Bayu, seorang penyanyi kafe, menemukan cinta sejatinya pada Larasati. Namun, orang tua Laras menolaknya karena statusnya yang sederhana.
Saat berjuang membuktikan diri, Bayu tertabrak mobil di depan Laras dan koma. Jiwanya yang terlepas hanya bisa menyaksikan Laras yang setia menunggunya, sementara hidup terus berjalan tanpa dirinya.
Ketika Bayu sadar dari koma, dunia yang ia tinggalkan tak lagi sama. Yang pertama ia lihat bukanlah senyum bahagia Laras, melainkan pemandangan yang menghantam dadanya—Laras duduk di pelaminan, tetapi bukan dengannya.
Dan yang lebih menyakitkan, bukan hanya kenyataan bahwa Laras telah menikah dengan pria lain, tetapi juga karena pernikahan itu terpaksa demi melunasi hutang keluarga. Laras terjebak dalam ikatan tanpa cinta dan dikhianati suaminya.
Kini, Bayu harus memilih—merebut kembali cintanya atau menyerah pada takdir yang terus memisahkan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Mempermalukan
Beberapa hari setelah perdebatan dengan Laras, Sherin semakin sering menerima perhatian dari Edward. Kali ini, pria itu menjemputnya langsung di depan rumah, mengendarai mobil sport mewah yang berkilauan di bawah sinar matahari sore.
Darma dan Wati berdiri di depan rumah, jelas terpesona oleh pemandangan itu. Wati bahkan tersenyum lebar saat Edward turun dari mobil dan membuka pintu untuk Sherin.
"Pak Edward memang pria yang sopan," bisik Wati pada suaminya.
Darma mengangguk puas. "Dia tahu cara memperlakukan wanita dengan baik. Semoga Sherin bisa mengikatnya."
Laras yang baru pulang dari kantor melihat adegan itu dengan mata penuh amarah. Ia berjalan cepat ke arah mereka, lalu berhenti di depan Edward dan Sherin yang hendak masuk mobil.
"Kamu mau pergi ke mana?" tanya Laras, suaranya tajam.
Sherin mendengus dan melipat tangan. "Jalan-jalan. Masalah buat Kakak?"
Laras mengalihkan tatapannya pada Edward, yang hanya tersenyum santai, seolah menikmati pertengkaran kecil ini.
"Kamu pikir aku nggak tahu permainanmu?" desis Laras. "Kamu sengaja mendekati Sherin untuk menggangguku."
Edward terkekeh pelan. "Kamu terlalu percaya diri, Laras. Aku hanya ingin mengenal Sherin lebih dekat. Dia gadis yang menyenangkan."
Laras mencibir. "Oh ya? Kamu juga bilang begitu pada semua wanita yang kamu dekati sebelum membuang mereka?"
Edward tetap tenang, tapi matanya menyala penuh tantangan. "Aku tidak pernah memaksa siapa pun, Laras. Jika Sherin merasa nyaman denganku, itu pilihannya."
Sherin menyeringai dan menautkan tangannya di lengan Edward. "Kak, kalau kamu masih cemburu, kenapa nggak jujur saja? Daripada terus mencari alasan untuk menjelekkan Pak Edward."
Laras mendengus kesal. "Sherin, ini bukan tentang cemburu. Aku hanya tidak mau kamu dimanfaatkan!"
Edward mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya rendah dan licik. "Atau mungkin... kamu yang merasa terganggu karena aku tidak lagi mengejarmu?"
Laras mengepalkan tangannya. "Aku tidak peduli denganmu, Edward. Aku hanya tidak ingin adikku jadi korban pria seperti kamu!"
Edward tersenyum tipis, lalu menoleh ke Sherin. "Kita pergi?"
Sherin mengangguk tanpa ragu. "Ayo. Aku sudah tak sabar menikmati malam yang menyenangkan."
Tanpa menunggu jawaban Laras, Edward menggandeng Sherin masuk ke mobil, lalu melaju pergi dengan santai.
Laras menatap kepergian mereka dengan perasaan berkecamuk. Edward sedang memainkan permainan berbahaya, dan Sherin—bodoh atau naif—tidak sadar bahwa dirinya hanya bidak dalam rencana pria itu.
Darma menepuk bahu Laras dengan ringan. "Sudahlah, Laras. Biarkan Sherin menikmati hidupnya. Kalau memang Edward tertarik padanya, kita semua yang diuntungkan, 'kan?"
Laras menoleh dengan tatapan tajam. "Ayah benar-benar menjual anak sendiri demi uang?"
Darma hanya tersenyum samar. "Bukan menjual, tapi memanfaatkan kesempatan."
Laras menggelengkan kepala, kecewa. Ia harus menemukan cara untuk mengakhiri permainan Edward sebelum semuanya terlambat.
***
Laras melangkah cepat menuju ruangan Edward. Napasnya memburu, dada naik turun menahan amarah yang sudah mencapai puncaknya. Begitu sampai di depan pintu kaca berlapis emas itu, ia langsung mendorongnya tanpa mengetuk.
Brak!
Edward yang tengah duduk santai di kursinya menoleh, sedikit terkejut tapi dengan cepat mengangkat alisnya dengan seringai khasnya. "Wow, agresif sekali. Kangen, Laras?"
Laras tak membuang waktu. "Aku mau bicara denganmu."
Edward melirik jam tangannya. "Waktu makanku masih lima belas menit lagi. Tapi karena kau spesial, aku bisa meluangkan waktu."
Laras mengepalkan tangannya. "Hentikan permainanmu, Edward. Jangan dekati Sherin!"
Edward tersenyum miring dan menyandarkan punggungnya ke kursi, kedua tangan bertaut di depan dadanya. "Kenapa? Cemburu?"
Laras mendengus. "Jangan membodohiku. Kau mendekatinya bukan karena kau suka padanya, tapi karena ingin membuatku kesal!"
Edward menatapnya dengan intens. "Dan kalau itu benar? Kau peduli?"
Laras menatapnya tajam. "Aku tak peduli siapa yang kau permainkan, tapi jangan sentuh keluargaku. Jangan tarik Sherin ke dalam permainan kotor yang kau buat!"
Edward bangkit dari kursinya, berjalan perlahan ke arahnya dengan tatapan penuh teka-teki. "Tapi dia menyukaiku, Laras. Apa salahnya aku memberi sedikit perhatian?"
"Dia tidak tahu siapa dirimu sebenarnya! Dia tidak tahu kalau kau pria brengsek yang hanya bermain dengan wanita lalu meninggalkannya begitu saja!"
Edward terkekeh, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. "Lalu kenapa tidak kau beri tahu sendiri? Atau… kau takut Sherin tidak akan percaya padamu?"
Laras mengertakkan gigi. Ia tahu adiknya mudah terbuai, dan jika Edward terus memainkan kartunya dengan cerdik, Sherin bisa jatuh ke dalam perangkapnya.
"Kalau kau berani menyentuhnya lebih jauh, aku tidak akan tinggal diam," desisnya dengan suara penuh kemarahan.
Edward menatapnya, lalu tiba-tiba mengangkat tangannya dan menyentuh dagu Laras. "Kau marah sekali, Laras. Apa itu berarti kau mulai memerhatikanku?"
Laras dengan cepat menepis tangannya. "Aku muak denganmu."
Edward terkekeh pelan. "Kita lihat nanti siapa yang lebih unggul dalam permainan ini."
Laras memandangnya dengan jijik sebelum berbalik dan keluar dari ruangan itu dengan langkah cepat. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu masalah ini belum selesai. Edward tidak akan semudah itu berhenti.
