Benci Jadi cinta mengisahkan perjalanan cinta Alya dan Rayhan, dua orang yang awalnya saling membenci, namun perlahan tumbuh menjadi pasangan yang saling mencintai. Setelah menikah, mereka menghadapi berbagai tantangan, seperti konflik pekerjaan, kelelahan emosional, dan dinamika rumah tangga. Namun, dengan cinta dan komunikasi, mereka berhasil membangun keluarga yang harmonis bersama anak mereka, Adam. Novel ini menunjukkan bahwa kebahagiaan datang dari perjuangan bersama, bukan dari kesempurnaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nike Nikegea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 : Luka dibalik lukisan
Sore itu, setelah lomba seni selesai, Adam memilih untuk menghabiskan waktu di kamarnya. Alya yang melihat anaknya termenung di meja belajar merasa ada sesuatu yang belum selesai.
“Adam, Mama boleh masuk?” tanyanya lembut dari balik pintu.
“Boleh, Ma,” jawab Adam, meskipun nadanya terdengar berat.
Alya duduk di tepi tempat tidur sambil memperhatikan Adam yang memainkan kuas di kanvas kosong. “Kamu sedih karena nggak menang lomba tadi?” tanyanya hati-hati.
Adam menggeleng. “Nggak, Ma. Aku cuma mikir, kenapa aku nggak pernah cukup bagus.”
Alya terdiam sejenak. Ia tahu ini lebih dalam dari sekadar lomba. “Adam, kamu tahu nggak? Waktu Mama seumur kamu, Mama juga sering ngerasa nggak cukup bagus. Tapi, seiring waktu, Mama sadar, kita nggak harus sempurna untuk jadi bahagia.”
Adam menatap ibunya, matanya mulai berkaca-kaca. “Tapi, Ma, kenapa orang-orang selalu punya ekspektasi tinggi ke aku? Kadang aku ngerasa nggak bisa jadi diri sendiri.”
Alya mengusap kepala anaknya. “Mungkin mereka nggak ngerti, Nak. Tapi, kamu harus tahu, di mata Mama dan Papa, kamu selalu cukup. Bahkan lebih dari cukup.”
Adam tersenyum kecil, meski air matanya mulai mengalir. “Terima kasih, Ma.”
Malam itu, Adam akhirnya membuka dirinya lebih dalam kepada Alya. Dia bercerita tentang tekanan di sekolah, perasaan dibandingkan dengan teman-temannya, dan ketakutan untuk mengecewakan orang tua.
Alya menyampaikan semua cerita Adam kepada Rayhan. Mereka memutuskan untuk menemui guru Adam keesokan harinya untuk membicarakan cara mendukung Adam tanpa menambah tekanan.
---
Pagi itu, Rayhan dan Alya bertemu dengan wali kelas Adam di ruang guru. Guru tersebut mengapresiasi keterlibatan orang tua Adam dalam mendukung perkembangan emosinya.
“Kami akan mencoba pendekatan yang lebih positif di kelas. Mungkin, Adam butuh lebih banyak waktu untuk mengekspresikan dirinya tanpa rasa takut dinilai,” jelas sang guru.
Setelah pertemuan itu, Rayhan dan Alya berusaha menciptakan lingkungan yang lebih terbuka di rumah. Mereka mulai melibatkan Adam dalam pengambilan keputusan kecil, seperti memilih menu makan malam atau aktivitas akhir pekan.
Suatu sore, Rayhan mengajak Adam berjalan-jalan ke taman. Saat itu, Rayhan melihat Adam menggambar sesuatu di buku sketsanya.
“Gambar apa, Nak?” tanya Rayhan sambil menatap halaman yang penuh dengan warna.
“Ini mimpi aku, Pa. Suatu hari aku pengen bikin galeri seni sendiri,” jawab Adam sambil tersenyum.
Rayhan tersenyum bangga. “Papa percaya kamu bisa, Adam. Tapi ingat, semua butuh proses. Nikmati setiap langkahnya.”
Adam mengangguk. Untuk pertama kalinya, dia merasa didukung tanpa tekanan.
---
Seiring waktu, Adam semakin berkembang. Namun, ketika segalanya mulai membaik, masalah baru muncul. Suatu hari, Alya menemukan pesan anonim di ponsel Adam yang berisi ancaman.
“Ada apa ini, Adam?” tanya Alya dengan nada khawatir sambil menunjukkan ponselnya.
Adam terlihat panik. “Ma, itu nggak apa-apa. Cuma teman yang bercanda.”
“Bercanda? Adam, ini serius! Siapa yang ngirim pesan seperti ini?”
Adam terdiam, enggan menjawab. Rayhan yang mendengar keributan itu datang ke ruang tamu. “Ada apa?”
Alya menunjukkan pesan tersebut kepada Rayhan. “Adam dapet pesan ancaman, tapi dia nggak mau cerita.”
Rayhan menatap Adam dengan serius. “Adam, ini nggak bisa didiemin. Kalau ada yang ganggu kamu, kita harus tahu. Kamu nggak sendiri, Nak.”
Akhirnya, dengan berat hati, Adam mengaku bahwa dia sedang diintimidasi oleh salah satu teman di sekolahnya karena iri dengan bakat seninya. Teman itu merasa kalah saing dan mencoba menjatuhkan mental Adam dengan ancaman.
Rayhan dan Alya segera menghubungi pihak sekolah untuk menangani masalah tersebut. Mereka juga memberikan dukungan emosional kepada Adam, memastikan dia merasa aman di rumah dan sekolah.
“Adam, ingat, orang yang mencoba menjatuhkan kamu itu nggak lebih hebat dari kamu. Mereka cuma iri karena kamu punya sesuatu yang mereka nggak punya,” kata Rayhan sambil memeluk anaknya.
Alya menambahkan, “Kamu nggak sendirian, Nak. Mama dan Papa selalu ada buat kamu.”
---
Setelah masalah intimidasi selesai, Adam merasa lebih lega. Dia kembali fokus pada hobinya menggambar dan mulai mendapatkan pengakuan atas karyanya.
Suatu hari, dia memberikan sebuah lukisan kepada Alya dan Rayhan sebagai hadiah ulang tahun pernikahan mereka. Lukisan itu menggambarkan mereka bertiga duduk bersama di sebuah taman.
“Ini untuk kalian. Karena tanpa Mama dan Papa, aku nggak akan sampai sejauh ini,” kata Adam dengan senyum tulus.
Alya tak kuasa menahan air mata bahagia. “Terima kasih, Nak. Kamu tahu nggak, kamu adalah hadiah terbaik dalam hidup Mama dan Papa.”
Rayhan menepuk bahu Adam dengan bangga. “Kita bangga sama kamu, Adam. Teruslah jadi diri sendiri.”
Keluarga kecil itu kembali menemukan kebahagiaan mereka, meski perjalanan hidup tidak selalu mulus. Mereka tahu, dengan cinta dan dukungan, mereka bisa melewati apa pun bersama-sama.
---
Setelah melalui masa sulit, Adam mulai menemukan tempatnya. Dia semakin aktif mengikuti berbagai kompetisi seni di luar sekolah, dan beberapa karyanya bahkan mulai diakui oleh komunitas seni lokal. Alya dan Rayhan, yang selalu mendukung dari belakang, merasa bangga melihat anak mereka tumbuh.
Namun, kehidupan tak pernah benar-benar tenang. Suatu hari, Adam menerima tawaran untuk mengikuti pameran seni di luar kota, sesuatu yang membuatnya sangat antusias.
“Mama, Papa, aku dapet kesempatan buat ikut pameran seni di Bandung! Ini bisa jadi langkah besar buat aku,” kata Adam dengan semangat.
Alya dan Rayhan saling berpandangan. Mereka bangga, tetapi juga khawatir melepas Adam pergi sendiri.
“Kita bangga kamu dapet kesempatan ini, Nak. Tapi, kamu yakin bisa ngatur semuanya sendiri?” tanya Rayhan.
Adam mengangguk. “Aku bisa, Pa. Aku udah siap buat ini.”
Alya akhirnya menyetujui, meski hatinya sedikit cemas. “Kalau itu keputusan kamu, Mama dan Papa akan dukung. Tapi ingat, kabari kami setiap saat, ya.”
---
Adam berangkat ke Bandung dengan penuh semangat. Di sana, dia bertemu dengan seniman-seniman muda lainnya yang berbagi visi yang sama. Pameran itu menjadi pengalaman yang membuka mata bagi Adam. Dia belajar tentang dunia seni yang lebih besar dan tantangan yang menantinya.
Namun, perjalanan itu tidak selalu mulus. Di tengah persiapan, salah satu lukisan Adam rusak karena kelalaiannya sendiri.
Adam menelepon Alya dengan suara gemetar. “Ma, aku bikin kesalahan. Lukisanku rusak, dan aku nggak tahu harus gimana.”
Alya mendengarkan dengan tenang. “Adam, nggak apa-apa. Kadang kita belajar dari kesalahan. Apa ada cara buat memperbaikinya?”
Adam terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Mungkin aku bisa bikin ulang. Tapi aku nggak yakin sempat.”
Rayhan yang mendengar pembicaraan itu dari sisi lain berkata tegas, “Kalau kamu mau coba, jangan ragu, Nak. Yang penting, kamu kasih usaha terbaik.”
Dengan dorongan dari orang tuanya, Adam memutuskan untuk begadang dan menyelesaikan lukisan pengganti. Meski lelah, dia merasa puas karena berhasil menyelamatkan karyanya sebelum hari pameran tiba.
---
Setelah pameran selesai, Adam pulang dengan membawa cerita dan pelajaran baru. Dia tidak hanya mendapatkan pengalaman, tetapi juga penghargaan kecil dari salah satu galeri seni yang tertarik dengan karyanya.
“Aku nggak nyangka bisa sejauh ini, Ma, Pa. Aku seneng banget,” kata Adam sambil menunjukkan sertifikat yang diterimanya.
Rayhan memeluk Adam dengan bangga. “Kamu memang pantas, Nak. Ini baru awal dari perjalanan besar kamu.”
Alya tersenyum sambil mengusap kepala Adam. “Yang penting, kamu nggak lupa siapa kamu dan dari mana kamu berasal. Jangan pernah sombong, ya.”
Adam mengangguk. “Aku nggak akan lupa, Ma. Semua ini karena kalian juga.”
Malam itu, mereka merayakan keberhasilan Adam dengan makan malam sederhana di rumah. Meski tak mewah, kebersamaan mereka terasa hangat dan penuh makna.
---
Setahun berlalu. Adam kini semakin dikenal di dunia seni lokal. Namun, dia dihadapkan pada keputusan besar: apakah dia akan melanjutkan pendidikan seni di luar negeri, atau tetap di Indonesia untuk membangun karier di sini?
“Aku bingung, Ma, Pa. Kalau aku pergi, aku takut nggak bisa sering ketemu kalian. Tapi kalau aku tetap di sini, aku takut menyesal karena melewatkan kesempatan besar,” ungkap Adam.
Rayhan menatap Adam dengan tenang. “Ini hidup kamu, Adam. Mama dan Papa nggak bisa pilihkan jalan buat kamu. Tapi apa pun keputusanmu, kami akan selalu mendukung.”
Alya menambahkan, “Jangan takut membuat keputusan, Nak. Yang penting, kamu jalani dengan sepenuh hati.”
Adam akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan seni di luar negeri. Meski berat, Alya dan Rayhan mendukung penuh.
Hari keberangkatan Adam tiba, dan suasana di bandara penuh haru. Alya memeluk anaknya erat sambil menahan air mata. “Ingat, Nak, di mana pun kamu berada, rumah selalu ada buat kamu.”
Rayhan menepuk bahu Adam. “Jaga diri baik-baik, ya. Kami selalu bangga sama kamu.”
Adam tersenyum sambil menghapus air matanya. “Aku nggak akan lupa semuanya. Terima kasih udah selalu ada buat aku.”
---
Kehidupan keluarga kecil Alya dan Rayhan kini berubah. Mereka harus belajar hidup tanpa kehadiran Adam setiap hari. Namun, mereka tahu bahwa pengorbanan ini adalah bagian dari cinta mereka sebagai orang tua.
Setiap kali Adam mengirim kabar dari luar negeri, mereka merasa lega mengetahui anak mereka berkembang menjadi pribadi yang mandiri dan sukses.
Alya dan Rayhan menemukan kebahagiaan baru dalam mendukung impian anak mereka, sambil terus menjaga keharmonisan rumah tangga yang telah mereka bangun bersama.
---
semangat kak 🤗
sumpah aku jadi ketagihan bacanya 😁😁