Benih Pengikat Kaisar
[Malam ini datang ke Hotel A, kamar 106. Dandan yang cantik dan jangan bau dapur.]
Pesan singkat itu muncul di layar ponsel Sekar Ayuningtias. Jemarinya gemetar saat membaca setiap kata yang terpampang jelas. Eka—begitu ia biasa disapa—tersenyum, nyaris tak percaya. Setelah satu tahun menikah, baru kali ini suaminya mengajaknya bertemu di hotel.
"Apa Mas Adit mau menyentuhku malam ini?" gumamnya lirih.
Sejak diboyong ke Jakarta sebagai istri Aditya Wirawan, pernikahan mereka hanya sebatas status. Ia tetap gadis desa yang tak tersentuh oleh suaminya—masih perawan.
Eka tak pernah mengerti penyebabnya. Dulu, saat pertama kali berpacaran, Adit begitu mencintainya. Lalu, apa yang berubah?
Ia memandangi bayangannya di cermin. Wajah polosnya tampak merona karena harapan yang kembali menyala. Dengan penuh semangat, ia memilih gaun terbaiknya, berdandan secantik mungkin, dan menyemprotkan parfum lembut khas melati. Malam ini, ia ingin menjadi istri yang sesungguhnya.
Setelah memastikan semuanya sempurna, Eka berangkat menuju hotel dengan hati berdebar. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin mendekatkannya pada jawaban yang selama ini ia cari.
Di dalam taksi, ia menggenggam erat ponselnya. Pikirannya berkecamuk. Kenapa baru sekarang? Apa Mas Adit akhirnya menerima aku sebagai istrinya?
Setahun terakhir, ia hidup dalam bayang-bayang status. Bukan sebagai istri yang dicintai, melainkan sebagai pengurus rumah tangga keluarga Wirawan. Mertua yang selalu menuntut, adik ipar yang manja, serta nenek yang membutuhkan perhatian penuh. Dan Adit... suaminya, hanya pulang untuk singgah. Tidak pernah menyentuhnya. Tidak pernah memperlakukannya sebagai seorang istri.
"Kamu bau dapur, aku tidak suka."
"Pergilah, aku lelah. Jangan ganggu aku."
Kata-kata itu selalu dingin. Selalu membuatnya merasa tidak diinginkan. Tapi malam ini berbeda. Malam ini, ia dipanggil. Malam ini, ia memiliki harapan.
Begitu taksi berhenti di depan hotel, Eka menarik napas panjang sebelum melangkah masuk. Kakinya gemetar saat menaiki lift menuju lantai tempat kamar 106 berada. Namun, saat tiba di koridor, ia melihat sesuatu yang aneh—ada dua kamar dengan nomor yang sama.
Ia menatap kedua pintu itu dengan ragu. Baru saja hendak mengetuk salah satunya, pintu di sebelah terbuka lebih dulu.
Tangan kekar mencengkeram pergelangannya, menariknya masuk dengan cepat namun tidak kasar. Eka tersentak, tubuhnya terhuyung sebelum terdengar bunyi pintu tertutup di belakangnya.
Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi lampu temaram di sudut kamar. Aroma maskulin bercampur alkohol samar tercium di udara.
"Mas... Adit?" panggilnya dengan suara bergetar.
Tidak ada jawaban.
Lalu, sebuah sentuhan hangat menyentuh bahunya. Napas pria itu terasa di dekat telinganya, membuat bulu kuduknya meremang.
"Kamu wangi sekali..." bisik suara rendah itu, terdengar berat dan samar.
Jantung Eka berdetak cepat. Ia mencoba menoleh, namun pria itu telah merengkuhnya dalam pelukan.
Eka tersentak, tubuhnya menegang saat bibir panas itu menyentuh kulit lehernya. Sensasi asing menyelimuti dirinya, membuatnya sulit bernapas.
"Mas Adit... kamu—" suaranya terputus, bergetar di udara.
Tapi pria itu tidak merespons, hanya semakin mendekapnya erat. Nafasnya memburu, seakan dikuasai sesuatu yang tak bisa ia kendalikan.
Eka berusaha mendorongnya, tetapi tubuhnya terasa lemah. Kepalanya pening, pikirannya mengabur. Namun, di satu sisi, benaknya terus berbisik— Mas Adit akhirnya menginginkanku.
Selama ini, suaminya selalu menjauh, menolak bahkan untuk sekadar menyentuhnya. Tetapi sekarang? Ia seperti terobsesi padanya.
