“Silakan pergi dari mansion ini jika itu keputusanmu, tapi jangan membawa Aqila.” ~ Wira Hadinata Brawijaya.
***
Chaca Ayunda, usia 21 tahun, baru saja selesai masa iddahnya di mana suaminya meninggal dunia karena kecelakaan. Kini, ia dihadapi dengan permintaan mertuanya untuk menikah dengan Wira Hadinata Brawijaya, usia 35 tahun, kakak iparnya yang sudah lama menikah dengan ancaman Aqila—anaknya yang baru menginjak usia dua tahun akan diambil hak asuhnya oleh keluarga Brawijaya, jika Chaca menolak menjadi istri kedua Wira.
“Chaca, tolong menikahlah dengan suamiku, aku ikhlas kamu maduku. Dan ... berikanlah satu anak kandung dari suamiku untuk kami. Kamu tahukan kalau rahimku bermasalah. Sudah tujuh tahun kami menikah, tapi aku tak kunjung hamil,” pinta Adelia, istri Wira.
Duka belum usai Chaca rasakan, tapi Chaca dihadapi lagi dengan kenyataan baru, kalau anaknya adalah ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Permintaan Chaca
Di kamar, Chaca duduk termenung. Aqila dibawa kembali oleh Mama Maryam. Gaun pengantinnya masih ia kenakan, dan matanya bengkak karena terus menangis. Ia tahu ini awal dari kehidupan baru yang tidak pernah ia harapkan.
Pintu kamar terbuka perlahan, dan Wira masuk. Ia mendekati Chaca, duduk di sofa yang berjarak beberapa langkah dari tempat wanita itu duduk.
“Chaca,” panggilnya pelan. “Kita perlu bicara.”
Chaca menoleh dengan tatapan kosong. “Apa lagi yang mau dibicarakan? Semuanya sudah selesai, bukan? Keinginan Pak Wira telah tercapai!” Ingin sekali Chaca meninggikan suaranya, tapi tenggorokannya tercekat.
“Bukan soal pernikahan ini. Saya ingin memastikan kamu dan Aqila merasa nyaman di sini. Saya tahu ini tidak mudah, tapi saya ingin kamu tahu kalau saya akan berusaha menjalankan tanggung jawab saya sama kamu,” tegas Wira, tampaknya ia semakin melunak saat adik iparnya sudah resmi menjadi istri keduanya.
Chaca menatap pria itu dengan tatapan penuh emosi. “Tanggung jawab? Apakah menikahi saya ini hanya tentang tanggung jawab? Kalau iya, saya tidak butuh, Pak. Saya bisa hidup sendiri dengan Aqila. Dan, pernikahan ini tidak pernah saya inginkan! Ini keinginan Anda, bukan keinginan saya!”
“Chaca." Suara Wira terdengar tegas. “Saya menikahimu bukan hanya karena tanggung jawab. Aqila butuh sosok seorang ayah, dan saya ingin menjadi ayah itu. Selain itu ....”
Ia terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan, Chaca memotongnya.
“Selain itu apa? Apakah Pak Wira mencintaiku?” tanya Chaca dengan nada penuh sindiran.
“Tidak, ‘kan! Mana mungkin Pak Wira bermain hati! Wanita yang Anda cintai adalah Bu Adelia,” lanjut kata Chaca.
Wira terdiam lagi. Ia tahu jawabannya, tapi ia tidak siap untuk mengatakannya.
“Saya tahu ini sulit untukmu. Tapi saya tidak akan menyerah begitu saja. Kita akan menjalani pernikahan ini bersama." Akhirnya ia berkata.
Chaca menggeleng pelan, air matanya kembali jatuh. “Saya tidak pernah meminta ini, Pak Wira. Saya tidak pernah ingin ini. Tapi kenapa saya selalu dipaksa menerima sesuatu yang bukan pilihan saya? Jalani saja sendiri!”
Pria itu mendekat, tapi Chaca segera bangkit dan menjauh. “Jangan mendekat. Tolong, beri saya waktu untuk mencerna semua ini! Saya terpaksa menikah dengan Pak Wira, bukan berarti saya menerima Pak Wira!” sentak Chaca dengan mengangkat tangannya ke udara.
Wira mengangguk pelan. Ia tahu Chaca butuh waktu, begitu juga Adelia. Dan di tengah semua itu, ia harus menghadapi perasaannya sendiri.
***
Di kamar yang lain, Adelia duduk sendirian. Ia menatap cermin, mencoba mencari jawaban di wajahnya sendiri. “Aku ini egois atau bodoh?” gumamnya. Ia mencintai Wira, tapi ia tidak tahu apakah cintanya cukup kuat untuk menghadapi situasi ini.
Saat itu, pintu kamarnya terbuka. Wira masuk, terlihat lelah. Ia mendekati istrinya dan duduk di sampingnya.
“Adel, aku tahu kamu sedang berjuang. Aku juga,” ujar Wira lembut.
Adelia menoleh, menatap wajah suaminya. “Mas, kalau kamu benar-benar mencintaiku, buktikan. Jangan biarkan aku merasa seperti ini lagi.”
Wira menggenggam tangan istrinya. “Aku akan buktikan, Adel. Percayalah padaku.”
