Alika tidak pernah menyangka kehidupannya akan kembali dihadapkan pada dilema yang begitu menyakitkan. Dalam satu malam penuh emosi, Arlan, yang selama ini menjadi tempatnya bersandar, mabuk berat dan terlibat one night stand dengannya.
Terry yang sejak lama mengejar Arlan, memaksa Alika untuk menutup rapat kejadian itu. Terry menekankan, Alika berasal dari kalangan bawah, tak pantas bersanding dengan Arlan, apalagi sejak awal ibu Arlan tidak menyukai Alika.
Pengalaman pahit Alika menikah tanpa restu keluarga di masa lalu membuatnya memilih diam dan memendam rahasia itu sendirian. Ketika Arlan terbangun dari mabuknya, Terry dengan liciknya mengklaim bahwa ia yang tidur dengan Arlan, menciptakan kebohongan yang membuat Alika semakin terpojok.
Di tengah dilema itu, Alika dihadapkan pada dua pilihan sulit: tetap berada di sisi Adriel sebagai ibu asuhnya tanpa mengungkapkan kebenaran, atau mengungkapkan segalanya dengan risiko kehilangan semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Peringatan Arlan
Terry meringkuk di sudut ruangan dengan wajah pucat, tubuhnya gemetar saat melihat Arlan berdiri di hadapannya. Mata pria itu dipenuhi kemarahan yang membara, rahangnya mengeras menahan emosi. Beberapa anak buahnya berdiri di belakang, siap bertindak jika diperintahkan.
“Kau hampir menculik Alika,” suara Arlan terdengar dingin dan tajam. “Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Terry?”
Terry menelan ludah, mencoba mencari alasan, tetapi lidahnya terasa kelu. “Aku… aku hanya—”
“Jangan berani-berani berdalih!” Arlan membentaknya, membuat Terry tersentak ketakutan. “Kau sudah melampaui batas, Terry. Aku sudah membiarkan banyak hal, tapi kali ini tidak.”
Widi yang berdiri di samping mencoba menenangkan suasana. “Arlan, kau salah paham. Terry tidak—”
“Salah paham?” Arlan memotong kata-kata Widi, menoleh tajam. “Aku melihat sendiri Alika dan Adriel hampir dibawa pergi! Apa Mama pikir aku sebodoh itu?”
Terry semakin mengecil di tempatnya. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi Arlan tak peduli. Ia berbalik pada anak buahnya. “Pastikan dia tidak bisa berkutik lagi. Aku akan menyerahkan semuanya pada pihak berwenang,” ujar Arlan tegas, sorot matanya dingin tanpa belas kasihan.
“TIDAK! Arlan, kumohon! Aku hanya ingin—”
“Kau hanya ingin menyingkirkan Alika, bukan?” Arlan memotong tanpa memberi kesempatan Terry membela diri. “Sejak awal, aku memang tak pernah menyukaimu. Dan setelah ini, aku pastikan kau tak akan pernah mengganggu hidup kami lagi.”
Terry jatuh terduduk, tubuhnya gemetar. Matanya memohon pada Widi, berharap mendapat pertolongan. Namun, Widi hanya bisa menggigit bibir, wajahnya menegang. Ia tahu mereka sudah kalah kali ini. Sementara itu, Arlan melangkah pergi, kemarahan masih membara dalam dadanya. Ia harus memastikan Alika dan Adriel dalam keadaan baik-baik saja.
Namun tiba-tiba suara Terry kembali terdengar, kali ini penuh keyakinan dan ancaman.
“Kalau kau membawa kasus ini ke polisi, Tante Widi juga akan terseret. Kami merencanakan semua ini bersama.”
Widi tersentak, menoleh tajam ke arah Terry dengan ekspresi kaget bercampur panik. “Terry! Apa yang kau lakukan?!” desisnya, seakan tak percaya Terry akan menyeretnya juga.
Arlan berhenti melangkah. Rahangnya mengeras, matanya berkilat marah saat menatap Widi. Napasnya memburu, mencoba mengendalikan emosinya. “Jadi ini benar? Mama terlibat?”
Widi membuka mulut, tetapi tak ada kata yang keluar. Matanya bergetar, mencari alasan, tetapi tatapan tajam Arlan seakan menelanjangi semua kebohongannya.
Terry menahan napas, berharap dengan menyeret nama Widi, Arlan akan mengurungkan niatnya untuk membawanya ke jalur hukum. Skandal seperti ini sudah pasti akan menghancurkan nama baiknya dan keluarganya.
Namun, alih-alih goyah, tatapan dingin Arlan justru menusuk tajam, diiringi kata-kata yang membuat tubuh Terry gemetar ketakutan.
"Aku tidak akan membawamu ke jalur hukum, Terry," suara Arlan terdengar rendah, nyaris seperti bisikan, tetapi penuh ancaman. "Bukan karena aku iba padamu. Aku hanya tidak ingin melihat Mamaku terseret karena kebodohanmu."
Terry menelan ludah. Matanya melirik Widi, yang kini tampak sedikit lebih tenang, meski wajahnya masih tegang.
"Tapi jangan kira kau bisa lolos begitu saja," lanjut Arlan, matanya berkilat penuh ketegasan. "Mulai hari ini, kau dipecat dari posisimu sebagai manajer networking bisnis. Aku tidak ingin melihat namamu lagi di perusahaan mana pun yang berhubungan denganku."
