Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 32
"Sha-shanum! Ka-kamu ...."
Aku perhatikan dua manusia menjijikkan di depan mataku itu. Sungguh biadab dan tak punya tata krama, terutama perempuan yang berada di bawah dan sedang tersenyum mengejekku. Dia pikir aku akan menangis seperti perempuan kebanyakan yang memergoki suaminya selingkuh? Tidak! Itu bukan aku!
"Ck-ck-ck! Raka, Raka ... kita ini belum resmi cerai, tapi kamu udah ngelakuin kayak gini sama dia. Ini bisa jadi bukti kuat di pengadilan nanti, dan kamu nggak bisa ngelak lagi."
Aku tersenyum sambil menggoyang ponsel di tangan, beruntung aku sempat merekam meski hanya sebentar. Gambar tak senonoh mereka pun sempat kuambil. Kali ini, dia tidak akan bisa mengelak.
"Sha, Sha! To-tolong, ja-jangan! A-aku bisa jelasin, Sha. I-ini nggak kayak yang ada di pikiran kamu!" Dia beranjak dan mencoba mendekati aku, tapi kutolak dengan mengangkat tangan sebelah.
Ah, ya Allah! Sudah tertangkap basah masih saja mau mengelak. Menjelaskan? Apa yang perlu dijelaskan? Yang terlihat sudah sangat jelas dan nyata. Tidak ada lagi pembelaan diri, dan aku memang tidak membutuhkannya.
"Kamu bisa jelasin itu di pengadilan nanti. Kalo perlu bawa selingkuhan kamu itu juga!"
Kulempar senyum, semoga tak terlihat getir apalagi harus menyedihkan. Segera membawa tubuh berbalik dan pergi keluar sebelum air mata yang kutahan jatuh berderai dan membuatku kalah di hadapan mereka.
"Shanum! Sha, tunggu! Shanum!"
Namun, sialnya Raka mencekal tanganku. Kutepis dengan kuat, berbalik dan menatapnya nyalang. Ayolah air mata, bertahan sebentar lagi. Jangan sampai turun, kumohon! Rasa panas semakin kuat mendera bagian mataku. Kurasa tak akan bisa bertahan lebih lama lagi.
"Jangan sentuh aku! Kamu nggak berhak nyentuh aku setelah nyentuh perempuan lain!" kecamku menatap nyalang tepat di kedua matanya yang sayu dan memohon.
"Maafin aku, Sha. Aku khilaf," mohonnya sambil menunduk.
Aku mendengus, berpaling dari wajahnya. Kusapu sudut mata di mana air sudah menggenang. Sungguh, siapa yang tak sakit menyaksikan sendiri bagaimana suami melakukan hal yang tak seharusnya.
"Terusin aja khilaf kamu itu. Pasti enak, 'kan! Aku minta maaf karena udah ganggu kalian. Permisi!"
Kubawa kedua kaki berjalan lebih cepat dan segera masuk ke dalam mobil sebelum Raka kembali mengejar. Benar saja, dia memukul-mukul jendela mobil berteriak memohon untuk tidak pergi. Apa maunya!
"Shanum! Jangan pergi, Sha! Dengerin aku dulu, Shanum!"
Berdengung telinga mendengar teriakannya, tak kupedulikan karena air mata sudah tak mampu bertahan di tempatnya. Jatuh berderai dan merinai membasahi pipi. Kusapu berkali-kali, percuma karena mereka tetap mengalir tanpa komando.
Pandangan yang memburam, menajam seketika saat netra menangkap sosok tidak tahu malu itu di teras menonton sambil tersenyum mencibir. Ingin rasanya kulajukan mobil ke sana, menabrak tubuhnya agar hilang dari dunia ini. Ah, itu bukan kuasaku, melainkan DIA Sang Pemilik Kehidupan.
"Sabar, Sha. Allah nggak tidur, Allah nggak tidur! DIA tahu tanpa kamu mengadu, DIA melihat tanpa kamu kasih tahu. Sabar, jika Allah mengizinkan kamu akan melihat karma menimpa mereka." Lisanku bergumam, air mata surut dengan sendirinya.
Rasa sesak yang sebelumnya merebak di dalam dada, berangsur-angsur pergi. Aku yakin, pertolongan Allah akan datang. Apa yang aku saksikan kali ini merupakan jalan dari-Nya agar aku tidak ragu untuk mengambil keputusan.