Adelia tersenyum tipis, meski dalam hatinya masih penuh keraguan. Ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tapi ia tidak punya pilihan selain menjalaninya.
Dan tidak ada malam pertama antara Wira dan Chaca, yang ada justru Wira bersama Adelia berbagi peluh, menguatkan cinta mereka berdua.
***
Hari pernikahan telah terlewati, apakah dengan pernikahannya dengan Wira, kakak almarhum suaminya, lantas kehidupan Chaca berubah? Tampaknya tidak! Janji manis Wira hanya di bibir saja.
Sekarang sudah seminggu lebih Chaca masih tinggal di mansion mertuanya, sedangkan Wira bersama Adelia sudah kembali pulang sejak satu hari setelah ia dinikahi oleh pria tersebut. Katanya Wira akan menjemput Chaca, tapi hingga saat ini belum sama sekali datang. Bahkan meneleponnya pun tidak pernah.
Hanya saja bagi Chaca justru hatinya lega tidak adanya suami dan istri pertama suaminya, hanya saja pria itu menugaskan ajudan untuk mengawasi dirinya. Ya, lebih tepatnya untuk mengawasi agar ia tidak kabur, bukan karena perhatiannya.
“Pah, kok tumben sudah hampir dua minggu lebih Wira tidak ke sini. Memangnya di rumah sakit lagi banyak kerjaan?” tanya Mama Maryam sembari menatap Chaca yang sedang menyuapi Aqila.
“Beberapa hari yang lalu Papa sempat ketemu, dia ada beberapa jadwal operasi. Ya, mungkin saja memang banyak jadwal jadi belum sempat ke sini,” jawab Papa Brawijaya seraya menyeruput kopi hangat.
Mama Maryam mendesah pelan lalu kembali menyantap nasi gorengnya. Di benaknya ada rasa tidak nyaman melihat keadaan menantunya yang kini telah diabaikan oleh suaminya. Ya, Wira —suami baru. Amat malang nasib Chaca, saat nikah dengan Ezzar pun juga diabaikan, kini kisahnya terulang kembali. Untungnya Chaca tidak berekspektasi tinggi dengan pernikahan keduanya.
“Cha, kamu nggak ada minat buat jalan-jalan keluar ajak Aqila?” tanya Mama Maryam dengan perasaan bersalah.
Wanita itu lantas menatap mama mertuanya dengan alisnya bertautan. “Memangnya boleh Mah, kalau aku jalan-jalan di luar? Jika nanti akhirnya ujung-ujungnya aku dicekal dan tidak diizinkan untuk melihat dunia luar?” Chaca balik bertanya dengan nadanya sedikit ketus.
Mama Maryam mengatup bibirnya, lalu kembali menatap suaminya seakan minta sebuah jawaban dari pertanyaan menantu mereka.
“Kalau memang kamu ingin jalan-jalan, Papa mengizinkan kamu untuk pergi, tapi jangan ada niatan untuk kabur membawa Aqila.” Papa Brawijaya menjawab.
Jawaban tersebut menjadi angin segar untuknya, ia pun menatap anak semata wayangnya.
“Pah, Mah, aku sudah mengorbankan diri serta mengabaikan perasaan sendiri untuk kembali menikah dengan anak Mama dan Papa. Kali ini, bisakah aku minta sesuatu dan mohon dikabulkan?” tanya Chaca, raut wajahnya sangat serius saat menatap mereka kembali.
“Minta apa, Chaca?” Mama Maryam bertanya dengan rautnya yang penasaran.
“Aku ingin bekerja, Mah. Bekerja di luar sana, untuk bekal aku sendiri, karena aku sangat tahu diri, tidak akan selamanya aku menjadi bagian keluarga ini. Aku tidak minta harta atau uang sepeser pun dari Mama, Papa, atau Pak Wira. Tapi setidaknya berikan aku kebebasan untuk bisa mengapresiasi diriku, ketimbang semakin lama aku tidak waras dengan kenyataan hidup yang aku hadapi. Aku rasa Papa sebagai dokter pasti amat memahami mengenai kesehatan mental seseorang, maka dari itu tolong izinkan aku. Dan, aku berjanji tidak akan kabur membawa Aqila,” imbuh Chaca sangat tenang.
Chaca pikir sudah cukup ia berdiam diri dan selalu patuh akan aturan keluarga Brawijaya. Sudah waktunya ia bangkit dari keterpurukannya.
Mama Maryam kembali menatap suaminya yang sedang berpikir. “Memangnya kamu mau kerja di mana? Sedangkan background kamu hanyalah lulusan SMA?” tanya Papa Brawijaya, tatapan begitu menyelidik.
“Temanku punya usaha, dan rencananya aku akan membantunya. Tolong, Pah, sudah cukup aku selalu diremehkan di mansion ini. Aku memang datang pertama kali hanyalah seorang pembantu. Tapi, tidak selamanya selalu ada di bawah, roda kehidupan terus berputar. Tidakkah ada rasa kasihani untukku dari Papa dan Mama? Aku hanya minta itu saja,” balas Chaca dengan menahan suaranya yang bergetar.
Bersambung ... ✍️
lanjut