kehidupan menantu anda bisa lebih baik lagi."
Senyum tersungging di bibir Ibu Dewi sembari berpikir bahwa ucapan dari ustad Ibrahim adalah sebuah ide yang sangat bagus.
"Saya sangat berterima kasih atas sarannya dan secepatnya saya akan merundingkan gagasan yang anda berikan pada keluarga saya dulu."
"Sama - sama."
...🕌🕌🕌...
Setiba kepulangannya dari masjid, Ustad Ibrahim tak lantas langsung ke kamar. Meski hari ini adalah hari yang melelahkan namun bersantai di malam hari adalah waktu yang sangat di sukai oleh ustad Ibrahim di kala seharian melakukan aktivitas.
Lelaki itu kini duduk sembari merenggangkan otot dan sendi yang terlihat kaku. Sementara Shafa bergegas masuk ke dalam kamarnya dan keluar menuju dapur.
Seperti pada kesehariannya, Shafa membuatkan kopi hitam kesukaan ayahnya, Ustad Ibrahim. Setelah membuatkan kopi, perempuan itu lantas menghampiri ayahnya.
"Ini Ayah, kopinya." Shafa menyorongkan secangkir kopi itu di depan ustad Ibrahim.
Dengan sekali tegukan, ustad Ibrahim menghabiskan kopinya itu hingga tandas. Lelaki itu segera melirik Shafa. "Kau sepertinya kenal dan akrab dengan Ibu yang ada di masjid itu? Kapan kau mengenalnya, nak?"
Shafa tersenyum lantas menceritakan tentang pertama kali pertemuannya dengan Ibu Dewi dan juga cucunya saat berada di dalam pemakaman.
"Saat itu aku kasihan Ayah melihat cucunya menyebut ibunya berkali - kali yang telah meninggal dan untuk kedua kalinya aku bertemu lagi dengan cucunya itu bersama seorang lelaki yang ternyata adalah ayahnya."
"Jadi, kau sudah bertemu dengan ayah dari bocah kecil itu maksudku anak dari ibu yang kita temui di masjid tadi?"
Shafa menganggukkan kepala. "Iya, ayah, aku bertemu dengannya namun aku tak menyangka lelaki itu kehilangan istrinya dan keadaannya kini memprihatinkan karena pada saat aku melihatnya, keadaan lelaki itu baik - baik saja dan tak menunjukkan kalau lelaki itu sudah mengalami hal menyedihkan."
"Bagi kebanyakan orang, hal menyedihkan yang di alami oleh seseorang itu tak di tunjukkan karena akan berdampak bagi dirinya sendiri dan orang - orang pun akan mengasihani dan karena itu, orang - orang itu menyembunyikan kesedihan mereka."
"Mereka tidak mau melibatkan orang lain dan hanya orang - orang terdekat dan hatinya saja yang tahu akan kesedihan orang itu.'
Sejenak keheningan hadir di ruang tersebut. Shafa pun mencoba memahami apa yang di katakan oleh ayahnya tersebut.
Entah kenapa hatinya tiba - tiba teriris mendengar ucapan dari ayahnya. Ada sesuatu yang mungkin di sembunyikan oleh Shafa namun entah apa itu.
...Bersambung....