NovelToon NovelToon
Hijrah Raya Dan Gus Bilal

Hijrah Raya Dan Gus Bilal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Bad Boy
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: sha whimsy

" Kamu adalah alasan kenapa aku mengubah diriku, Gus. Dan sekarang, kamu malah mau meninggalkan aku sendirian?" ujar Raya, matanya penuh dengan rasa kecewa dan emosi yang sulit disembunyikan.

Gus Bilal menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Raya, hijrah itu bukan soal aku atau orang lain," ucapnya dengan suara dalam. "Jangan hijrah karena ciptaan-Nya, tetapi hijrahlah karena Pencipta-Nya."

Raya terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir. "Tapi kamu yang memotivasi aku, Gus. Tanpa kamu..."

"Ingatlah, Raya," Bilal memotong ucapannya dengan lembut, "Jika hijrahmu hanya karena ciptaan-Nya, suatu saat kau akan goyah. Ketika alasan itu lenyap, kau pun bisa kehilangan arah."

Raya mengusap air matanya, berusaha memahami. "Jadi, aku harus kuat... walau tanpa kamu?"

Gus Bilal tersenyum tipis. "Hijrah itu perjalanan pribadi, Raya. Aku hanya perantara. Tapi tujuanmu harus lebih besar dari sekadar manusia. Tujuanmu harus selalu kembali kepada-Nya."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha whimsy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Copet

“Copet… Copet… tolong!” Seorang gadis berhijab panjang berteriak di tengah keramaian pasar. Naila, yang baru saja menyadari tasnya hilang, panik meminta bantuan.

Di saat yang sama, Raya sedang berjalan sambil mencari bahan-bahan untuk membuat kue. Ia melihat seorang pria berlari tergesa-gesa dan tak sengaja menabraknya. Melihat pria itu membawa tas selempang yang tampak tidak cocok untuknya, insting Raya langsung menyimpulkan: dia pasti copet.

Tanpa pikir panjang, Raya langsung mengejarnya. "Woi, balikkin itu tas!" teriak Raya sambil berlari dengan cepat. Kecepatan dan keberanian Raya membuat beberapa orang di sekitar pasar mulai memperhatikan.

Naila yang melihat kejadian itu langsung berusaha menyusul dari belakang, meski langkahnya tak secepat Raya. “Hati-hati, Mbak!” serunya memperingatkan.

Raya berlari semakin kencang, mendekati pria itu yang mulai kehabisan napas. Saat sudah cukup dekat, Raya melompat dan menendang kaki pria itu, membuatnya terjatuh ke tanah. Tas selempang Naila pun terlepas dari genggamannya.

“Gak usah gaya copet di pasar kalau belum siap mental!” ujar Raya dengan nada penuh kemenangan sambil mengambil tas itu. Beberapa warga yang melihat langsung bertepuk tangan, mengapresiasi keberanian Raya.

Naila segera menghampiri Raya, napasnya tersengal. “Makasih banyak! Aku kira tadi tas itu gak akan balik lagi,” ucapnya dengan penuh rasa syukur.

Raya tersenyum santai sambil menyerahkan tas itu ke Naila. “Santai aja. Gue cuma kebetulan lewat. Lagi nyari bahan kue malah dapat bonus ngejar copet. Seru juga, kan?”

Naila tertawa kecil. “Hebat banget kamu! By the way, siapa namamu?”

“Raya,” jawabnya sambil tersenyum.

" Oh aku Naila, kamu berjalan kaki? Gimana kalo bareng aku aja aku bawa mobil, " Tawar Naila dengan ramah.

" Oh gak perlu mbak, " Tolak Raya.

" Gak papa sekalian mampir ke rumah ku yaa, kamu udah nolongin aku anggap aja aku membalas kebaikan kamu, "

" Yaudah kalo kamu memaksa aku gak bisa nolak lagi, "

" Oh, aku Naila. Kamu jalan kaki ya? Gimana kalau bareng aku aja, aku bawa mobil," tawar Naila dengan ramah, menawarkan tumpangan.

Raya tersenyum, "Oh, gak perlu Mbak, aku bisa jalan sendiri."

"Tolong, ya, sekalian mampir ke rumahku juga. Kamu udah nolongin aku, anggap aja ini sebagai tanda terima kasih," Naila membujuk, menatap penuh harap.

Raya berpikir sejenak, tapi akhirnya menyerah, “Yaudah deh, kalau kamu memaksa kayak gini, aku gak bisa nolak lagi,” ujarnya sambil tertawa kecil.

Naila tersenyum senang. "Nah, gitu dong! Yuk, ikut aku." Mereka pun berjalan bersama menuju mobil Naila. Di sepanjang perjalanan, keduanya mengobrol dan mulai akrab.

Setibanya di rumah Naila, mereka masuk ke ruang tamu yang nyaman. Naila menawarkan teh hangat dan kue kecil untuk Raya. "Anggap aja rumah sendiri, ya," kata Naila sambil tersenyum ramah.

Raya, yang biasanya terlihat tegas dan tangguh, merasa cukup nyaman di rumah Naila yang hangat. “Makasih banyak, mbak Naila, " katanya sambil tersenyum.

Naila masuk ke dalam untuk membuat teh. Raya memperhatikan setiap sudut ruangan. Rumah Naila bisa terbilang besar dan banyak barang-barang antik juga. Tapi Raya tak melihat poto keluarga disini.

Saat Naila masuk ke dalam dapur untuk membuat teh, Raya memperhatikan setiap sudut ruangan. Rumah Naila terlihat luas dan dihiasi dengan barang-barang antik yang mencuri perhatian. Lemari-lemari tua berukir, jam dinding kuno, dan pernak-pernik unik yang jarang ia lihat di rumah-rumah lain.

