Satu tahun menikah, tapi Sekar (Eka) tak pernah disentuh suaminya, Adit. Hingga suatu malam, sebuah pesan mengundangnya ke hotel—dan di sanalah hidupnya berubah. Ia terjebak dalam permainan kejam Adit, tetapi justru terjatuh ke pelukan pria lain—Kaisar Harjuno, CEO dingin yang mengira dirinya hanya wanita bayaran.
Saat kebenaran terungkap, Eka tak tinggal diam. Dendamnya membara, dan ia tahu satu cara untuk membalas, menikahi lelaki yang bahkan tak percaya pada pernikahan.
"Benihmu sudah tertanam di rahamiku. Jadi kamu hanya punya dua pilihan—terima atau hadapi akibatnya."
Antara kebencian dan ketertarikan, siapa yang akhirnya akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Eka hampir merosot di sofa begitu tiba di apartemen Ita. Napasnya masih tersengal, dan meskipun tangannya sedikit gemetar, ia berusaha keras untuk tidak memperlihatkannya.
Ita buru-buru menghampiri dengan mata berkaca-kaca. "Astaga, Eka!" Tanpa ragu, ia langsung memeluk sahabatnya erat. "Kamu nggak apa-apa, kan?"
Eka mengangguk kecil, balas memeluk Ita. "Aku selamat," gumamnya pelan.
Ita mengeratkan pelukannya sebelum akhirnya melepas Eka, menatapnya penuh kekhawatiran. "Sudah aku bilang aku bakal nemenin kamu ke keluarga Wirawan, tapi kamu nolak. Lihat sekarang hasilnya! Untung aja firasatku tajam dan bisa nebak kalau kamu dalam bahaya."
Eka menunduk, sedikit merasa bersalah. "Maaf aku nggak dengerin kamu… dan terima kasih, Ta."
Ita menghela napas, lalu tersenyum miring. "Sebenarnya aku nggak ngelakuin apa-apa. Aku cuma… ya, sedikit ngomporin Pak Kai."
Eka mengernyit. "Maksudmu?"
Ita menarik napas panjang sebelum mulai menjelaskan semua yang terjadi—tentang bagaimana ia mendesak Kai dan Rendi untuk bertindak, bagaimana mereka mengecek CCTV, sampai akhirnya menemukan Eka di lokasi terakhir yang terekam.
"Setelah mereka sadar kalau itu jebakan, Pak Kai langsung panik," lanjut Ita. "Dia nggak pikir panjang, langsung nyuruh anak buahnya buat ngebut ke hotel A. Aku dan Rendi disuruh balik, nggak boleh ikut."
Eka menatap Ita dengan sorot tak percaya. "Ja... jadi dia beneran sengaja datang nyelamatin aku?"
Ita mengangguk. "Iya…"
Eka menelan ludah, rasa bersalah mulai merayap di dadanya. Sebelumnya, ia sempat menuduh bahwa pertemuannya dengan Kai saat pelarian hanyalah kebetulan—dan kini semua tuduhan itu terasa konyol. Pantas saja lelaki itu marah. Tapi salahnya juga, kenapa nggak jujur dari awal?
Ita menatap Eka dengan penuh selidik. "Ka… sebenarnya hubungan kamu sama Pak Kai tuh gimana, sih? Dia kelihatan khawatir banget pas kamu dalam bahaya."
Eka mendesah, mengusap wajahnya lelah. "Gak tahu, Ta… Mungkin karena ada calon benihnya dalam perutku kali." Ia tertawa hambar. "Tapi kalau dilihat dari sikapnya yang nggak suka kompromi soal pernikahan, harusnya dia malah seneng aku dalam bahaya dan nggak nolongin aku, kan?"
Ita mengerutkan kening. "Hmm, bisa jadi… atau mungkin sebenarnya dia suka sama kamu?"
Eka tertawa pendek, terdengar getir. "Gak mungkin, Ta." Ia terdiam sejenak sebelum tiba-tiba bergumam, "Atau… karena jam tangannya masih ada padaku? Kalau aku kenapa-napa, dia juga yang bakal repot."
Ita melipat tangan di dada, menatap Eka dengan ekspresi skeptis. "Jam tangan?"
Eka mengangguk pelan. "Iya… aku masih nyimpan jam tangan dia. Harusnya sih nggak penting, tapi entah kenapa dia kayaknya keberatan banget pas tahu aku masih pegang itu."
Ita mengernyit. "Tunggu, jam tangan ini cuma jam biasa atau ada sesuatu yang lebih dari itu?"
Eka menghela napas. "Aku juga nggak tahu, Ta. Sudahlah yang penting sekarang aku harus melakukan sesuatu agar bisa segera mendapatkan status pernikahan dengan Kai. Dan membalas dendam pada keluarga Wirawan."
Ita menatap Eka tajam seperti menuntut penjelasan.
"Kai berjanji jika aku benar-benar hamil anaknya dia akan menikahiku. Dan benar ternyata aku dan Adit menikah hanya atas nama agama. Jadi aku tidak perlu repot-repot mengurus surat cerai," jelas Eka.