"Arlan, kau tidak bisa—"
"Aku bisa!" potong Arlan tanpa ampun. "dan bukan hanya itu. Jika aku mendengar kau berani mendekati Alika atau mengusik hidupku lagi, aku pastikan bisnis keluargamu hancur. Aku punya cukup pengaruh untuk membuat keluargamu bangkrut dalam sekejap."
Terry merasakan darahnya mengalir dingin. Arlan tidak menggertak. Dengan koneksi dan kekuasaannya, pria itu bisa melakukan apa saja.
"Jadi, anggap ini sebagai peringatan terakhir," Arlan mendekat, suaranya semakin dingin. "Hidupmu masih bisa berjalan normal jika kau pergi sekarang dan tidak pernah mengusik hidupku lagi. Tapi jika kau masih nekat…" Arlan membiarkan kata-katanya menggantung, tetapi ancamannya jelas.
Terry menggigit bibirnya, tangan gemetar. Ia ingin protes, tetapi sorot mata Arlan membuatnya tahu bahwa pria itu tidak main-main.
"Sekarang pergi!" perintah Arlan, tak lagi ingin membuang waktu.
Terry menoleh ke Widi, berharap ada bantuan, tetapi Widi hanya diam. Wajahnya sulit ditebak, tetapi jelas ia pun tidak bisa berbuat apa-apa kali ini.
Dengan langkah gontai, Terry akhirnya berbalik dan pergi, menyadari bahwa ia telah kehilangan segalanya.
Begitu Terry menghilang dari pandangan, keheningan menyelimuti ruangan. Widi masih berdiri di tempatnya, wajahnya tegang. Ia tahu, meski Arlan tidak menyeretnya ke jalur hukum, itu bukan berarti ia bisa lolos begitu saja.
Arlan berbalik menghadap Widi, tatapannya tajam namun ada kekecewaan yang jelas terpancar di sana. Ia menarik napas dalam sebelum akhirnya membuka suara.
"Aku bisa memahami banyak hal, tapi tidak kali ini, Ma."
Widi menegang.
"Aku bisa memaafkan Mama kali ini," lanjut Arlan, suaranya datar tetapi penuh ketegasan. "bukan karena aku setuju dengan apa yang mama lakukan. Tapi karena Mama adalah wanita yang telah mengandung, melahirkan, dan membesarkanku."
Sekilas, sorot mata Widi sedikit melembut, tetapi ia tidak berani bicara.
Arlan melangkah mendekat, tatapannya tak lepas dari wajah Widi. "Tapi dengarkan baik-baik. Jika lain kali Mama berani melakukan hal seperti ini lagi, apalagi jika itu untuk menyingkirkan Alika, maka aku tidak akan memandang Mama sebagai ibuku lagi."
Dada Widi naik turun, napasnya tercekat.
"Aku bersumpah, Ma," Arlan menambahkan, suaranya semakin dalam, "jika Mama mencoba menyakiti Alika atau Adriel lagi, aku sendiri yang akan memastikan Mama tidak akan bisa menyentuh hidupku lagi."
Hening.
Widi merasakan tubuhnya melemas. Ia tahu Arlan tidak sedang bercanda. Putranya itu bukan lagi anak yang bisa ia kendalikan seperti dulu. Ia ingin protes, ingin membela diri, tetapi di lubuk hatinya, ia tahu bahwa kali ini ia telah melewati batas.
Arlan menatap Widi untuk terakhir kalinya sebelum berbalik.
"Istirahatlah, Ma," katanya, nadanya masih dingin. "Jangan pernah buat aku mengucapkan kata-kata yang lebih menyakitkan lagi di masa depan."
Tanpa menunggu tanggapan, Arlan melangkah pergi. Sementara itu, Widi hanya bisa berdiri di tempatnya, merasa untuk pertama kalinya, ia benar-benar telah kehilangan kendali atas putranya sendiri.
Arlan melangkah dengan wajah dingin, ia mempertimbangkan segalanya. Kali ini, ia terpaksa membiarkan Terry lolos karena jika ia melaporkannya, Widi pun akan ikut terseret, mengingat mereka berdua bersekongkol untuk menyingkirkan Alika.
Bagaimanapun, Widi adalah ibu kandungnya. Selain itu, bagaimana ia bisa menjelaskan semuanya pada ayahnya saat pria itu pulang dan mendapati istrinya dipenjara akibat laporan putranya sendiri?
Namun, satu hal yang pasti, Arlan tidak akan menoleransi jika ibunya kembali berbuat jahat pada Alika.
***
Arlan berdiri di depan jendela ruang kerjanya, menatap ke luar dengan ekspresi dingin yang menyembunyikan gejolak di hatinya. Perbuatan nekat Terry dan Widi benar-benar telah melewati batas. Mereka hampir mencelakai Alika dan Adriel. Ia tidak bisa membiarkan hal seperti ini terjadi lagi.
Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Seorang anak buahnya masuk setelah mendapat izin.
“Bagaimana hasil penyelidikannya?” tanya Arlan tanpa menoleh.
“Kami sudah memeriksa semua rekaman CCTV di sekitar lokasi kejadian, Tuan. Juga melakukan pengawasan terhadap orang-orang yang terlibat."
"Simpan semua bukti itu baik-baik!" titah Arlan tegas.
"Baik, Tuan. Apa ada lagi yang perlu saya lakukan?" tanya anak buah Arlan.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued