Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permainan Pengantin Baru
Bab 16
Laura mencoba berontak ketika dua bodyguard mendekat dan mencoba menuntunnya keluar. Ia meronta, mendorong tubuh mereka dengan kekuatan penuh, namun sia-sia.
"Lepaskan aku! Aku tidak akan pergi sampai mendapatkan penjelasan!" teriak Laura dengan suara yang semakin pecah oleh emosi. Tapi Zayden tak bergeming sedikit pun. Wajahnya tetap dingin dan tenang, seolah situasi ini sudah diprediksi sejak awal.
Di saat itu, Elara hanya bisa menonton dengan jantung berdegup kencang. Bagaimana jika tamu-tamu masih ada di sini? pikirnya. Gedung mungkin sudah sepi, tapi bagaimana kalau ada yang melihat kejadian ini? Para tetangga, khususnya ibu-ibu yang suka menggosip di sekitar rumahnya, pasti akan langsung membahas hal ini, menyebarkan kabar bahwa Zayden ternyata sudah menikah dengan wanita lain sebelum Elara. Gosip itu bisa menghancurkan reputasi dan keluarganya.
"T-tuan, bagaimana ini?" Elara bingung.
Zayden akhirnya mendekat, meraih tangan Elara dengan lembut. Tangannya terasa kuat namun nyaman, seperti penegasan bahwa dia masih memegang kendali atas situasi ini. Tanpa banyak kata, Zayden menarik Elara menjauh dari gedung dan menuju mobil yang telah menunggu di luar.
"Kenapa istri Tuan ditinggalkan sendirian? Kasihan dia," ucap Elara. Merasa gak enak pada Laura.
"Jadi, kau harus ninggalin kamu gitu?" jawab Zayden.
"Eh, b-bukan begitu juga."
Elara jadi serba salah. Dia juga tidak ingin jika diabaikan Zayden yang kini jadi suaminya. 'Eh, tapi. Aku kan cuma butuh uang Tuan ini, kenapa harus merasa terabaikan jika dia memilih sama istrinya?' Elara berdebar dengan pikirannya.
'Ah bodo amat. Aku kan udah jadi istrinya, siapa sih yang mau di hari bahagia ini, tapi diabai suami? Wajar, kali ini aku harus pertahanin dulu. Kalau lain kali, boleh kok dia sama istrinya,' batin Elara terus berbincang.
Di dalam mobil, suasana terasa hening. Elara duduk dengan gelisah di samping Zayden, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia tahu ada sesuatu yang harus dihadapi, sesuatu yang tidak bisa dihindari, dan itu adalah kenyataan tentang Laura.
"Oh ya, Tu ..."
"Jangan bahas tentang Laura hari ini." Zayden memotong ucapan Elara.
Elara melongo, dia berpikir, kenapa Zayden tahu kalau dia mau bertanya tentang istrinya?
Suara Zayden lembut namun tegas, seperti angin yang menyejukkan hati Elara, tapi di saat bersamaan, ada perintah yang tersirat di balik kata-katanya.
"Ini hari kebahagiaan kita. Jangan biarkan apa pun merusaknya."
Elara menelan kalimat itu bulat-bulat. Ada perasaan campur aduk di dalam dirinya—lega karena Zayden memilihnya di hadapan Laura, tapi juga bimbang. Apakah ini benar-benar hari kebahagiaan mereka? Apakah Zayden benar-benar miliknya sekarang?
Mobil melaju cepat, membawa mereka menjauh dari gedung pernikahan dan segala masalah yang tersisa di belakang. Hening yang menyelimuti mereka di dalam mobil terasa kental, penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban.
Elara memandang ke luar jendela, mencoba menenangkan pikirannya. Sesuatu tentang cara Zayden menangani situasi tadi membuatnya merasa aman, namun tidak bisa menghapus sepenuhnya kegelisahan yang merambat di hatinya.
Saat mereka akhirnya tiba di hotel, Elara merasa semakin canggung. Ia memang sudah tahu mereka tidak akan pulang ke apartemen, tapi kenyataan bahwa ia harus berbagi kamar dengan Zayden mulai terasa semakin nyata. Ini pertama kali baginya berada dalam situasi seperti ini—di satu kamar dengan seorang pria.
"Kau bukan siput kan?" ucap Zayden, yang posisinya lebih depan dari Elara.
"Hah? Apa maksud Tuan?" jawab Elara dengan sedikit kesal.
"Jalanmu terlalu lamban," jawab Zayden singkat.
Meski Elara telah hidup sebagai wanita penghibur, pengalaman ini terasa aneh. Bagaimana mungkin, dengan segala kehidupan yang pernah ia jalani, ini adalah kali pertama ia berada satu kamar dengan seorang pria dalam situasi seperti ini?
Apakah semua yang dilaluinya selama ini hanyalah bayangan? Pikirannya berputar-putar dalam kebingungan, mencari alasan untuk memahami apa yang sedang terjadi.
'Aku bingung, setelah ini ngapain. Apa yang semestinya dilakukan oleh seorang istri?' batin Elara.
Zayden berjalan di depan, membuka pintu kamar hotel dengan sikap yang sangat tenang dan percaya diri. Elara, di belakangnya, ragu-ragu sebelum akhirnya melangkah masuk.
Kamar itu besar, mewah, dengan jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota yang berkilauan di malam hari. Elara menelan ludah, mencoba menenangkan rasa gugup yang kembali menghantui dirinya.
Saat Zayden menatapnya dari ujung ruangan, Elara merasakan sesuatu yang berbeda. Ada magnet yang menarik mereka satu sama lain, sesuatu yang tidak bisa dia abaikan.
Mata Zayden yang gelap seolah-olah menelanjangi semua rasa takut dan cemasnya. Tapi, di balik semua ketenangan itu, Elara bisa merasakan ketegangan yang belum terselesaikan—tentang Laura, tentang pernikahan mereka, tentang semua yang belum terjawab.
"Kenapa bengong?" tanya Zayden, melihat istrinya tampak aneh.
"Hah? Enggak apa-apa."
“Kita akan baik-baik saja,” suara Zayden akhirnya terdengar, lembut namun penuh keyakinan.
"I-iya tentu. Aku juga baik," Elara asal jawab. Dia benar-benar gugup.
"Ayo!"
Elara hanya bisa mengangguk pelan, meski hatinya masih dipenuhi keraguan. Pertanyaannya sekarang, apakah ini akan benar-benar menjadi awal yang baru, atau sekadar bagian dari permainan yang lebih besar yang belum ia pahami sepenuhnya?
"Eh, mau ke mana?" Zayden menahan tangan Elara yang hendak pergi dari hadapannya.
"Aku kan harus ganti baju, Tuan," jawab Elara sambil berbalik melangkah.
"Eh, sini." Zayden menarik tangan Elara, otomatis kakinya tidak seimbang dan jatuh. Untungnya Zayden segera meraih dan kini ada di pelukannya.
"Ih. Tuan! Untung gak jadi jat...." Ucapan Elara terhenti karena bibirnya langsung dibungkam oleh bibir Zayden.
Elara hampir kehabisan napas, dia berusaha berontak. Semakin Elara melawa, semakin aktif Zayden melakukan aksinya.
"Tuan," lirih Elara. "Gan-ti ba-ju,"lanjutnya lagi dengan susah payah.
Dengan cekatan, Zayden melepas satu persatu hiasan kepala Elara semampunya, sedangkan bibirnya tak berhenti mengeksekusi bibir Elara. Lalu berlanjut berusaha membuka tiap manik pengait pakaian pengantin Elara. Tangan Zayden lihai mencari di mana kancing atau pengait busana yang dikenakan sang istri.
"Ikh...!" Dengan sekuat tenaga Elara mendorong Zayden. "A-aku, mau ganti pakaian," lanjut Elara cepat berbalik dan menjauhi Zayden. Dia takut suaminya mengejar.
Zayden hanya tersenyum menatap punggung Elara yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Tangannya mengusap bibir yang seakan-akan sudah memakan sesuatu yang nikmat.
Derrrt ...!
Derrt...!
Zayden melihat ponselnya yang berdering di atas bupet. Rupanya itu dari kakeknya.
"Iya Kek?"
"Bagaimana? Sukses?"
"Apanya yang sukses? Sudah dulu ya Kek. Aku sedang repot."
Zayden memutus sambungan telepon sepihak.
###
Sementara di sisi lain, Abraham tersenyum tipis. Dia tahu, cucunya bukan kerepotan karena susah. Pada akhirnya, sang cucu pasti menikmati hubungan dengan gadis belia bernama Elara itu.
"Bahrun, sebentar lagi kita bertemu. Tunggu aku," gumam Abraham.
Bahrun adalah Kakek Elara, yang kini sedang mengasingkan diri di sebuah kota terpencil.
Bersambung ...