Demi menghindari bui, Haira memilih menikah dengan Mirza Asil Glora, pria yang sangat kejam.
Haira pikir itu jalan yang bisa memulihkan keadaan. Namun ia salah, bahkan menjadi istri dan tinggal di rumah Mirza bak neraka dan lebih menyakitkan daripada penjara yang ditakuti.
Haira harus menerima siksaan yang bertubi-tubi. Tak hanya fisik, jiwanya ikut terguncang dengan perlakuan Mirza.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hasil tes DNA
Satu minggu berlalu semenjak pertemuan Haira dan Mirza. Mereka sudah semakin akrab, makan bersama, bahkan tidur pun sering seranjang karena permintaan Kemal. Meskipun Mirza sering meninggalkan Haira karena pekerjaan yang membelit, tetap saja hubungan mereka semakin membaik.
Mirza pun ingin segera pulang membawa keluarga kecilnya. Memperkenalkan Haira pada kakak kandungnya yang menanti calon adik ipar.
"Tumben jam segini sudah rapi?" Haira membantu mengambilkan dasi lalu memasangkannya di leher sang suami.
"Iya, hari ini aku ada pertemuan dengan dokter. Setelah itu baru ke tambang."
Haira menghentikan aktivitasnya, menatap lekat mata Mirza.
"Dokter?" ulang Haira menyelidik.
Oh, iya, Haira kan belum tahu tentang tes DNA itu.
"Iya, aku harus cek kesehatan sebelum kita terbang ke Turki, dan nanti biar dia ke sini memeriksa kamu dan Kemal juga."
"Tidak usah, saya tidak sakit."
"Aku, aku, aku," bisik Mirza mengingatkan Haira untuk berbicara yang tidak terlalu formal. Ia risih dengan omongan Haira yang berlebihan.
"Baiklah, aku tidak sakit, jadi Tuan tidak perlu memanggil dokter ke sini."
"Mirza, Mirza, kalau mau lebih mesra, panggil sayang."
Lebay. Haira hanya mengucap dalam hati.
"Iya, Sayang, aku ngerti."
Mirza tersenyum lalu mencium bibir Haira dengan kilat. Ia puas, akhirnya sebutan 'sayang' meluncur dari bibir Haira meskipun dengan paksaan.
"Aku pergi dulu ya, jangan ke mana-mana, kalau butuh sesuatu, panggil pelayan."
Mirza memberikan ponsel baru pada Haira. Mengembalikan benda yang dulu pernah ia banting.
Setelah punggung Mirza menghilang, Haira duduk di tepi ranjang. Kemal masih terlelap karena tadi sempat bangun saat Mirza terus mengusik nya.
Haira menekan tombol panggilan, ia ingin sekali bicara dengan nenek dan Nada tanpa gangguan Mirza. Namun, berkali-kali menghubungi sang adik, gadis itu tidak mengangkat teleponnya, bahkan semalam pun tak membalas chat yang Haira kirim.
"Ada apa dengan Nada? Apa dia marah karena aku meninggalkannya, tapi aku kan terpaksa demi menyelamatkan Kemal."
Terpaksa Haira meletakkan benda pipihnya, ia tak ingin berprasangka buruk pada Nada, sang adik.
"Tuan sudah siap?" tanya Erkan membantu Mirza membuka pintu mobil.
"Sudah, tapi bagaimana kalau Kemal memang bukan anakku?" Duduk di jok belakang, merapikan penampilannya lagi.
"Aku yakin dia anakmu, kalau kamu masih ragu, kita taruhan," tantang Aslan.
Mirza menatap Aslan dengan tatapan tajam. Apa yang mau mereka taruhkan, sedangkan Aslan hanya memiliki perusahaan kecil. Mana mungkin sepadan dengannya.
Dalam perjalanan, tidak ada pembicaraan apapun. Mirza sibuk bergelut dengan otaknya, sedangkan Erkan sibuk melajukan mobil. Membelah jalanan yang sangat padat. Aslan menikmati musik klasik yang membuatnya tenang.
"Apapun hasilnya, Tuan harus terima. Apa selama bersama Tuan, Nona Haira tidak pernah mengatakan tentang Daddy nya Kemal?"
Erkan menatap Mirza dari spion yang menggantung.
"Tidak, selama kami bersama, dia banyak diam. Sekalipun tidak pernah menyinggung Daddy nya Kemal. Apa itu artinya dia masih takut padaku?"
"Mungkin, karena waktu itu kamu sudah kejam padanya. Hati seorang wanita itu lembut, dia mudah rapuh. Sekali tergores, dia akan mengingatnya sampai kapanpun."
Mirza menjitak kepala Aslan dari belakang.
"Sok bijak, padahal kamu sendiri sering mempermainkan perempuan."
Aslan cekikikan, tak mau membantah, takut dipukul Mirza lagi.
Mirza berjalan di depan. Diikuti Erkan dan Aslan dari belakang. Mereka bertiga mengikuti langkah suster yang menunjukkan ruangan Dokter Farel.
"Silakan, Tuan." Suster dengan ramah membantu Mirza membuka ruangan yang ada di depan nya.
"Silahkan duduk, Tuan." Dokter Farel mempersilakan Mirza duduk, sedangkan Aslan dan Erkan menunggu di luar.
Dokter Farel langsung mengambil amplop dari dalam laci. Ia memeriksa kembali nama yang tertera di depannya. Meskipun belum bertemu dengan Mirza secara tatap muka, ia sudah tahu jika tujuan pria itu datang memang untuk mengambil tes DNA.
"Tuan Mirza Asil Glora dan Kemal," ucapnya.
Mirza mengangguk tanpa suara. Menahan dadanya yang sudah bergemuruh. Ia tak sabar untuk segera membuka amplop yang ada di depannya itu, namun juga takut jika isinya tak sesuai dengan ekspektasi.
"Silahkan dibaca, Tuan. Semoga puas dengan hasilnya."
Tangan Mirza mengulur. Menyentuh benda itu dan membaca logo rumah sakit lalu merobek di bagian pucuk. Ia mengeluarkan lipatan kertas yang ada di dalamnya.
Membuka dengan pelan, lalu membaca dari awal. Sesekali melirik ke arah dokter Farel yang ada di depannya.
Hingga ada bagian sesi terpenting Mirza nampak fokus dengan tulisan itu. Berulang-ulang membaca satu kata yang sedikit tebal.
Positif
Ada rasa marah, bahagia dan kecewa semua bercampur membuat Mirza terpaku. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan lebih dulu. Ia kecewa dengan sikap Haira yang menyembunyikan kenyataan, ia marah pada wanita itu yang dengan tega berbohong padanya, namun juga bahagia karena apa yang diharapkan terkabul.
Jadi Kemal adalah putraku, tapi kenapa Haira harus berbohong? Kenapa dia bilang kalau daddy nya Kemal sudah meninggal, apa apaan ini?
Mirza geram. Ia meremas kertas itu hingga berbentuk bola, lalu memasukkannya ke saku jas.
Tanpa pamit pada dokter Farel, Mirza langsung beranjak dan keluar. Melewati Erkan dan Aslan yang berbincang di samping ruang.
"Kenapa dia?" tanya Aslan pada Erkan.
Sang sekretaris hanya mengangkat bahu, mengikuti langkah lebar Mirza.
"Kamu kenapa, Mir?" tanya Aslan mengejar sang sahabat yang nampak buru-buru.
Mirza tak menjawab, saat ini ia hanya fokus pada Haira dan ingin segera mendengar penjelasan wanita itu.
"Mir, kamu nggak papa, kan?" tanya Aslan lagi saat mereka berada di depan pintu lift.
Masih sama, Mirza membisu tanpa ingin menjawab. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Ia masuk ke dalam lift setelah pintunya terbuka. Masih diikuti Erkan dan Aslan dari belakang.
Kenapa kmu tega padaku, Ra. Kenapa kamu membohongiku.
Dada Mirza semakin sesak mengingat fakta yang sebenarnya.
"Erkan, setelah dari sini kamu bawa Kemal bermain di tambang batu bara!"
"Baik, Tuan.
Eh, ada apa ini. Memangnya apa hasil tes DNA itu, kenapa Mirza sepertinya marah sekali. apa yang akan ia lakukan pada Haira? Kenapa harus menjauhkan Kemal segala.
Bulu halus Aslan Ikut merinding melihat wajah Mirza yang nampak merah padam. Kali ini ia tak berani menasehati pria itu, takut terkena imbasnya.
Jangan marah, Tuan. Nanti kalau Nona Haira pergi lagi, pasti Tuan yang akan rugi. Begitulah kalimat yang seharusnya meluncur. Namun sayang, semua itu tertahan di tenggorokan.
Erkan mengusap keringat yang membasahi dahinya, ia pun hanya bisa melihat Mirza tanpa ingin bertanya. Membayangkan bagaimana kalau mereka berdebat, kasihan Haira.
Kali ini kamu tidak akan bisa lari dariku, Ra. Kamu akan menjadi milikku selamanya.
𝐬𝐨𝐚𝐥𝐧𝐲𝐚 𝐚𝐠𝐚𝐤 𝐣𝐚𝐧𝐠𝐠𝐚𝐥 𝐭𝐝 𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐢𝐫𝐚 𝐧𝐚𝐢𝐤 𝐛𝐢𝐬
𝐤𝐥𝐨 𝐬𝐦𝟐 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐮𝐫𝐤𝐞𝐲 𝐤𝐧𝐩 𝐢𝐛𝐮 𝐭𝐝 𝐛𝐢𝐥𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐚𝐧𝐭𝐞𝐬𝐚𝐧 𝐛𝐬 𝐩𝐧𝐲 𝐚𝐧𝐚𝐤 𝐛𝐮𝐥𝐞
𝐡𝐫𝐬𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐥𝐨 𝐞𝐦𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐦𝟐 𝐛𝐮𝐥𝐞 𝐲𝐚 𝐢𝐛𝐮 𝐢𝐭𝐮 𝐠𝐤 𝐛𝐥𝐧𝐠 𝐠𝐢𝐭𝐮
𝚑𝚎𝚕𝚕𝚘 𝚐𝚊𝚗𝚝𝚎𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚔𝚗𝚕 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚊𝚞𝚗𝚝𝚢 𝚊𝚗𝚐𝚎𝚕𝚊 🤣🤣