Ita tersenyum, "Aku mendukungmu Ka."
Di sisi lain, Kai melempar gelas yang sedari tadi ia genggam. Rasa kesal membuncah dalam dirinya—bukan hanya karena Eka menolak pulang bersamanya, tapi juga karena wanita itu justru memilih untuk pergi ke apartemen Ita.
Semua usahanya untuk menyelamatkan Eka, semua kekacauan yang ia hadapi, berakhir dengan satu kalimat ringan dari bibir wanita itu.
"Kamu datang tepat waktu."
Ironis, bukan? Seolah semuanya hanya kebetulan belaka.
Kai menggeram, rahangnya mengeras. "Eka, kamu satu-satunya wanita yang berani tarik ulur denganku!"
"Lihat saja nanti akan aku perhitungan semua denganmu jika waktunya tiba."
***
Satu bulan telah berlalu sejak kejadian itu—sejak Adit menjualnya seperti barang dagangan.
Eka memilih mengurung diri di apartemen Ita, menjauh dari dunia luar. Ia sibuk mempersiapkan tubuhnya agar siap untuk mengandung—mengonsumsi berbagai vitamin kesuburan, menjaga pola makan, dan berusaha memperbaiki kondisi mentalnya. Ia ingin terlihat tegar, ingin menjadi lebih kuat. Semua persiapan itu ia lakukan dengan hati-hati, seolah berusaha mengendalikan satu hal yang masih bisa ia genggam dalam hidupnya.
Namun, hari ini ada perasaan gelisah yang tak bisa ia abaikan. Siklusnya terlambat.
Dengan tangan gemetar, ia mengambil test pack yang sudah lama ia siapkan. Napasnya tertahan saat melangkah ke kamar mandi, dadanya dipenuhi kecemasan dan harapan yang saling bertabrakan.
Eka berdiri di depan wastafel, menatap test pack di tangannya. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya melakukan tes.
Detik-detik terasa begitu lambat saat ia menunggu hasilnya. Tangannya mencengkeram tepi wastafel, dinginnya porselen menusuk kulitnya, namun pikirannya lebih beku dari itu. Ia menutup mata sejenak, berusaha menyiapkan diri untuk kemungkinan apa pun.
Saat akhirnya ia membuka mata dan melihat hasilnya, tubuhnya mendadak lemas.
Dua garis merah tampak jelas di sana.
Dadanya sesak. Emosi bercampur aduk—antara keterkejutan, kebahagiaan, dan ketakutan yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Matanya mulai berair, bibirnya sedikit bergetar.
Ia hamil.
Langkah cepat terdengar mendekat. Ita, yang memperhatikan kegelisahan sahabatnya sejak tadi, langsung bertanya, “Bagaimana hasilnya?”
Eka menatap test pack di tangannya sejenak sebelum menjawab, suaranya datar, nyaris tanpa ekspresi.
“Garis dua, Ta.”
Ita mengerutkan kening. “Kok malah gak semangat? Bukannya ini yang kamu harapkan?”
Eka menggigit bibirnya, kebingungan mulai menguasai dirinya. “A… Aku gak tahu.” Ia menghela napas berat. “Sudah hampir satu bulan ini Kai gak ada pergerakan. Apa tawaran waktu itu masih berlaku?”
Ita menatapnya tajam, lalu menyilangkan tangan di dada. “Dia sudah janji, kan? Kalau dia nggak nepatin, kita ekspose. Lagi pula, jam tangannya masih ada sama kamu, kan? Kamu bisa pakai itu lagi buat minta pertanggungjawaban.”
Eka menggenggam test pack erat-erat. Tidak ada lagi waktu untuk ragu. Hari yang ia tunggu akhirnya tiba, dan kini tak mungkin ia mundur. Dengan tekad bulat, ia berdiri di depan cermin, merias dirinya dengan hati-hati. Kali ini, ia ingin terlihat berbeda—lebih berwibawa, lebih berani. Ia memilih gaun yang sedikit mewah, sesuatu yang akan membuatnya tampak berkelas, lalu melangkah keluar dengan kepala tegak, menuju perusahaan KH Corp.
Begitu memasuki lobi perusahaan itu, matanya langsung menangkap sosok Kai. Pria itu tampak sibuk, fokus pada pekerjaannya, dengan Rendi yang seperti biasa setia mendampinginya di samping.
Eka menggenggam tasnya erat. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia tahu, ia tak bisa melepaskan Kai begitu saja.
Tanpa ragu, dengan lantang ia berteriak—
"Sayang, aku hamil!"
Sejenak, suasana hening. Kai mendongak, tatapannya langsung mengunci pada Eka.
Waktu terasa melambat saat pria itu bangkit dari kursinya, ekspresinya tak terbaca. Ia melangkah mendekat—perlahan, nyaris mengintimidasi.
“Ulangi,” suaranya dalam, nyaris berbisik, tapi penuh tekanan.