Namun, satu hal yang membuat Raya heran: tidak ada foto keluarga di sana. Dinding-dinding dan meja-meja yang biasanya dipenuhi potret keluarga tampak kosong dari kenangan semacam itu. Raya merasa sedikit penasaran, tetapi ia menahan diri untuk tidak bertanya langsung.

Tidak lama kemudian, Naila kembali membawa nampan berisi teh hangat dan beberapa kue. “Ini, teh hangat dulu buat kamu. Semoga suka,” katanya sambil menyodorkan cangkir kepada Raya.

Raya tersenyum, menerima cangkir itu. “Makasih, Naila. Ngomong-ngomong, rumahmu keren banget. Banyak barang antik yang menarik,” katanya, mencoba menyelipkan rasa penasarannya secara halus.

Naila tersenyum kecil, tetapi matanya terlihat sedikit sayu. “Iya, almarhumah mama aku suka banget mengoleksi barang kayak gini, " jawabnya, suaranya terdengar hangat namun sedikit melankolis.

"Oh, gitu ya?" Raya mengangguk, berusaha menunjukkan simpati.

Naila mengangguk sambil meraih kalung yang menggantung di lehernya, memperlihatkan liontin berbentuk hati berwarna putih. "Dan ini dari papa. Ini barang kesayangan beliau banget," lanjutnya, memperlihatkan kalung itu dengan hati-hati.

Raya memperhatikan liontin itu dengan seksama. Entah kenapa, benda itu terlihat familiar, seperti pernah ia lihat di suatu tempat. Namun, ia segera menepis pikiran itu, merasa mungkin hanya kebetulan. "Ah, mungkin cuma mirip aja," gumamnya dalam hati, mengalihkan perhatiannya kembali pada Naila.

"Ngomong ngomong sekarang papa kamu mana? " Tanya Raya sambil menyeruput teh

“Oh, papa lagi keluar kota,” jawab Naila sambil tersenyum tipis. “Beliau sering dinas ke luar kota, jadi aku sering sendirian di rumah.”

Raya mengangguk mengerti. “Wah, berarti kamu sering banget jaga rumah sendiri dong?”

Naila menghela napas pelan sambil tertawa kecil. “Iya, udah terbiasa sih. Awalnya agak sepi, tapi lama-lama malah nyaman.”

Raya tersenyum dan merasa semakin kagum pada Naila yang terlihat mandiri. Namun, dalam hatinya, ia masih tak bisa mengabaikan rasa familiar dengan liontin di leher Naila. "Kenapa mirip banget sama liontin yang dari ayah ?" pikirnya, mencoba mengingat-ingat, namun tetap menjaga senyum di hadapan Naila.

Setelah mengobrol panjang lebar dan saling mengenal lebih jauh, Raya merasa waktu sudah cukup lama berlalu. Ia pun tersenyum dan bangkit dari duduknya.

“Terima kasih banyak, Naila, sudah dijamu. Aku pulang dulu ya, udah agak sore,” ucap Raya sambil meraih tasnya.

Naila mengangguk, senyumnya hangat. “Sama-sama, Raya. Senang banget bisa kenal sama kamu. Hati-hati di jalan, ya!”

Raya mengangguk dan melambaikan tangan saat berjalan ke pintu. Namun, saat melangkah keluar, perasaannya terasa agak aneh. Liontin itu, wajah Naila yang penuh kehangatan, dan suasana rumah yang terasa asing namun familiar... Semuanya meninggalkan rasa penasaran yang membekas di pikirannya.

“Naila, makasih lagi ya!” katanya, menoleh sebentar sebelum melangkah pulang.

Sepanjang jalan, pikiran Raya terus terngiang pada liontin dan cerita-cerita Naila tentang keluarganya. “Kayaknya aku perlu cari tahu lebih jauh soal Naila,” gumamnya pelan, sambil bertekad untuk menemukan jawabannya.

Sesampainya di rumah, Raya langsung disambut oleh Bunda di ruang tamu.

"Kenapa lama pulangnya, Nak?" tanya Bunda dengan wajah khawatir.

"Hehehe, maaf, Bun," jawab Raya sambil tersenyum cengengesan. Dia pun mulai menceritakan semua yang terjadi di pasar, termasuk kejadian dengan pencopet dan pertemuannya dengan Naila.

“Jadi begitu, deh,” ujarnya, menyelesaikan cerita.

Bunda menghela napas lega. "Oh, begitu. Tapi kamu nggak kenapa-kenapa, kan?"

"Aku mah strong, Bun," balas Raya, sambil menepuk dadanya dengan gaya percaya diri.

Tiba-tiba, suara Rian terdengar dari belakang. "Huh, gue kira lo keluyuran nggak jelas," katanya dengan nada menyebalkan, mencoba memprovokasi.

Raya memutar matanya sambil menahan senyum. "Dasar, provokator sejati," balasnya sambil menatap Rian tajam tapi bercanda. "Emangnya lo udah kelar nyapu halaman?"

Rian tertawa kecil dan mengangkat bahu. "Ih, nyuruh orang nggak lihat situasi. Gue ini lagi istirahat, nyari inspirasi." Dia berlagak serius, pura-pura berpikir dalam-dalam.

Bunda hanya bisa tertawa melihat keakraban mereka. “Sudah, sudah, kalian ini selalu ada saja. Raya, Bunda bangga loh, kamu berani nolong orang di pasar. Tapi lain kali hati-hati, ya?”

" Siap bunda, " Katanya sambil posisi hormat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!