NovelToon NovelToon
Reborn To Revenge

Reborn To Revenge

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Reinkarnasi / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:568
Nilai: 5
Nama Author: Lynnshaa

Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 - ELIAS VAREN

Revan tak bisa tidur. Lagi.

Ia berbaring di ranjang, menatap langit-langit yang gelap. Pikirannya penuh dengan kemungkinan.

Apa yang akan Darius katakan kali ini?

Apakah dia benar-benar tahu sesuatu tentang Zaine, atau ini hanya permainan lain?

Di kepalanya, wajah Zaine muncul—senyum khasnya, suara tawanya yang dulu terasa begitu akrab. Tapi kemudian, semuanya menjadi buram. Seakan ada sesuatu yang hilang dari ingatannya.

Revan menutup matanya rapat.

Besok, ia akan mencari jawaban. Dan ia harus siap menghadapi apa pun.

...***...

Revan sedang berizin ke guru untuk melewati pelajaran kelas dan beralasan sedang sibuk dengan acara keluarga.

Riko mematikan mesin mobil, lalu menatap Revan melalui kaca spion.

"Ini kesempatan terakhir untuk berubah pikiran," katanya pelan.

Revan menarik napas dalam. "Gue udah mutusin."

Emma di kursi belakang menggenggam lengan Revan sebentar, memberi dorongan semangat.

"Oke," kata Riko akhirnya. "Kalo terjadi sesuatu, gue ada di sini. Jangan terlalu lama."

Revan mengangguk sebelum keluar dari mobil. Ia berjalan menuju gudang tua yang ditunjukkan Darius sebagai tempat pertemuan. Setiap langkahnya terasa berat, tapi ia terus maju.

Begitu masuk ke dalam, ruangan itu remang-remang. Bau debu dan kayu lapuk memenuhi udara.

Dan di sana, di tengah ruangan, Darius sudah menunggu.

Dengan senyum tipisnya yang penuh misteri, pria itu bersandar di kursi tua, tangannya bertaut santai di depan dada.

"Revan," katanya, seolah mereka adalah teman lama yang bertemu kembali. "Aku tahu kau akan datang."

Revan menahan dorongan untuk menggertakkan giginya. "Gue di sini enggak bermain-main, Darius. Gue butuh jawaban."

Darius terkekeh pelan. "Oh, aku tahu. Dan aku akan memberikannya."

Ia bersandar sedikit ke depan, menatap Revan dengan mata tajam.

"Tapi pertama-tama… aku ingin tahu. Seberapa jauh kau bersedia pergi untuk mengetahui kebenaran tentang Zaine?"

Jantung Revan berdetak lebih cepat. Ia tahu, apa pun yang akan terjadi selanjutnya… tidak akan mudah.

Dan mungkin, setelah ini, tidak ada jalan untuk kembali.

Revan mengatupkan rahangnya. “Gue nggak akan main-main dengan ini, Darius. Jika lo tau sesuatu tentang Zaine, katakan.”

Darius tersenyum tipis, lalu berdiri. Langkahnya santai saat ia berjalan mengitari ruangan, seakan menikmati ketegangan yang menggantung di udara.

“Kau tahu,” katanya akhirnya, “kadang kebenaran lebih berbahaya daripada kebohongan. Begitu kau mengetahuinya, tidak akan ada jalan kembali.”

Revan mengepalkan tangannya. “Memangnya gue peduli? Gue siap.”

Darius berhenti, lalu menatapnya. Mata hitamnya meneliti wajah Revan, mencari tanda keraguan. Setelah beberapa detik, ia mendesah.

“Baiklah,” katanya. “Tapi ada syarat.”

Revan mengerutkan kening. “Syarat?”

“Kau harus melakukan sesuatu untukku,” jawab Darius, masih dengan senyum khasnya. “Anggap saja… sebagai pembayaran atas informasi yang kuberikan.”

Revan mendengar langkah kakinya sendiri saat ia mendekat. “Lo mau apa?”

Darius memasukkan tangannya ke dalam saku jasnya, lalu mengeluarkan sebuah amplop kecil. Ia melemparkannya ke meja kayu tua di antara mereka.

“Di dalamnya ada nama dan alamat seseorang,” katanya. “Aku butuh kau menemui orang ini dan mengambil sesuatu darinya.”

Revan menatap amplop itu dengan curiga. “Gue harus ngambil apa?”

Darius menyeringai. “Kau akan tahu saat bertemu dengannya.”