***
Sebuah acara makan malam perusahaan diadakan di ballroom hotel mewah. Para eksekutif, klien penting, dan karyawan berdandan elegan, menikmati anggur dalam gelas kristal sambil berbincang santai. Di tengah ruangan, Edward berdiri dengan penuh percaya diri, sesekali tertawa dengan para tamu.
Sherin ada di sisinya, wajahnya berseri-seri saat Edward memberinya perhatian lebih. Laras, yang sejak tadi mengawasi dari kejauhan, mengepalkan tangannya. Ini sudah terlalu jauh. Jika ia tidak bertindak sekarang, Edward akan semakin leluasa memainkan Sherin dan siapa pun yang ia inginkan.
Laras menarik napas dalam dan berjalan ke tengah ruangan, langsung menuju Edward dan Sherin. Langkahnya mantap, sorot matanya tajam. Beberapa orang mulai melirik ke arahnya, menyadari aura tegang yang tiba-tiba muncul.
"Pak Edward," panggil Laras dengan suara lantang.
Edward menoleh dengan seringai khasnya. "Ah, Laras. Akhirnya kau memutuskan untuk bergabung juga?"
Laras tidak menjawab. Ia justru menarik mikrofon dari salah satu pelayan yang lewat, menarik perhatian semua orang di ruangan itu.
"Saya ingin menyampaikan sesuatu kepada semua yang ada di sini," suaranya jernih dan tegas. "Tentang pria yang berdiri di samping adik saya saat ini."
Para tamu mulai berbisik, menatap Edward dan Sherin.
"Pria ini," lanjut Laras sambil menatap Edward dengan penuh kebencian, "adalah seorang pembohong, manipulatif, dan buaya darat. Ia menggunakan uang dan kekuasaannya untuk meniduri klien dan karyawan, lalu membuang mereka begitu saja!"
Ruangan mendadak sunyi. Sherin menatap Laras dengan mata melebar, wajahnya mulai pucat.
"Laras, apa yang kau bicarakan?!" bentak Sherin, tak percaya.
Laras mengabaikannya, matanya masih terkunci pada Edward. "Aku tahu ini bukan pertama kalinya kau melakukan ini, Edward. Kau pikir aku tidak akan mencari tahu? Semua orang di sini berhak tahu siapa dirimu sebenarnya."
Para tamu mulai saling bertukar pandang. Beberapa wanita yang pernah bekerja di bawah Edward tampak gelisah. Bisikan semakin ramai.
Edward, yang biasanya selalu penuh percaya diri, akhirnya kehilangan senyum angkuhnya. Ia melirik sekeliling, menyadari bahwa reputasinya mulai terancam.
"Laras, kau melebih-lebihkan," katanya dengan suara rendah, mencoba tetap tenang. "Jangan mempermalukan diri sendiri di sini."
Laras menyeringai sinis. "Mempermalukan diri sendiri? Atau justru aku mempermalukanmu? Kau tak bisa mengelak, Edward. Banyak orang di sini yang sudah tahu kelakuanmu, hanya saja mereka diam. Aku tidak akan diam. Aku tidak akan membiarkan adikku jatuh dalam permainan kotor yang sama!"
"Laras, cukup!" suara Darma, ayahnya, terdengar marah.
"Tidak, Ayah!" Laras menatap ayahnya tajam. "Cukup kita membiarkan pria ini bermain dengan kehidupan orang lain! Jika Ayah dan Ibu mau menjual anak perempuan kalian pada pria seperti ini, silakan! Tapi aku tidak akan membiarkan Sherin jadi korban berikutnya!"
Edward mengepalkan tangannya, wajahnya mulai merah. Ia melangkah mendekat, mencoba meraih mikrofon, tapi Laras lebih cepat.
"Jika kau merasa aku berbohong, kenapa tidak kau buktikan sendiri di hadapan semua orang? Buktikan kalau semua gosip itu salah, kalau kau bukan pria yang mempermainkan wanita demi kesenanganmu sendiri!" tantang Laras.
...🍁💦🍁...
To be continued