Kelanjutan dari Kurebut Suami Kakak Tiriku, kisah ini mengikuti Rei Alexander, anak angkat Adara dan Zayn, yang ternyata adalah keturunan bangsawan. Saat berusia 17 tahun, ia harus menikah dengan Hana Evangeline, gadis cantik dan ceria yang sudah ditentukan sejak kecil.
Di sekolah, mereka bertingkah seperti orang asing, tetapi di rumah, mereka harus hidup sebagai suami istri muda. Rei yang dingin dan Hana yang cerewet terus berselisih, hingga rahasia keluarga dan masa lalu mulai mengancam pernikahan mereka.
Bisakah mereka bertahan dalam pernikahan yang dimulai tanpa cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. KECURIGAAN SANIA
Di tengah kegiatan kamp perkumpulan perkemahan, para siswa mulai dilanda kecemasan yang semakin menjadi-jadi. Keresahan mereka muncul karena belum juga terlihat tanda-tanda kedatangan ketua OSIS mereka, Rei, yang pergi bersama Hana yang tengah ia cari. Kekhawatiran semakin memuncak seiring turunnya hujan deras yang mengguyur area perkemahan, menambah suasana semakin mencekam dan tak menentu.
Amina terlihat sangat cemas hingga tanpa sadar menggigit ujung jarinya, sebuah kebiasaan yang muncul saat ia merasa gelisah. Darren dan Lena pun tak kalah paniknya, memperlihatkan raut wajah penuh kekhawatiran. Sementara itu, di sisi lain perkumpulan, Aurora, Nathan, Elio, dan Selena juga tidak luput dari kecemasan yang sama. Wajah mereka menunjukkan kegelisahan yang terus meningkat, membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.
"Hais, dia benar-benar merepotkan," gerutu Selena dengan nada kesal, mencerminkan kekhawatiran yang ia tutupi dengan keluhan.
Yang lainnya hanya menatap Selena yang lebih sering berkata kritik dibandingkan pujian atau hal hal positif. Nathan hanya menghela nafas, apa yang dilakukan Rei menurutnya itu benar benar sangat wajar.
Kekhawatiran semakin terasa di antara para anggota OSIS lainnya, termasuk Sania yang sejak tadi terlihat gelisah. Semua orang tampak cemas, terutama karena hujan yang belum juga reda, sementara keberadaan Rei dan Hana masih belum diketahui. Suasana pun terasa semakin mencekam.
Hingga akhirnya, dari balik lorong sekolah yang gelap dan basah karena air hujan yang terus turun, muncullah sosok Rei. Tubuhnya sudah basah kuyup, dan di pelukannya ia menggendong Hana yang tampak lemas. Pemandangan itu sontak mengejutkan semua orang.
Tanpa berpikir panjang, para siswa langsung berhamburan mendekati mereka. Beberapa berlari membawa payung, berusaha melindungi keduanya dari hujan yang masih mengguyur deras. Dengan sigap, mereka mengiringi Rei dan Hana menuju tempat yang lebih aman dan teduh.
"Hana, kau nggak apa-apa kan? Maaf, kita harus berpisah tadi," tanya Darren dengan nada khawatir, disusul Lena dan Amina yang segera mendekat dan memastikan kondisi Hana.
Sementara itu, Nathan bersama rekan-rekan lainnya serta Sania juga segera menghampiri Rei yang terlihat sangat kelelahan. Nafasnya memburu, pakaian basahnya menempel di tubuh, dan ekspresinya menunjukkan betapa berat situasi yang baru saja ia lalui.
Setelah semuanya dipastikan aman, Rei dan Hana segera dibawa untuk berganti pakaian. Keduanya kemudian beristirahat sejenak untuk memulihkan tenaga. Meskipun festival sekolah tetap berlangsung keesokan harinya, mereka memilih untuk tetap beristirahat bersama, meski sesekali ikut memantau dan berpartisipasi dalam kegiatan yang berlangsung.
Meski terlihat diam dan tak banyak bicara, kehadiran Rei tetap menjadi perhatian, sementara Hana lebih banyak diam, memilih untuk memulihkan diri dari kejadian yang cukup menguras tenaga dan emosi tersebut. Keduanya tetap berada dalam lingkungan kegiatan festival, meski tidak sepenuhnya terlibat aktif.