Revan mendengus. “Gue nggak bisa nurutin permintaan lo sebelum kasih tau gue apa yang pengen lo ambil.”

“Ah, tapi di situlah letak keseruannya,” Darius menyahut. “Keputusan ada di tanganmu, Revan. Ambil amplop itu, dan aku akan memberitahumu tentang Zaine. Jika tidak… yah, kita bisa mengakhiri pertemuan ini sekarang.”

Revan menatap amplop itu. Tangannya sedikit gemetar saat ia mengulurkannya.

Dia tahu ini berbahaya. Dia tahu ini mungkin jebakan.

Tapi jika ini satu-satunya cara untuk mengetahui kebenaran tentang Zaine…

Maka ia tidak punya pilihan.

Ia mengambil amplop itu.

Darius tersenyum puas. “Bagus,” katanya pelan. “Kita akan bertemu lagi setelah kau menyelesaikan tugasmu.”

Revan menatapnya dengan tajam, lalu berbalik pergi. Saat ia melangkah keluar dari gudang, udara dingin menerpa wajahnya.

Di tangannya, amplop itu terasa begitu berat.

Dan di dadanya, firasat buruk mulai tumbuh.

Revan kembali ke mobil dengan wajah tegang. Begitu ia masuk, Riko langsung menyalakan mesin dan melaju menjauh dari gudang itu.

"Apa yang dia bilang?" Riko bertanya, matanya sesekali melirik Revan melalui kaca spion.

Revan menatap amplop di tangannya. Ia bisa merasakan Emma menegang di sampingnya, menunggu jawabannya.

“Dia bilang dia akan memberitahu gue tentang Zaine… tapi gue harus ngelakuin sesuatu untuknya dulu.”

Emma mengernyit. “Apa?”

Revan membuka amplop itu dan mengeluarkan secarik kertas. Ada sebuah nama dan alamat tertulis di sana:

Elias Varen

Rua 17, No. 49, Distrik Selatan

Hanya itu. Tidak ada petunjuk lain.

Riko menggeram pelan. “Tentu aja dia nggak akan memberi lo jawaban secara cuma-cuma. Ini Darius yang kita bicarakan.”

Emma mengambil kertas itu dari tangan Revan, membacanya cepat, lalu mengangkat alis. “Elias Varen… gue ngerasa pernah dengar nama ini.”

Revan menatapnya. “Lo yakin?”

Emma menggigit bibirnya, berpikir keras. “Gue nggak tau pasti… tapi namanya kayak familiar.”

Riko menghela napas. “Lalu apa rencananya? Lo beneran bakal menemui orang ini?”

Revan mengepalkan kertas itu di tangannya. “Gue nggak punya pilihan lain.”

...***...

Malam itu, Revan duduk di kamarnya, menatap nama di kertas itu. Ia mencoba mencari tahu sesuatu di internet, tapi tidak menemukan apa pun yang berguna.

Elias Varen seakan bukan siapa-siapa.

Namun, jika Darius menginginkannya… berarti ada sesuatu yang penting tentang pria ini.

Saat itu, ponselnya bergetar. Pesan dari Emma:

Jantung Revan berdetak cepat.

Apakah ini tentang Elias Varen? Atau… tentang Zaine?

Tanpa berpikir dua kali, ia meraih jaketnya dan bergegas pergi.

Revan tiba di sebuah kedai kopi kecil di sudut kota, tempat Emma menunggu. Saat ia masuk, gadis itu sudah duduk di pojok ruangan dengan laptop terbuka di depannya. Matanya penuh kecemasan ketika melihat Revan mendekat.

"Jadi, apa yang lo temuin?" tanya Revan, menarik kursi di depannya.

Emma menoleh ke layar laptopnya, lalu membaliknya ke arah Revan. "Gue mencari nama Elias Varen di beberapa arsip lama. Dan gue nemuin ini."

Di layar, ada sebuah artikel berita dari lima tahun lalu. Judulnya membuat Revan langsung menegang:

"Misteri Hilangnya Elias Varen—Pakar Teknologi Menghilang Tanpa Jejak."

Revan membaca cepat isi berita itu. Elias Varen adalah seorang ilmuwan yang bekerja dalam sebuah proyek rahasia. Ia menghilang tiba-tiba tanpa ada catatan lebih lanjut. Keluarganya tidak pernah menemukan jejaknya lagi.

"Ini... ini bukan kebetulan," gumam Revan.

Emma mengangguk. "Gue pikir juga gitu. Dan ada satu hal lagi."

Ia menggeser layar ke bagian lain artikel itu, menunjukkan sebuah foto lama. Di sana, seorang pria berjanggut tipis berdiri bersama beberapa orang lainnya.

Di antara mereka—

Zaine.

Revan menahan napas. Itu Zaine. Lebih muda, tapi itu jelas dia.

Tangannya mengepal. "Darius tau sesuatu tentang ini."

Emma menggigit bibirnya. "Revan… jika Elias Varen benar-benar terkait dengan Zaine, ini bisa jadi lebih besar dari yang kita duga."

Revan menatap foto itu lekat-lekat. Pertemuannya dengan Darius tadi membuktikan satu hal—pria itu tidak akan memberinya jawaban secara cuma-cuma. Jika ia ingin tahu yang sebenarnya…

Ia harus menemukan Elias Varen sendiri.

Dan itu artinya, ia harus pergi ke Distrik Selatan.

...***...

Malam itu, Revan berdiri di depan apartemen Riko. Ia mengetuk pintu tiga kali.

Begitu pintu terbuka, Riko menatapnya dengan ekspresi lelah. "Lo ingin gue menebak, atau lo langsung bilang kalo lo akan melakukan sesuatu yang lebih gila?"

Revan mengangkat secarik kertas dengan alamat Elias Varen.

"Gue butuh bantuan lo."

Riko menatap kertas itu, lalu mendesah panjang. "Gue udah tau kalo lo bakal bilang kaya gitu."

Ia melangkah ke dalam, memberi isyarat agar Revan mengikutinya.

"Kalo kita akan ngelakuin ini," katanya, "maka kita harus melakukannya dengan benar."

Revan mengangguk.

Besok, mereka akan pergi ke Distrik Selatan.

Dan kali ini, ia tidak akan pulang tanpa jawaban.

...***...

Pagi itu, udara di Distrik Selatan terasa lebih dingin dari biasanya. Revan berdiri di depan sebuah gedung tua yang nyaris terlupakan oleh waktu. Catnya terkelupas, jendela-jendelanya kotor berdebu, dan papan nama di atas pintu nyaris tak terbaca.

Elias Varen pernah ada di sini.

Di sampingnya, Riko merapatkan jaketnya. "Gue masih berpikir ini adalah ide yang buruk," gumamnya.

"Ide buruk apanya? Justru ini akan dekat dengan jawaban tentang Zaine," sahut Emma, langkahnya mantap menuju pintu.

Emma sudah lebih dulu masuk, menyelinap ke dalam sistem keamanan gedung lewat laptopnya. Ia memberi mereka jendela waktu beberapa menit sebelum alarm kembali aktif.

"Baiklah," Riko menghela napas, lalu mengikuti Revan ke dalam.

Begitu mereka melangkah masuk, suasana di dalam terasa lebih suram. Lorong panjang dengan cahaya temaram, bau kertas lama bercampur debu.

Emma berbicara lewat earpiece mereka. "Kalian harus ke lantai tiga. Ada ruang arsip di sana."

Revan menatap Riko, lalu mengangguk. Tanpa membuang waktu, mereka bergerak menaiki tangga tua yang berderit di setiap langkah.

(Lantai tiga)

Pintu ruang arsip sudah lama tidak digunakan. Dengan sedikit usaha, Revan berhasil membukanya. Ruangan di dalamnya penuh dengan lemari besi dan rak-rak tinggi yang dipenuhi dokumen.

"Carilah sesuatu tentang Elias Varen," bisik Revan.

Mereka segera berpencar. Riko mulai memeriksa laci-laci kabinet, sementara Revan menarik beberapa berkas dari rak. Tangannya gemetar saat ia menemukan satu map berdebu dengan label "Proyek Venari".

Revan membuka map itu dan membalik halaman pertama.

Lalu, napasnya tercekat.

Di sana, tertulis nama Zaine.

...***...

Riko mendongak. "Lo temuin apa?"

Revan menunjukkan dokumen itu padanya. Di dalamnya ada laporan eksperimen, daftar nama, dan foto-foto lama. Salah satunya—foto Zaine berdiri di laboratorium, mengenakan jas putih, wajahnya serius.

"Dia nggak hanya terlibat," bisik Revan. "Dia bagian dari proyek ini."

Tapi sebelum mereka bisa membaca lebih jauh—

BRUK!

Pintu ruang arsip terbuka dengan keras.

Tiga pria bertubuh besar berdiri di ambang pintu, ekspresi mereka dingin dan penuh ancaman.

Salah satu dari mereka mengangkat senjata.

"Letakkan dokumen itu," katanya. "Dan ikut dengan kami."

Revan dan Riko saling berpandangan. Tidak ada jalan keluar yang mudah dari sini.

Tapi satu hal pasti—

Mereka tidak bisa tertangkap.

Revan menelan ludah. Matanya menyapu ruangan, mencari celah untuk kabur. Tapi para pria di depan mereka berdiri rapat, menutup satu-satunya pintu keluar.

Riko menggertakkan giginya. "Gue tebak, kalian nggak sekadar penjaga arsip?"

Pria yang berbicara sebelumnya—tinggi, bertubuh kekar dengan bekas luka di pelipis—tersenyum tipis. "Kalian tidak seharusnya ada di sini."

Revan mengeratkan genggamannya pada dokumen di tangannya. Ia tak bisa kehilangannya.

Sementara itu, suara Emma terdengar di earpiece mereka. "Gue ngelihat mereka di kamera. Kalian harus keluar, sekarang!"

Revan berpikir cepat. Ia melirik ke belakang—jendela. Kaca buram dengan rangka logam berkarat. Tidak ideal, tapi bisa jadi satu-satunya jalan.

Pria itu maju selangkah, mengangkat senjatanya lebih tinggi. "Serahkan dokumen itu, dan kita bisa menyelesaikan ini tanpa—"

Riko tak memberinya kesempatan menyelesaikan kalimat.

Dalam satu gerakan cepat, ia menendang rak besi di sampingnya. Rak itu jatuh dengan bunyi keras, menabrak salah satu pria dan membuat ruangan seketika kacau.

"Revan! Jendela!" teriak Riko.

Revan tak berpikir dua kali. Ia melesat ke belakang, menghantam jendela dengan sikunya. Kaca retak, lalu pecah. Angin malam langsung menerpa wajahnya.

Tanpa ragu, ia melompat keluar.

Tubuhnya jatuh ke atap gudang kecil di bawah, berguling sebelum akhirnya mendarat di tanah berdebu. Sesaat kemudian, Riko menyusul, mendarat tak jauh darinya.

Dari atas, suara teriakan terdengar. Mereka tidak punya banyak waktu.

Emma sudah menunggu di dalam mobil, mesin menyala. "Masuk!"

Revan dan Riko berlari, melompat ke dalam mobil tepat saat suara tembakan terdengar di belakang mereka.

Ban berdecit saat Emma menginjak gas, membawa mereka menjauh dari gedung itu.

Di dalam mobil, Revan membuka dokumen yang masih ia genggam erat. Cahaya redup dari lampu jalan membuatnya bisa membaca beberapa kata kunci.

"Eksperimen Subjek Z-09"

"Zaine Leonhart—kondisi tidak stabil"

Tangan Revan bergetar. Ia menatap nama itu berulang kali.

Zaine bukan hanya bagian dari proyek ini.

Ia adalah subjek dari eksperimen ini.

Dan itu berarti…

Apa pun yang terjadi padanya—apa pun yang telah menghilangkan dirinya dari hidup Revan—semua ini bukan kebetulan.

Ini direncanakan.

Dan mereka baru saja membuka pintu ke sesuatu yang jauh lebih besar dari yang mereka duga.

Namun, Zaine bukankah dibunuh oleh Presdirnya...?

Revan pun mencoba memanggil Zaine "ZAINE LEONHART!" teriakan itu sangat keras.

"APA-APAAN KAU INI, REVAN?!" tanya Riko sambil menatap Revan.

Revan pun mulai tubuhnya kesakitan dan matanya bercahaya, Riko yang melihatnya pun terkejut dan juga Emma merasa bahwa Revan punya terkaitan oleh Zaine.

"REVAN! SADARLAH!" kata Emma sambil memegang tangan Revan.

Tubuh Revan gemetar hebat. Kilatan cahaya aneh berpendar dari matanya, seolah sesuatu di dalam dirinya sedang bangkit.

"Revan! Hei! Kau baik-baik saja?!" seru Riko, panik.

Emma mencoba menggenggam tangan Revan lebih erat, tapi ia bisa merasakan suhu tubuhnya meningkat drastis. Seakan ada energi luar biasa yang mengalir melalui dirinya.