Kulajukan mobil meninggalkan pekarangan yang tertanam beberapa bunga hasil buah karyaku. Aku berjanji pada diri sendiri, tidak akan ada lagi air mata untuk laki-laki itu. Tidak akan ada lagi tangisan untuk meratapi nasib rumah tanggaku. Cukup sudah, tak ingin lagi sia-sia.
****
"Ya Allah!" Lirih lisanku bergumam, tanpa sadar saat mengingat perjalanan hidup yang begitu memilukan.
Enam bulan aku mengabdi dan berusaha menjadi istri yang baik untuk Raka, harus berakhir sia-sia. Jalan yang tidak mudah, yang sudah aku lalui dengan menanggalkan segala rasa untuk sang pujaan hati, semuanya percuma.
Kudekap tubuh sendiri saat semilir angin menerpa. Riak air danau yang terlihat tenang, membuatku sedikit ikut merasakan kedamaian. Kuhela napas, mengurai sesak yang tersisa. Setelah ini, akan aku jalani kehidupan dengan lebih baik.
Dret-dret!
Getar ponsel di dalam tas mengalihkan perhatian dari air danau yang hijau di hadapan. Kurogoh dan kulihat nama si penelpon. Mamah?
"Iya, Mah. Kenapa?" Aku bertanya segera begitu telpon tersambung.
"Ada Raka ke rumah, dia nyariin kamu. Keadaan dia kacau banget, Sha. Apa kalian baru ketemu? Mamah kasihan lihatnya," jawab Mamah terdengar sedih.
Cih! Dia mau mengadu apa pada Mamah? Berani juga datang ke rumah, seharusnya dia malu dan tak udah datang mencariku.
"Coba Mamah lihat di mobilnya, ada siapa?" Aku yakin, dia tidak datang sendiri. Ada Shila yang pasti ikut bersamanya. Aku menunggu beberapa saat sampai suara Mamah menggeram di telpon menyapa di telinga.
"Kurang ajar! Aku kira dia beneran datang mau cari Shanum. Nggak tahunya ... awas kamu, Raka!"
Aku tersenyum getir mendengar geraman Mamah.
"Ya udah, Sha. Mamah mau usir laki-laki nggak tahu diri itu dulu!"
Sambungan tertutup setelah Mamah mengatakan itu. Seperti tebakanku Raka akan datang bersama perempuan itu. Kenapa rasanya masih sakit saja? Bagai disayat-sayat belati yang tajam nan beracun. Menyesakkan.
Tidak ada yang kusesali dalam perjalanan sepanjang hidup ini, selain menikah dengan Raka. Namun, aku sadar, ini semua sudah garisan takdir yang harus aku terima dan aku jalani. Akan kutempa diri kembali agar lebih siap menghadapi ujian hidup di kemudian hari.
Lelaki yang begitu manis di awal, tapi menorehkan luka terdalam. Terbayang dalam benak, wajah rupawan meneduhkan milik seseorang. Senyum menenangkan lagi menghanyutkan, menabur rasa damai dalam jiwa.
"Sabar, ya. Ketika Kakak pulang nanti, Kakak akan langsung melamar kamu. Kalo perlu kita langsung nikah aja. Kejar cita-cita kamu dan Kakak akan memantaskan diri untuk bisa menjadi imam kamu."
Kalimat manis meluncur merdu dari lisan lelaki itu, sungguh membuatku mabuk kepayang kala itu hingga saat ini ... hingga saat ini, rasanya aku ingin kembali ke masa itu. Masa di mana aku menunggunya untuk datang melamar.
Tanpa kusadari, air mata kembali jatuh. Bukan untuk menangisi Raka, tapi untuk hati yang tak memiliki pendirian kuat. Seharusnya aku menolak dan menunggu dia saja. Bukan malah pasrah menerima pernikahan yang tak aku inginkan.
Ya Allah!
"Satu tahun lagi, Sha. Kamu masih sabar nungguin Kakak, 'kan?"
Kembali terngiang nada suaranya yang girang melalui seluler ketika ia menelponku waktu itu. Hanya tinggal satu tahun lagi, tapi aku tak mampu bertahan. Ingin rasanya menjerit, melampiaskan segala kekesalan. Sesak kembali datang kala bayang-bayang masa itu datang melintas. Aku ingin bersamanya, dia yang aku inginkan menjadi suami.
"Shanum!"
Aku tersentak saat sebuah panggilan menyapa telinga.
"Menangislah, kalo dengan tangisan mampu mengurangi beban berat di hatimu!"