Ruby Lauren dan Dominic Larsen terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan.
Apakah mereka akan berakhir dengan perpisahan? Atau sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenaBintang , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RUMAH KECIL
Di suatu tempat yang sekelilingnya penuh dengan semak-semak. Seorang pria bertopeng melangkah masuk ke dalam rumah kecil berwarna coklat gelap.
Begitu tiba di dalam, pria itu berdiri di hadapan seorang wanita. Wanita itu adalah Clarissa, kakaknya Ruby.
Clarissa membuka matanya perlahan. Pandangannya masih kabur, menyesuaikan diri dengan kegelapan di sekitarnya. Dia merasakan ikatan kuat di pergelangan tangan dan kakinya, menahannya pada sebuah kursi kayu tua. Bau anyir darah samar-samar tercium di udara.
"Di mana aku?" gumam Clarissa, dia merasa bingung dengan tempat yang belum pernah dilihatnya. "Terakhir sepertinya aku ada di gudang yang penuh dengan kapas."
Sebuah sosok berdiri di hadapannya, siluet samar di balik bayangan. Pria itu mengenakan topeng, menutupi seluruh wajahnya. Hanya sorot mata tajam yang mengintip dari balik lubang kecil pada topeng, memancarkan aura dingin dan mengancam. Clarissa berusaha keras untuk melihat dengan jelas, namun kegelapan dan kondisinya yang terikat membuatnya kesulitan.
Suara berat, serak, memecah kesunyian. "Ruby menolak," kata pria itu, suaranya terdengar seperti bisikan kematian. "Dia menolak untuk meracuni Dominic. Jadi, kaulah yang harus membayar harganya."
Clarissa menggelengkan kepalanya, tubuhnya gemetar hebat. Ketakutan mencengkeram jiwanya, namun bukan hanya ketakutan akan kematian yang dia rasakan. Dia lebih takut akan keselamatan Ruby. Bayangan adiknya itu terlintas di benaknya, menimbulkan gelombang kecemasan yang lebih besar.
"Tidak... tidak!" Clarissa berteriak, suaranya tertahan oleh rasa takut. "Kalian semua penjahat! Kalian... orang tua ku... di mana kedua orang tuaku?"
Suara pria itu kembali terdengar, dingin dan tanpa ampun. "Mereka sudah mati, Clarissa. Mereka menjadi korban dari permainan yang sama, mereka sudah membayar harganya. Sekarang ada giliranmu."
Kegelapan di ruangan itu seolah semakin pekat, menelan Clarissa dalam kesunyian yang mencekam. Dia terisak, ketakutan dan kesedihan bercampur menjadi satu. Dia menyadari, dia sendirian, terjebak dalam jebakan maut yang telah dirancang untuknya.
"Kau akan segera bertemu dengan kedua orang tuamu, Clarissa. Kalian akan bersenang-senang di Neraka. Jangan lupa beli minuman yang mahal," kata pria itu, diakhiri dengan tawa yang menyebalkan.
Clarissa merasakan setiap urat di tubuhnya menegang, matanya memancarkan amarah yang tak terbendung. "Lepaskan aku!" teriaknya dengan suara yang memecah kesunyian ruangan sempit itu.
Pria bertopeng di hadapannya hanya menatapnya dengan dingin, kemarahan yang terpendam mulai memuncak. Dengan gerakan cepat, pria itu meraih cambuk yang tergantung di dinding dan mengayunkannya dengan kekuatan penuh ke arah punggung Clarissa.
Setiap cambukan menghasilkan suara yang memekakkan telinga dan meninggalkan bekas yang memerah pada kulit Clarissa. Dia berusaha keras untuk menahan rasa sakit yang luar biasa, namun akhirnya kekuatannya terkuras.
Tubuhnya lemas, dan dengan mata yang berkunang-kunang, Clarissa pingsan. Pria bertopeng itu menghela napas, kemudian berbalik meninggalkan Clarissa yang tergeletak tak berdaya.
Dia mengarahkan pandangan tajam kepada penjaga yang berdiri di pintu. "Pastikan dia tidak bisa melarikan diri," perintahnya dengan suara yang tegas dan berat. Penjaga itu mengangguk patuh, mata mereka sama-sama menyimpan ketakutan dan kewaspadaan. Pria bertopeng itu pun pergi, meninggalkan Clarissa dalam kesunyian dan kegelapan rumah kecil itu.
...----------------...
Beberapa hari berlalu..
Dominic berdiri diam, mematung di balik jendela yang menghadap ke arah rumah kecil di belakang mansion. Setelah dia berbicara pada foto Elisa, Dominic tidak pernah lagi pergi ke rumah itu. Dia sudah berjanji akan meninggalkan masa lalu dan membuka lembaran baru.
