Alya tidak pernah menyangka hidupnya yang biasa akan berubah selamanya saat ia bertemu dengan Rheyan, sosok pria misterius dengan tatapan kelam dan aura yang terlalu menggoda. Ia datang di saat-saat antara hidup dan mati, membawa takdir yang tak bisa dihindari. Tapi yang tak ia duga, sang malaikat maut justru terpikat oleh kelembutan dan keberaniannya.
Di sisi lain, ada Davin, dokter penuh kasih yang selalu ada untuk Alya. Ia menawarkan dunia yang nyata, cinta yang hangat, dan perlindungan dari kegelapan yang perlahan menyelimuti kehidupan Alya.
Namun, cinta di antara mereka bukanlah hal yang sederhana. Rheyan terikat oleh aturan surgawi—malaikat maut tak boleh mencintai manusia. Sementara Alya harus memilih: menyerahkan hatinya pada keabadian yang penuh bahaya atau tetap berpijak pada dunia fana dengan seseorang yang bisa menjanjikan masa depan.
Ketika batas antara surga dan bumi kabur, bisakah cinta mengubah takdir? Atau justru cinta itu sendiri yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irnu R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kelemahan Rheyan dan Peringatan Baru
Alya semakin yakin ada yang tidak beres. Perasaan itu terus menghantuinya, menguat setiap hari. Anehnya, setiap kali Davin ada di dekatnya, Rheyan terlihat semakin pucat dan lemah, seolah ada sesuatu yang menguras energinya.
Awalnya, Alya mengira itu hanya kebetulan. Tapi semakin lama, semakin jelas kalau ada sesuatu yang salah.
Malam itu, dalam mimpinya, Rheyan berdiri di tengah kegelapan, dikelilingi oleh cahaya biru redup. Tapi yang membuat Alya terpaku bukan cahayanya, melainkan tubuh Rheyan yang tampak semakin pudar, nyaris seperti bayangan.
"Rheyan?" panggil Alya, suaranya gemetar, takut jika sosok di hadapannya benar-benar menghilang.
Rheyan menoleh perlahan, tapi sorot matanya kosong, seperti menahan sesuatu yang tidak ingin dia ungkapkan.
Alya mengangkat tangannya perlahan, berusaha meraih Rheyan, berharap bisa merasakan kehadirannya. Namun, saat tangannya menyentuhnya, yang dia rasakan hanyalah kehampaan. Seolah Rheyan hanya bayangan tanpa wujud.
Alya tersentak mundur. Jantungnya berdegup begitu kencang, seolah mencoba melarikan diri dari dadanya.
"Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Rheyan? Kenapa kamu seperti ini?"
Rheyan tidak menjawab. Dia hanya menatapnya dalam diam, lalu berbalik pergi.
Tiba-tiba, suara berbisik menggema di sekelilingnya, membawa hawa dingin yang menusuk.
"Waktu semakin menipis… Segalanya harus kembali seperti semula."
Alya terbangun dengan napas tersengal.
Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Itu bukan mimpi biasa.
Ada sesuatu yang benar-benar salah.
Keesokan harinya, Alya mencari Rheyan. Namun, tak seperti biasanya, Rheyan justru menghindar, seolah sengaja menjaga jarak.
Alya menunggu di taman tempat Rheyan biasanya muncul, duduk di bangku kayu yang sedikit berdebu.
Matahari perlahan tenggelam, dan udara mulai terasa dingin. Tapi tak ada tanda-tanda Rheyan.
Ia mencoba memanggil namanya dalam hati, berharap Rheyan bisa mendengar.
Hampa. Bahkan angin pun terasa sunyi malam itu.
Dia hanya datang sesekali, dan ketika Alya mencoba bicara dengannya, jawabannya selalu singkat.
"Ada yang kau sembunyikan dariku," kata Alya suatu malam, menghadang langkahnya.
Rheyan menatap ke arah lain. "Aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan."
"Bohong." Alya mengerutkan kening. "Sejak kapan kau jadi pembohong, Rheyan?"
Rheyan diam, tak memberikan bantahan atau penjelasan.
Alya memerhatikannya lebih lama. Baru kali ini, dia sadar sesuatu yang berbeda dari diri Rheyan.
Dia terlihat… lelah.
Lalu tiba-tiba, pemikiran itu muncul dalam benaknya.
"Kau semakin lemah, kan?" tanyanya pelan.
Rheyan menghela napas panjang. "Aku tidak boleh di sini."
Jawaban itu membuat hati Alya mencelos.
"Kau bilang aku seharusnya mati, tapi aku masih di sini," katanya. "Kalau dunia benar-benar menginginkanku mati, kenapa aku masih hidup?"
Rheyan menatapnya dalam-dalam. Matanya seperti menyimpan sesuatu yang ingin dia katakan, tapi tertahan.
Alya menunggu, berharap Rheyan akan menjawab.
Tapi yang dia lakukan hanyalah menghilang, meninggalkan Alya dalam kebingungan.
Davin menyadari ada sesuatu yang mengganggu Alya.
"Kamu kelihatan lelah," katanya, menyerahkan secangkir teh hangat. "Mimpi buruk lagi?"
Alya menatap teh itu sebelum menerimanya. "Iya... semacam itu."
Davin duduk di sebelahnya, menatapnya penuh perhatian. "Kalau ada yang mengganggumu, aku siap mendengar."
Alya mengangguk, tapi tetap diam.
Setiap kali berada di dekat Davin, dia merasa lebih… nyata.
Tapi di saat yang sama, ada sesuatu yang mengganjal.
Saat Davin menggenggam tangannya, Alya merasakan sensasi aneh. Sejenak, tubuhnya terasa lebih ringan. Terlalu ringan.
Seolah gravitasi tak lagi menariknya sekuat biasanya. Jari-jarinya sedikit bergetar, tapi Davin tidak menyadarinya.
Sensasi itu halus, hampir tak terasa, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri.
Bukan karena sentuhannya.
Tapi karena pada saat yang sama, dia merasakan sesuatu yang lain.
Seperti ada bagian dari dirinya yang perlahan menghilang, tanpa tahu apa yang sebenarnya hilang.
Davin tidak bertanya lebih jauh, tapi Alya bisa merasakan tatapannya yang penuh kekhawatiran. Mereka duduk dalam diam, hanya ditemani suara jam di dinding.
Alya berusaha mengabaikannya. Tapi jauh di lubuk hatinya, dia tahu ada sesuatu yang perlahan berubah.
Pagi harinya, Alya merasa kepalanya berat. Ingatan tentang mimpinya masih jelas di benaknya. Seolah-olah bukan hanya mimpi, tapi peringatan. Dia tidak bisa diam saja. Dia harus menemukan Rheyan.
Malamnya, Alya kembali bermimpi.
Kali ini, dia berdiri di depan cermin.
Namun, refleksi yang dia lihat di sana… bukan dirinya.
Mata yang menatap balik padanya terasa asing.
"Keseimbangan terganggu..."
Suara itu kembali terdengar, lebih jelas kali ini.
Lalu, perlahan, refleksi di dalam cermin tersenyum.
Ia menoleh ke jendela yang tertutup rapat. Tapi mengapa rasanya ada angin dingin yang menyelinap masuk?
Sekilas, ia merasa refleksinya di cermin bergerak sepersekian detik lebih lambat darinya. Tidak ada yang aneh… tapi hatinya tetap berdebar kencang. Sesuatu terasa tidak beres.
Tidak, itu pasti hanya ilusi. Udara di kamarnya terasa lebih dingin dari biasanya, seperti sisa dari sesuatu yang baru saja menghampirinya dalam mimpi.
Malam itu, tanpa peringatan, Rheyan kembali muncul di hadapan Alya.
Dan kali ini, Alya tidak akan membiarkannya pergi tanpa jawaban.
"Apa yang sebenarnya terjadi padamu?" tanyanya. "Kenapa kamu semakin lemah?"
Rheyan menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab.
"Karena aku telah mengubah takdirmu…" suaranya nyaris berbisik. "Dan sekarang, dunia sedang berusaha mengoreksi kesalahan yang telah dibuat..."
Alya membeku.
"Kesalahan?" ulangnya.
Rheyan menundukkan kepala. "Aku mengganggu keseimbangan. Keberadaanmu di dunia ini… tidak seharusnya terjadi."
Alya merasakan dadanya mencengkeram perasaan yang sulit dijelaskan.
Dia tahu sejak kecelakaan itu, ada sesuatu yang berubah. Tapi mendengar langsung dari Rheyan membuat segalanya terasa lebih nyata.
"Jadi… aku seharusnya mati?" suaranya hampir tak terdengar.
Rheyan tidak menjawab.
Tapi keheningan itu sudah cukup sebagai jawaban.
Dunia di sekeliling Alya berguncang, seolah kenyataan yang dia kenal mulai runtuh.
Dia tidak ingin ini terjadi. Tidak setelah semua yang terjadi.
"Aku tidak peduli," katanya, suaranya bergetar. "Aku masih di sini. Aku masih hidup."
Rheyan menatapnya, seolah ingin mengatakan sesuatu.
Tapi sebelum dia sempat bicara—
Udara di sekitar mereka membeku, menyusup hingga ke tulang. Alya merinding.
Kemudian, cermin di sudut kamar mulai bergetar. Dari dalam cermin, suara samar terdengar seperti napas seseorang.
Napas yang berat, pelan, tapi semakin mendekat.
Alya menahan napas. Itu bukan napasnya sendiri.
Lalu, refleksi Alya dalam cermin berkedip… padahal dia tidak melakukannya.
Retakan pertama muncul, disusul yang lain, menjalar cepat di permukaan kaca dengan suara berderak yang menusuk telinga.
Disusul yang kedua.
Lalu, senyuman itu kembali terlihat, tapi kali ini, bukan sekadar pantulan.
Dan dari dalam cermin itu, sesuatu sedang mengintai.
Sebuah sosok… atau mungkin bukan makhluk yang seharusnya ada di dunia ini.
Kali ini, mereka tidak hanya mengawasi. Mereka datang… untuk mengambilnya.