"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 | Mau Jalan Bareng ke Kantin?
Pagi itu terasa seperti pagi pada umumnya. Aku duduk di bangku paling belakang kelas, menatap jendela yang sedikit terbuka. Angin pagi berhembus masuk, membawa beberapa daun yang berguguran. Aku hanya terdiam, tenggelam dalam pikiranku, mencoba mengabaikan kebisingan di sekitar.
“Pagi, Aura ...” Suara Ryan menyapaku dengan santai. Ia baru saja masuk ke kelas dan langsung menuju bangkunya yang berada di sampingku.
Aku hanya melirik sekilas, kemudian kembali menatap jendela, berusaha mengabaikan kehadirannya.
“Aura! Aura …” Ia menyebut namaku lagi, kali ini dengan sedikit lebih keras.
Sepertinya ia merasa bahwa aku tidak mendengarnya tadi.
“Apa?” tanyaku dengan nada yang agak kesal, meskipun aku berusaha tidak menunjukkan perasaan itu.
“Akhirnya, kamu noleh juga,” jawab Ryan dengan senyum lebar, senyum yang hampir selalu ia tunjukkan kepada semua orang.
“Ada apa, Ryan?” tanyaku sambil memutar bola mata, merasa sedikit terganggu.
“Nggak, cuma manggil,” jawabnya sambil terkekeh, terlihat tidak merasa bersalah sedikit pun.
Aku menghela napas pelan dan kembali menatap keluar jendela. Angin yang semakin kencang membawa daun-daun kering yang berterbangan. Pemandangan itu sedikit menenangkan, meskipun aku tahu Ryan masih memerhatikanku dengan seksama.
“Tutup jendelanya,” katanya tiba-tiba, suaranya membuatku sedikit terkejut.
Aku menoleh dan melihatnya sudah merangkak di atas mejaku. Ya, dia naik ke atas mejaku dengan tidak tahu malu, membuatku amat sangat terkejut. Tanpa meminta izin, ia menutup jendela yang setengah terbuka itu.
“Nanti kelas kita kotor karena daun-daun yang masuk,” ujarnya dengan alasan yang, menurutku, terdengar sangat sepele.
Aku menatapnya dengan heran. “Ryan?!” aku tidak bisa menahan diri untuk berteriak.
Kenapa dia bisa begitu saja bertindak tanpa disuruh? Aku merasa sangat terganggu, tetapi suaraku terdengar lebih keras dari yang aku maksudkan. Seketika itu juga, seluruh kelas menoleh ke arah kami. Aku merasa malu, namun rasa kesal yang lebih besar justru semakin meluap.
Kenapa selalu saja aku yang terlihat berlebihan di depan kelas hanya karena perlakuan dia?
Kring!
Bel sekolah berbunyi, menandakan bahwa pelajaran akhirnya dimulai. Semua siswa segera duduk dengan tertib, dan aku merasa sedikit lega. Setidaknya, sekarang ada alasan yang jelas untuk fokus pada pelajaran.
“Sut! Jangan teriak-teriak...” Ryan akhirnya turun dari meja aku dengan santai.
Tentu saja, setelah membuat seisi kelas mengamati kami, ia berkata begitu tanpa rasa bersalah. Aku hanya mendengus, berusaha menahan rasa kesal yang masih menggelayuti. Aku kembali duduk dengan tenang, mencoba untuk fokus pada pelajaran yang baru dimulai.
...»»——⍟——««...
Selama pelajaran berlangsung, aku berusaha keras untuk tidak memperhatikan Ryan. Meskipun begitu, aku bisa merasakan pandangannya sesekali mengarah ke arahku.
Aku memilih untuk tidak menanggapi, mencoba tetap fokus pada materi pelajaran. Namun, entah mengapa, keberadaannya selalu mengganggu pikiranku. Sesekali aku merasa bahwa dia sedang mengamatiku, padahal ia seharusnya lebih memperhatikan pelajaran yang ada di depan.
Ketika bel berbunyi, menandakan bahwa jam istirahat telah dimulai, aku segera bergegas keluar kelas dengan membawa bekalku untuk menuju kantin. Suasana di sekitar sekolah yang mulai ramai membuatku sedikit lebih lega, meskipun aku tetap merasa agak gelisah setelah kejadian tadi pagi.
“Aura!” Suara Ryan memanggilku dengan cukup keras.
Aku terhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Tentu saja, aku tidak bisa mengabaikan panggilannya agar dia tidak mengusikku lebih jauh.