Saat Dominic mengalihkan pandangannya ke arah lain, dia melihat Ruby yang sedang duduk di taman bersama salah satu pelayan. Matanya tak lepas dari sosok Ruby yang sibuk bicara di taman itu.
Walau hanya beberapa kata pernah terucap di antara mereka, hati Dominic selalu tergugah untuk memperhatikannya. Rasa ingin mengenal lebih dalam terbentur pada ketakutan bahwa Ruby mungkin salah paham, mengira dirinya mendadak berubah ingin berbuat baik. Dengan ragu, Dominic memainkan ujung kemejanya, menelan kata-kata yang ingin diucapkan.
"Tidak ada yang perlu kami bicarakan juga. memangnya apa yang harus aku bahas dengan Ruby?" gumam Dominic.
Ruby terlihat bangun dari duduknya. Dominic mengikuti langkahnya hingga wanita itu tak terlihat dari pandangannya.
Tidak lama kemudian, Ruby masuk ke dalam kamar. Dia mengedarkan pandangannya di dalam kamar itu. Ketika melihat Dominic berdiri di jendela, dia segera menghampiri pria itu.
"Dominic, di mana Robin? Aku membutuhkannya."
Dominic mengerutkan keningnya. "kenapa kau membutuhkan Robin?"
"Aku....... Umm, aku....." Ruby terlihat bingung melanjutkannya.
"Kau apa? Bicara yang benar!" Dominic terlihat jengkel.
"Aku mau meminta Robin mengantarku membeli tampon. Punyaku sudah habis, terakhir aku hanya membawa sedikit saja!"
"Ayo pergi," ajak Dominic.
Ruby mengerutkan keningnya. "Ke mana?"
"Membeli tampon," jawab Dominic dengan ketus.
"Tidak perlu, aku akan meminta Robin yang mengantarku saja," pungkas Ruby.
"Suamimu Robin atau aku?"
Ruby semakin heran. "Kau ini kenapa? Bukankah kau tidak suka denganku? Kenapa kau tiba-tiba—"
Belum selesai Ruby bicara, Dominic menyumpal mulut wanita itu dengan sepotong biskuit.
"Berisik!" sentaknya, menatap malas Ruby. "Cepat jalan! Apa perlu aku menyeretmu sampai ke mobil!?"
Ruby, meskipun masih terlihat bingung dengan Dominic, tetap mengikuti langkah pria itu. Dia menatap punggung Dominic, dalam benaknya terus bertanya apa yang terjadi pada pria dingin itu, sehingga kini mau mengantarnya membeli tampon.
Namun, Ruby merasa bahagia. Untuk pertama kalinya, setelah beberapa bulan menjadi istrinya Dominic, pria itu kini mau mengantarnya berbelanja.
**
Dominic dan Ruby tiba di pusat perbelanjaan. Di sana sangat lengkap, bahkan menjual tas dan pakaian, serta perlengkapan lainnya.
Dari jauh, Dominic melihat sebuah dompet berwarna pink, dia lalu mendekat dan menyambar dompet itu, kemudian membelinya.
"Aku tidak tahu pria bertato sepertimu menggunakan dompet berwarna pink," ucap Ruby tiba-tiba, dari arah belakang Dominic.
Dominic membalikkan tubuhnya dan menatap malas Ruby. Dengan gerakan tiba-tiba, dia menempelkan dompet itu ke wajah Ruby. "Ini untukmu," ucap Dominic dengan nada yang datar, namun ada semburat keseriusan di wajahnya yang biasanya dingin itu. "Aku merasa kasihan melihat kemiskinanmu. Kulit dompetmu juga sudah terkelupas, kau pasti tidak punya uang untuk membeli yang baru."
Ruby terkejut, matanya melebar sejenak melihat hadiah tak terduga itu. Meskipun kata-kata Dominic terdengar sedikit menyakitkan karena menyentil keadaannya, namun hatinya tidak bisa tidak merasa tersentuh.
Jantungnya berdebar lebih kencang, bercampur antara rasa jengkel karena dikasihani dan kebahagiaan karena diingat. Dia mengambil dompet itu dari tangan Dominic, merasakan tekstur kulitnya yang halus.
"Terima kasih, Dominic," kata Ruby dengan suara yang berusaha menstabilkan emosi yang bergejolak. Dia memandang Dominic dengan tatapan yang sulit diartikan, di mana tercampur rasa terima kasih dan sedikit kejengkelan.
Dominic hanya mengangguk singkat, memalingkan wajahnya saat melihat senyum Ruby yang mampu membuatnya berdebar.
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke toko-toko lain dan membeli apa saja yang Ruby butuhkan. Dominic juga mengatakan bahwa semua yang Ruby beli, akan dia bayarkan. Tentu hal itu membuat Ruby semakin bingung dan penasaran dengan sikap Dominic yang tiba-tiba berubah jadi sangat baik padanya.
...****************...