Rosa kembali ke Bandung setelah enam tahun menghindari Papa dan Rama, Kakaknya. Selain kembali beradaptasi dengan sekolah baru dan menguatkan hatinya untuk bertemu Rama, Rosa yang kaku juga dikejutkan dengan kedatangan Angkasa. Kakak kelasnya yang adalah anggota geng motor.
Perasaannya dibuat campur aduk. Cinta pertamanya, kebenciannya pada Rama dan Papa, juga rasa kehilangan yang harus kembali dia rasakan.
Bagaimana Rosa yang sulit berekspresi menghadapi semuanya?
Apakah Rosa bisa melaluinya? Apakah Rosa bisa mengembalikan perasaan damainya?
Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noey Ismii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rama dan Semua Perhatiannya
“Rosa!”
Rama membuang ranting pohon di tangannya. Berlari sekencangnya menyusul tubuh Rosa yang terbaring di atas tanah, diantara dedaunan kering.
“Rosa! Kamu gak apa-apa?” tangan Rama membersihkan daun di rambut Rosa.
Rosa terlalu kaget untuk bereaksi. Dia diam sambil mengatur napasnya. Dia bergerak sedikit untuk membebaskan kameranya yang tertindih punggungnya. Hatinya mencelos saat melihat kameranya hampir remuk.
“Kak,” Rosa memperlihatkan kameranya pada Rama yang masih memeriksa keadaan Rosa.
“Gak apa-apa. Kita ganti nanti,” jawabnya. “Apa yang sakit?” Rama menatap ke dalam mata Rosa. Adiknya itu tidak mengeluh tentang sakitnya, malah lebih mementingkan kameranya.
Rosa bergerak, dibantu Rama. Dia baru akan menggerakan kakinya saat tiba-tiba merasakan sakit di kaki kanannya. “Aw, kaki kanan aku, Kak,” katanya sambil meringis.
Tadi Rosa tidak merasakan apapun karena kaget, tapi begitu bergerak, satu per satu sakitnya mulai terasa. Lecet di lututnya, di telapak tangan, goresan di lengannya, meskipun Rosa memakai celana panjang tapi tergerus juga sampai lecet. Juga blouse tangan panjangnya tidak menutupnya dari goresan duri.
Tapi yang paling sakit adalah pergelangan kaki kanannya, Rosa yakin sekali dia terkilir.
“Pegangan, Sa,” Rama memposisikan tanganya di punggung dan bawah lutut Rosa.
Tidak ada waktu untuk kaget dengan gendongan Rama, Rosa segera mengalungkan tangannya di leher Rama. Dia meringis setiap Rama melangkah karena kakinya terayun. Tapi dia menahannya sambil menutup mata.
“Kita ke puskes aja, Kak?” tanya Tiara. Dia sudah meninggalkan ranting-rantingnya di belakang. Memegang ransel Rama yang tadi dilemparkannya saat mengejar Rosa.
“Rumah sakit jauh gak, Ra? Rosa butuh rontgen takutnya patah. Kalau puskesmas gak lengkap biasanya,” jawab Rama. Sambil menstabilkan langkahnya karena mereka sedang menuruni bukit. Napasnya juga memburu. Antara kaget dan capek.
“Agak jauh, Kak,” Tiara mengikuti Rama dengan berlari kecil.
“Tahan ya, Sa, kita ke rumah sakit aja biar sekalian,” suara Rama melembut saat bicara padanya.
Rosa membuka mata. Dia bisa melihat keringat bercucuran dari pelipis Rama. Rama berkali-kali menengadahkan kepalanya untuk menahan kacamatanya turun. Hidungnya licin karena keringat. Rosa juga bisa mendengar napas Rama yang memburu. Dan dia juga bisa mendengar debaran jantung Rama.
Tangan Rosa terulur, menaikan kacamata Rama ke pangkal hidungnya.
Mata Rama melirik Rosa, “Makasih,” katanya.
Rosa kembali menutup mata. Menahan sensasi cenut-cenut di kaki kanannya. Menyandarkan kepalanya di pundak Rama. Dia juga merasa pusing sekarang.
Rama bersyukur dalam hati karena dia membawa mobil. Jika tidak, dia akan lama lagi menunggu mobil yang bisa dipakai. “Ra, sorry, ambilin di saku depan ransel ada kunci mobil. Kita langsung berangkat aja.”
Tiara mengangguk mengikuti instruksi Rama.
-o0o-
“Beneran gak apa-apa, Dokter?” Rama kembali memastikan.
Dokter Indra yang menangani Rosa mengangguk, “Gak apa-apa. Hasil rontgen-nya juga bagus, gak ada yang patah seperti yang kamu khawatirkan. Memang harus dibebat, tapi gak apa-apa. Biasanya sembuh dalam tiga sampai enam minggu. Istirahat dan kompres dingin ya. Nanti saya resepkan obat.”
Rama mengangguk mendengar penjelasan Dokter. Dia baru bernapas lega sekarang. Dia benar-benar panik tadi.
“Tunggu ditangani dulu baru boleh pulang, ya,” Dokter Indra menambahkan.
Rama mengangguk lagi, “Makasih, Dokter,” katanya sambil membungkuk sedikit.
Tiara yang berdiri di sebelah ranjang UGD menghembuskan napas lega. Dia menatap Rosa yang menutup matanya. Rambut kepangnya terlihat berantakan. Tangan Tiara terulur membereskan rambut Rosa.