Revan mengerang, mencengkeram kepalanya. Bayangan-bayangan aneh berkelebat di pikirannya—wajah Zaine, ruangan putih dengan lampu-lampu terang, suara-suara yang berbicara dalam bahasa yang tidak ia mengerti.

Lalu sebuah ingatan muncul.

Sebuah laboratorium. Zaine duduk di kursi dengan kabel-kabel yang terhubung ke tubuhnya. Di depannya, seorang pria berjas putih berbicara dengan suara dingin.

"Subjek Z-09 masih menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan. Tapi kita sudah menemukan kandidat yang cocok."

Ingatan itu berputar cepat.

Revan melihat dirinya sendiri. Terbaring di meja operasi, dengan alat-alat yang mencengkeram lengannya.

"Eksperimen ini harus dilanjutkan."

Matanya melebar. Nafasnya tersengal.

"Gue..." Revan berbisik, suaranya hampir tak terdengar. "Gue bagian dari ini semua..."

Emma dan Riko saling bertukar pandang, ketakutan mulai menyelimuti mereka.

"Revan, maksud lo apaan?" tanya Emma dengan suara gentar.

Revan menggeleng, mencoba mengatur napasnya. Ingatan itu begitu nyata—seolah ia baru saja mengalaminya.

"Gue nggak tau... tapi gue ngelihat sesuatu. Tentang Zaine. Tentang gue." Ia memejamkan mata, mencoba menghubungkan potongan-potongan ingatan yang berkelebat di kepalanya.

Riko menepuk bahunya, mencoba membawanya kembali ke realitas. "Kita harus pergi dari sini dulu. Kita baru saja lolos dari orang-orang yang menginginkan dokumen ini. Kalo mereka tau kau... berubah seperti ini, kita semua dalam bahaya."

Emma mengangguk, langsung menginjak pedal gas lebih dalam. Mobil mereka melaju kencang, meninggalkan Distrik Selatan.

Di kursi belakang, Revan masih bergumul dengan pikirannya sendiri.

Jika Zaine adalah Subjek Z-09, dan ia sendiri juga bagian dari proyek itu…

Apa yang sebenarnya telah mereka lakukan terhadap mereka berdua?

Dan siapa yang selama ini mengawasi mereka?

Revan meremas dadanya, merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhnya. Energi itu masih berdenyut dalam dirinya, seolah sesuatu di dalam dirinya baru saja terbangun.

Saat itu, ponsel Emma berbunyi.

Ia melihat layar, wajahnya langsung pucat.

"Darius," gumamnya.

Revan menegang.

Riko mengertakkan gigi. "Tentu aja dia menelepon sekarang."

Emma menekan tombol speaker.

Suara Darius terdengar di seberang sana, tenang seperti biasa. "Selamat, Revan. Sepertinya kau sudah menemukan bagian dari kebenaran."

Revan menggenggam ponselnya erat. "LO NGELAKUIN APA KE GUE BRENGSEK?!"

Darius terkekeh kecil. "Bukan aku yang melakukannya. Itu semua sudah ada dalam dirimu sejak masih kecil. Aku hanya… membantumu mengingatnya."

Darah Revan berdesir.

"Maksud lo apaan?"

Hening sejenak, sebelum suara Darius kembali terdengar.

"Kau adalah Subjek Z-07, Revan. Sama seperti Zaine namun kau melakukan subjek itu sejak kau masih kecil."

Dunia Revan terasa berhenti seketika.

Jantungnya berdegup kencang.

Ia ingin menyangkalnya. Tapi jauh di dalam dirinya, ia tahu Darius tidak berbohong.

"Selamat datang di permainan yang sebenarnya, Revan," lanjut Darius dengan suara dingin. "Sekarang, pilihan ada di tanganmu. Apakah kau ingin tahu kebenaran sepenuhnya? Atau kau akan tetap menjadi bidak dalam permainan ini?"

Revan menggertakkan giginya.

Ia tahu satu hal pasti.

Ia tidak akan menjadi bidak siapa pun.

Dan ia akan mencari kebenaran—dengan caranya sendiri.

1
Jing Mingzhu5290
Cepatlah melengkapi imajinasi kami, author!
nasipadangenakjir: bab 7 akan segera update yaa! terimakasih atas dukungannya 🤍
total 1 replies
Yuzuru03
Gilaaa ceritanya!
nasipadangenakjir: terimakasih! 🤍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!