“Ada apa, Ryan?” tanyaku, mencoba menunjukkan ekspresi yang tenang meskipun di dalam hati aku merasa agak terkejut. Kenapa dia selalu datang dengan cara yang tak terduga?
Ryan tampak tersenyum lebar, seperti biasa, senyum yang selalu membuatnya terlihat begitu santai dan percaya diri.
“Mau jalan bareng ke kantin?” tanyanya dengan nada ringan, seakan-akan ajakan itu adalah hal yang paling biasa di dunia ini.
Aku terdiam sebentar, mencerna ajakannya. Biasanya, Ryan lebih suka bersama teman-temannya yang lain. Aku tidak pernah membayangkan bahwa dia akan mengajakku. Jujur saja, aku merasa canggung. Ada sesuatu yang belum aku pahami tentang hubungan kami.
“Aku … mau sendirian aja,” jawabku singkat, mencoba menghindar dari ketidaknyamanan yang mulai muncul.
Setelah mengucapkan itu, aku segera melanjutkan langkahku, meninggalkannya begitu saja. Entah kenapa, aku masih merasa belum siap untuk menerima kedekatannya. Ryan yang selalu datang tiba-tiba, membuatku merasa seperti sedang terjebak dalam situasi yang belum aku pahami sepenuhnya.
Saat aku berjalan menuju kantin, pikiranku kembali melayang ke peristiwa tadi pagi. Ryan memang bukan tipe orang yang bisa aku tebak. Kadang dia datang dengan cara yang sangat tidak terduga, seperti saat ia tiba-tiba berbicara kepadaku di kelas. Biasanya, aku bisa menjaga jarak, tapi kali ini rasanya berbeda. Aku mulai berpikir apakah aku telah memberikan kesan yang salah tentang diriku.
Sesampainya aku di kantin, suasana yang ramai semakin membuatku merasa terasing. Aku bisa merasakan mata-mata yang memandang ke arahku, dan kenangan tentang perlakuan Isabela tadi kemarin kembali menghantui pikiranku. Aku tak ingin duduk di tempat yang ramai. Aku butuh ketenangan, jadi aku memutuskan untuk mencari tempat yang lebih sepi.
Langkahku berhenti di tengah kantin, tepat di depan beberapa meja yang dipenuhi oleh teman-teman sekelas. Aku menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mencari tempat duduk yang lebih tenang. Namun, entah kenapa, rasanya seperti setiap tempat di kantin ini sudah dipenuhi dengan tatapan yang mengganggu. Aku merasa tidak nyaman di tengah keramaian seperti ini.
Tiba-tiba, suara seseorang terdengar di belakangku.
“Gimana kalau makan di taman belakang sekolah?” suara itu datang dengan nada santai, seakan tidak ada yang aneh dengan pertanyaannya.
Sosok yang tinggi itu melangkah mendekat, bayangannya menutupi wajahku. Aku mendongak, dan benar saja, itu Ryan. Aku merasa sedikit terkejut. Sejujurnya, aku tidak menduga bahwa ia akan muncul begitu saja di belakangku. Aku menatapnya, mencoba mengukur niatnya, namun ia tampak begitu santai, seperti biasa.
“Ryan?” tanyaku, merasa bingung dengan kehadirannya yang mendadak. “Kenapa kamu mengikuti aku?”
Ryan hanya tersenyum, terkekeh pelan, lalu menyilangkan lengannya di dada. Aku terdiam sejenak. Perasaan bingung semakin merasukiku. Apakah ini memang kebetulan atau memang dia sengaja mencari kesempatan untuk dekat denganku? Ada banyak hal yang belum aku pahami tentang Ryan, dan ini salah satunya.
“Aku nggak ngikutin kamu, kok. Emang nggak boleh kalau aku ke kantin?” jawabnya dengan nada santai, seolah tidak ada yang aneh dengan perilakunya.
Aku melihatnya lebih dekat. Wajahnya yang terlihat selalu percaya diri itu kini tampak lebih serius, meskipun senyum itu tidak pernah hilang. Kenapa ia selalu tampak begitu yakin dengan setiap tindakannya? Sementara aku, merasa ragu dan bingung sepanjang waktu.
Aku pun tidak tahu kenapa akhirnya aku mengangguk. Mungkin karena aku memang butuh suasana yang lebih tenang, atau mungkin karena aku merasa ada sesuatu yang mengikat kami.
...»»——⍟——««...