Mungkinkah ini kesempatan yang selama ini ia tunggu?
Keraguan menyelimutinya, tetapi harapan perlahan mengambil alih. Jika malam ini bisa membuat Adit puas, mungkin segalanya akan berubah. Mungkin ia tidak lagi hanya menjadi pelayan di rumah keluarga Wirawan, tetapi benar-benar menjadi seorang istri.
Eka menutup matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam dekap yang selama ini ia dambakan.
***
Keesokan Paginya. Sinar matahari menerobos celah gorden, menyapu kamar dengan cahaya keemasan. Eka mengerjap pelan, tubuhnya terasa lelah namun hatinya ringan.
Ia menggeliat di tempat tidur, merasakan kehangatan di sisinya. Dengan senyum kecil, ia mengulurkan tangan, berharap menemukan sosok suaminya di sana.
Namun, yang ia temukan hanyalah kasur kosong.
Eka membuka mata sepenuhnya, kepanikan menyergap dadanya. Ia menoleh ke sekitar kamar, hanya untuk menyadari sesuatu—ranjang itu memang masih hangat, tetapi tidak ada tanda-tanda keberadaan sang suami—Adit. Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi, membuatnya sedikit tenang.
"Mas Adit, akhirnya aku bisa memenuhi kewajibanku sebagai istrimu seutuhnya," gumamnya, rona merah menghiasi pipinya.
Namun, sebelum ia sempat tenggelam dalam kebahagiaannya, matanya menangkap sesuatu di atas meja kecil di samping tempat tidur.
Sebuah kartu kunci kamar yang bertuliskan 109 bukan 106, dan di atasnya, tertinggal sebuah benda asing yang membuat napasnya tercekat.
Jam tangan.
Bukan milik Adit.
Dada Eka berdesir, tubuhnya mendadak terasa dingin. Tangan gemetarnya terulur, meraih benda itu dengan jantung yang berdebar kencang.
"Ini... bukan milik suamiku."
Matanya membelalak, sementara kesadaran menghantamnya bagaikan gelombang besar. Tak lama terdengar suara pintu kamar mandi terbuka, sosok lelaki asing, tapi terlihat menawan, keluar dengan santai, handuk melilit di pinggangnya, sementara sisa uap panas dari kamar mandi masih mengepul di udara.
Eka membeku. Napasnya tercekat di tenggorokan.
Lelaki itu—bukan suaminya.
Bukan Aditya.
Dia terlalu tinggi, terlalu asing. Rahangnya tegas, matanya tajam, dan ekspresi di wajahnya begitu tenang, seakan tidak ada yang salah. Pria itu menyeringai kecil ketika melihatnya, seolah menikmati kebingungan dan kepanikan yang terpancar jelas dari wajah Eka.
“Kamu sudah bangun?” suaranya rendah, dalam, dan terasa berbahaya.
Eka mundur di atas ranjang, jari-jarinya mencengkeram selimut erat, tubuhnya gemetar hebat. Pikirannya berputar, mencoba memahami apa yang telah terjadi.
"T-tunggu... siapa kamu?" suaranya nyaris tak keluar, hanya terdengar seperti bisikan putus asa.
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia berjalan mendekat, mengenakan kemeja dengan gerakan santai.
Lalu, dengan seringai kecil, ia berkata, "Jangan terlihat begitu tersakiti."
Nada suaranya terdengar lembut, tapi kata-katanya seperti belati yang menusuk dada Eka.
"Kamu masuk ke kamarku, berarti sudah tahu konsekuensinya. Lagi pula... ini bukan pertama kali, kan?" Ia merogoh dompetnya, menarik beberapa lembar uang. "Katakan saja harganya."
Eka membeku.
Hari itu, ia merasa dunianya benar-benar hancur, rasa sakit di fisiknya tidak seberapa dibandingkan dengan hatinya.
Kehormatannya yang selama ini ia jaga untuk suaminya, yang ia pertahankan dengan penuh harapan… lenyap dalam semalam. Tidak hanya itu, lelaki yang bahkan tidak ia kenal kini menganggapnya sebagai wanita malam, seseorang yang bisa dibayar.
Air mata terus membasahi pipinya. Tangannya mengepal, tubuhnya gemetar hebat. Dengan suara bergetar, ia akhirnya berkata,
"Aku bukan wanita seperti yang kamu pikirkan!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments