Tidak pernah terbersit di pikiran Mia, bahwa Slamet yang sudah menjadi suaminya selama lima tahun akan menikah lagi. Daripada hidup dimadu, Mia memilih untuk bercerai.
"Lalu bagaimana kehidupan Mia setelah menjadi janda? Apakah akan ada pria lain yang mampu menyembuhkan luka hati Mia? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Power Of Mbak Jamu. Bab 3
Mia menggoes sepeda yang sudah enteng karena dagangan sudah habis. Dalam perjalanan banyak ibu-ibu yang menanyakan jamu dan kue. Jika tahu kuenya akan diborong orang, Mia tentu akan membuat lebih banyak.
Mia malas sekali berada di rumah hanya melihat pemandangan yang membuatnya naik darah. Setiap melihat tingkah dua orang di rumahnya, rasanya ingin menjadikan mereka rujak bebek, tetapi dia akan pergi dari rumah itu ketika pengadilan sudah memutuskan bahwa dirinya dengan Slamet sudah resmi bercerai.
"Mia..."
"Saya Mbak..."
"Aku mau beli kue, kenapa kamu jualan ngebut begitu,"
"Alhamdulillah... kue nya sudah habis Mbak" Mia mengatakan jika pagi ini kuenya ada yang memborong.
Wanita yang Mia panggil mbak itu merasa kecewa, karena dia sudah membayangkan arem-arem buatan Mia. Karena tidak percaya dia periksa keranjang Mia. "Yah... beneran habis. Ya sudahlah"
"Ya ampuuun... kalau masih ada, masa nggak saya jual, Mbak" Mia kasihan dengan pelanggan itu. Dia senang makanan buatanya di gemari banyak orang.
"Mia, aku kemarin lewat di depan rumah kamu" Wanita yang usianya 30 tahun itu mengganti topik. Dia mengatakan melihat Slamet sedang duduk berdua dengan seorang wanita dan terlihat akrab, bahkan si wanita menyender di pundak Slamet.
"Saya pikir wanita itu kamu Mia, eh nggak tahunya bukan, bagusnya aku nggak menyapa," lanjutnya, menuturkan apa yang dia lihat.
"Oh, wanita itu... dia saudara sepupu Mas Slamet Mbak," Mia menjawab asal. Dia tentu tidak mau membuka aib rumah tangganya. Tidak mau si wanita banyak tanya, Mia pun pamit pulang.
Tiba di rumah dia hendak masuk, tetapi pintunya di kunci dari dalam. Mia melihat dua sandal masih di teras tidak mungkin jika Slamet dengan Ranti pergi.
Mia mengetuk pintu hingga beberapa kali, tetapi tidak juga di buka. Sambil kesal dia berjalan memutar ke arah jendela, memasang telinga mendengarkan dari sana. Apakah Slamet dengan Ranti berada di kamar.
"Ahh... ahh... ahh..."
Lagi-lagi suara itu yang dia terdengar, Mia mengumpat dalam hati, lalu meninggalkan sepeda di depan rumah, kemudian berjalan kaki ke pinggir jalan raya. Lebih baik ke pasar induk daripada hatinya bertambah marah.
Angkutan tujuan pasar sudah tiba, Mia segera menyetop kemudian naik. Setiap kepasar induk, Mia tidak mau pakai sepeda karena lebih nyaman numpang angkutan.
Tiba di pasar, Mia segera memilih kebutuhan yang dia butuhkan. Bukan hanya bahan jamu, bahan kue pun dia beli.
"Mbak ini cantik, masih muda, tetapi kok jualan jamu. Kenapa tidak menikah saja Mbak?" Kata pedagang pria sudah lama kagum dengan Mia.
"Hihihi... saya sudah punya suami, Mase," Mia terkikik. Memang begitu setiap orang yang belum kenal dengannya mengira Mia belum menikah.
"Tapi kenapa setiap belanja tidak diantar suami, Mbak?" Pedagang kaget mendengar Mia sudah menikah.
"Suami saya kerja," Mia beralasan, lalu membayar total belanjaan tidak mau membahas lagi tentang suami yang ujung-ujungnya ingat Slamet.
"Mbak yakin? Mau membawa ini semua?" Tanya pedagang kaget ketika tenaga kecil Mia mengangkat satu karung belanjaan. Pedagang rempah berniat membantu Mia, tetapi dia tolak.
"Insyaallah kuat, Mase..." Mia santai menjawabnya. Badan boleh kecil tetapi Mia menggendong karung tersebut di belakang dengan kain, kemudian berjalan menuju angkutan yang masih ngetem di pinggir pasar.
Mia meletakkan bokongnya di pintu angkutan, begitulah cara dia merunkan barang agar mengurangi beban berat. Tiba-tiba ada pria yang menarik karung ke dalam.
"Tidak usah Pak" cegah Mia, tetapi karung pun sudah berada di pojok.
"Kamu ini masih gadis jangan terlalu membawa beban berat Mbak, bisa-bisa tidak punya anak loh," ujar seorang pria sesama penumpang.
"Terimakasih Pak" Mia pun duduk merenung menatap ke luar melaui kaca. Benarkah dia tidak punya anak karena bekerja terlalu keras? Mia hanya pasrah, anak adalah rezeki yang dititipkan Allah. Jika memang sudah rezekinya, Mia yakin, dia akan memeluk bayi mungil yang keluar dari rahimnya. Toh, banyak wanita yang bekerja lebih keras darinya, tetapi mereka memiliki banyak anak.
"Mbak turun gang ini bukan?" Supir angkutan mengingatkan Mia yang masih melamun.
"Benar Bang" Mia pun menunduk sambil menyeret karung, di bibir pintu kemudian menggendongnya dengan berjalan kaki hingga tiba di depan rumah.
Dia letakkan karung di teras, lalu mendorong knop pintu, tetapi masih juga dikunci. Terpaksa dia berputar menggendor jendela kamar Slamet, setelah Mia mengintip sedikit dari jendela. Pria itu masih tidur pulas dengan posisi memeluk Ranti. Mendengar jendela di gedor-gedor terdengar sahutan dari dalam.
Marah pasti, tetapi Mia memilih diam kembali berputar. Tiba di teras, rupanya pintu sudah dibuka, nampak Slamet memegang karung hendak menariknya.
"Tidak usah" Mia menepis tangan Slamet, lalu mengangkat karung ke dapur. Suaminya itu syok memberi perhatian, padahal biasanya mana pernah dia tahu bagaimana beratnya Mia bekerja mencari duit dan mengerjakan pekerjaan rumah.
Selama ini Mia tidak pernah mengeluh melakukan kewajiban dengan ikhlas. Tetapi begitu melihat tingkah suaminya menambah istri tanpa izin darinya, hati wanita mana yang tidak akan berontak.
Selama ini Slamet bekerja menjadi cleaning service di salah satu pabrik, gajinya tidak diberikan kepada Miaseluruhnya Sekarang Mia baru sadar, selain buat merokok sudah bisa dipastikan uang itu suami berikan kepada wanita lain.
"Mia, aku lapar" Slamet menyusul Mia ke dapur, dengan wajah memelas.
Bukanya merasa kasihan, Mia yang tengah membereskan belanjaan menatap Slamet tajam.
"Makanya Mas, kalau punya istri itu diajarkan menyapu, ke sumur, ke dapur, bersisih-bersih, bukan hanya cukup memuaskan kamu di tempat tidur. Yaahh... aku sih sekedar mengingatkan saja, kalau kita sudah resmi bercerai, kamu tidak akan kaget, karena saya akan pergi dari rumah ini," tutur Mia, tangannya sibuk mengerjakan ini itu, tetapi mulutnya ngomel-ngomel.
"Mia... kamu jangan menggertak, aku tidak mau bercerai," Slamet takut kehilangan Mia.
"Hahaha... kedengaranya enak sekali bicaramu Mas. Jelas enak, karena kamu dengan istri baru kamu itu akan menjadikan aku pembantu. Dih! Mamaf saja," Mia melengos.
"Jangan kamu kira yang saya sampaikan kemarin itu hanya gertakkan Mas. Tunggu saja dan bersiap-siaplah kamu menghadiri persidangan" Pungkas Mia lalu ke kamar ambil baju sebelum ke sumur.
*****************
Satu bulan kemudian, Mia sudah resmi menjadi janda. Pulang dari pengadilan, dia tidak lagi pulang ke rumah gono gini dia dengan Slamet. Pengadilan memutuskan agar Slamet membagi harta sama rata. Tetapi saat ini, Mia memilih pulang ke rumah peninggalan almarhum kedua orang tuanya.
"Assalamualaikum..." Mia mengucap salam, walaupun tidak ada siapapun. Mia mengecek kamar, dapur, dan seluruh ruangan rumah usang itu kotor dan berdebu, wajar saja sudah lama tidak Mia tengok.
Mia membuka sapu yang baru dia beli ketika perjalanan pulang dari pengadilan. Tidak ada istilah istirahat bagi Mia, janda muda itupun segera beres-beres.
Jeduuurrr...
Suara geluduk di sertai rintik hujan semakin lama semakin deras, air menetes tepat di badan Mia yang tengah membungkuk. Mia mendongak menatap atap tanpa internit nampak beberapa genteng rupanya pecah.
"Aku harus naik" Mia meletakkan sapu, hendak memanjat tiang kayu jati yang masih kokoh membetulkan genteng.
Tok tok tok
"Siapa tamu yang datang hujan-hujan begini" Mia berbicara sendiri, mengurungkan niatnya untuk memanjat, kemudian membuka pintu.
~Bersambung~