“Emm, makasih,” ucap Hana pelan, sedikit ragu saat melirik ke arah Rei yang duduk di sampingnya. Ia duduk tenang, tanpa menunjukkan ekspresi apa pun, hanya menatap lurus ke arah para siswa yang tengah sibuk menjalankan berbagai kegiatan dalam festival sekolah. Wajahnya tetap datar, seolah tak tergoyahkan oleh apapun yang terjadi di sekelilingnya.
Rei tidak menoleh, namun suaranya terdengar tenang saat menjawab, “Buat apa?”
Hana sempat diam sejenak sebelum menjawab lagi, “Buat yang semalam.” Suaranya terdengar lebih pelan, nyaris seperti bisikan.
“Hmm,” gumam Rei singkat, hanya berdehem sebagai respons. Ia tetap tidak menunjukkan reaksi lebih.
Tak ingin suasana menjadi terlalu canggung, Hana mencoba memulai percakapan lagi, meski sadar bahwa Rei bukan tipe orang yang suka banyak berbicara. “Emmm… apa yang kau inginkan sebagai balasan? Aku akan memberikan apa yang kau mau,” ucapnya, kali ini dengan nada yang sedikit lebih berani, meskipun masih terdengar hati-hati.
Rei akhirnya menghela napas panjang, lalu perlahan menoleh menatap Hana. Matanya bertemu dengan bola mata kecoklatan gadis itu yang memandang penuh harap. Namun jawaban yang keluar dari mulut Rei justru tak seperti yang diharapkan.
“Aku ingin kau diam… dan jangan membuat ulah,” ujarnya datar, namun tegas, membuat tatapannya terasa tajam meski tanpa nada tinggi.
Senyum yang tadi sempat mengembang di wajah Hana langsung menghilang seketika. Ia mengerutkan alis dan mendesah kesal. “Kau!” desisnya dengan nada kecewa, lalu membuang muka dan bangkit meninggalkan tempat duduknya begitu saja.
Namun tanpa mereka sadari, semua percakapan itu ternyata tak luput dari pandangan mata seseorang. Dari kejauhan, Sania diam-diam mengamati keduanya. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik, ekspresi, bahkan percakapan yang sempat tertangkap telinganya—menyimpan rasa penasaran yang perlahan tumbuh dalam diam.
Setelah festival sekolah resmi berakhir, akhir pekan pun menyambut dengan tenang. Hari libur ini seolah menjadi anugerah kecil yang memberi ruang bagi seluruh insan bumi untuk melepas lelah, mengembalikan tenaga, dan menenangkan pikiran dari hiruk pikuk aktivitas yang menguras energi.
Hana masih terlelap di balik selimut hangat. Udara masih terasa sejuk, menyisakan sisa embun yang menempel di dedaunan di luar sana.
Dengan gerakan malas, Hana mengucek matanya perlahan. Matanya masih sipit karena baru bangun tidur. Ia meregangkan tangan dan bahunya, menghela napas panjang untuk menyegarkan tubuh yang masih terasa lemas. Pandangannya kemudian terarah pada sisi ranjang yang seharusnya ditempati Rei—kosong.
Keningnya berkerut seketika. Ia pun perlahan bangkit, duduk di pinggir ranjang sambil menatap sekeliling ruangan. Pagi masih sangat sunyi. Jam menunjukkan pukul lima dini hari, langit masih gelap dengan semburat jingga samar di ujung cakrawala.
“Kemana dia?” gumam Hana, merasa sedikit heran. Tidak biasanya Rei sudah bangun sepagi ini tanpa suara atau gerakan yang membangunkannya lebih dulu.
Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju kamar mandi, berharap menemukan Rei di sana. Namun ruangan itu kosong, tidak ada tanda-tanda keberadaan pria itu.
Tiba-tiba, suara gemercik halus dari luar rumah terdengar samar—suara langkah kaki di atas tanah yang lembap akibat hujan semalam. Rasa penasaran mendorong Hana untuk berjalan ke arah jendela. Ia membuka sedikit tirai dan menengok keluar, berusaha mencari sumber suara itu.
"Rei."