Rosa merelakan celana panjangnya digunting saat perawat membebat kakinya dengan perban coklat. Dia meringis saat sengatan nyeri menerjangnya. Lecet-lecetnya juga sudah dibersihkan dan diberi salep.
Rama datang tak lama kemudian, membawa beberapa keresek. Keresek pertama berisi air minum. Keresek kedua berisi tisu, tisu basah, karet rambut. Keresek ketiga berisi sebuah dress katun putih polos.
“Tolong bantu Rosa ganti baju, ya Ra, bajunya sekarang kotor sama tanah tadi. Rosa pasti gak nyaman,” kata Rama sambil menutup tirai menutupi sekeliling ranjang.
Rama berbalik dan menunggu di luar tirai.
Senyum Tiara kemudian menarik perhatian Rosa.
“Aku sakit diketawain,” katanya manyun.
“Bukan gitu. Kak Rama peka banget, sih. Gak aneh kamu cepet membaik,” kata Tiara dalam bisikan. Dia tahu Rama ada di luar tirai dan masih bisa mendengar mereka.
Rosa menarik napas. Rama memang sudah seperti itu sejak dia sampai di Bandung. Dia ingat dengan stok coklat dan minuman datang bulannya. Juga kompresan tiap jadwalnya datang bulan. Jajan ice cream sebulan sekali. Mengajak Rosa nonton sebulan sekali juga. Bahkan saat jadwal nginep di rumah Enin dan keperluan dia yang lain, Rama dengan peka memenuhinya.
Setiap hari bertemu, Rama akan menunggunya di depan setiap pagi untuk berangkat sekolah, lalu akan mengantarnya sampai ke kelas. Kemudian akan menunggunya di depan kelas saat tidak ada kegiatan ekstra. Atau akan menunggunya setelah kegiatan klubnya selesai. Atau akan meminta Rosa menunggunya di Green House sebentar.
Rama juga memberinya kebebasan untuk bisa pergi dengan Angkasa, atau jalan dengan Bella dan Najwa. Kadang juga mengizinkannya pergi sendiri. Tapi akan selalu sigap jika Rosa meneleponnya untuk minta jemput.
Rama mengikutinya seperti bayangan. Rama membersamainya setiap saat.
Apakah karena itu dia jadi berubah?
Tapi selama enam tahun di desa pun, dia tidak pernah kekurangan apa-apa. Dia dulu masih bisa pergi-pergi sendiri. Papa akan mengirim semuanya ke rumah Nenek. Akan ada surat dari Rama. Titipan-titipan Rama. Sama saja. Rosa menyangkal. Dia masih sama saja.
Dia masih membenci Rama.
-o0o-
Selama seminggu ini Rosa merasa sangat bosan. Dia hanya beristirahat sambil menyangga kaki kanannya. Rama akan mengangkatnya keluar kamar saat pagi, mendudukan Rosa di sofa ruang tamu, atau di kasur di depan TV, atau duduk di teras depan.
Pokoknya Rama menjadi super sibuk. Selain memasak, dia juga mencuci dan membereskan rumah. Saat pertama kali datang, dia membagi tugas dengan Rosa, tapi seminggu ini Rama menjadi super sibuk.
Tapi anehnya, Rama tetap tersenyum.
“Gak usah senyum-senyum. Seneng banget liat aku gak bisa apa-apa,” kata Rosa. Dia sedang berbaring, Rama meminta –hampir memaksa– untuk mencuci rambutnya. Dia membawa wadah besar ke kamar Rosa, dan membaringkan Rosa. Menggeraikan rambut panjang Rosa ke dalam wadah besar itu.
“Aku bukannya seneng. Aku sedih tau liat kamu sakit gini. Cuma aku seneng karena bisa berguna buat kamu.” Rama menuangkan shampo yang biasa dipakai Rosa. Wangi manis vanila langsung tercium.
"Sok perhatian banget!" gerutu Rosa sambil menutup mata dan membiarkan Rama mengurus rambutnya.
“Aku suka wangi sampo kamu,” komentar Rama.
“Itu sampo yang dibeliin Papa, kok. Aku pake yang ada aja,” Rosa masih menutup matanya saat Rama menggosokan busa sampo ke helaian rambutnya. Rosa tidak mau mengakui kalau dia juga suka dengan wangi sampo dan sabun yang sudah tersedia di kamar mandinya.
Belakangan Rosa tahu, Papa menyewa seseorang untuk mengetahui tren anak muda. Papa memberitahu style Rosa juga. Jadi gak heran, waktu pertama datang ke rumah, baju-baju dan semuanya sudah disesuaikan dengan perkiraan kesukaan Rosa. Rosa mengakuinya, dia menyukai semuanya.
Mata Rosa terbuka saat Rama tidak bersuara. Rosa langsung mendapati wajah Rama yang sedang serius menelusuri helaian rambutnya.
Mata tajam dan hitam dibalik kacamata berbingkai hitam. Hidungnya yang bangir, Rosa bisa melihat lubang hidungnya dalam posisi ini. Lesung pipitnya menghilang karena Rama tidak sedang tersenyum. Bibirnya yang tipis sedang terkatup rapat, dengan kumis-kumis tipis di atas bibirnya. Rambutnya yang berponi sudah lebih panjang dari seminggu yang lalu.
Rosa memandangnya dalam diam.
“Kenapa? Airnya dingin?” Mata Rama mengunci tatapan Rosa.
Menggeleng, Rosa menutup matanya lagi.
“Hangat,” katanya.
Airnya juga hatinya. Rosa merasakan kehangatannya.
-o0o-