Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 - Kamu Itu Istriku, Hanya Kamu.
Malam pertama tanpa percum-buan, tanpa sentuhan apalagi pergumulan di atas tempat tidur berhasil Haura dapatkan sesuai rencana. Nyenyak sekali tidurnya, Haura menggeliat tatkala sinar mentari menembus ventilasi udara.
Perlahan dia memicing karena memang cahayanya cukup mengganggu. Tanpa ada Ervano di sebelahnya, Haura kembali menghela napas lega dan menyimpulkan bahwa mereka tidur di ranjang yang berbeda.
Sayangnya, kelegaan itu hanya sesaat. Semua seketika berubah tatkala Haura menunduk dan sadar bahwa pakaiannya sudah berbeda.
"Hah? Kapan aku ganti baju? Bukannya semalem_" Haura mencoba mengingat-ingat, barangkali dia memang lupa jika sempat mengganti pakaian sebelum tidur.
Namun, tidak peduli berapa kali pun dia mengingatnya tetap saja sama. Masih mencoba berpikir positif, Haura seketika teringat akan wanita yang ditugaskan Ervano untuk memenuhi kebutuhannya kemarin.
"Ah iya-iya, mungkin mereka yang menggantinya ... Papa bilang jangan kebiasaan berprasangka buruk, nanti jatuhnya fitnah ... iya, 'kan?" Haura bermonolog demi berusaha menenangkan diri sendiri.
Lebih yakin lagi, sewaktu dia mendapati wajahnya sudah terlihat bersih. "Benar, paling juga minta tolong, mana mungkin sutradara pikun itu mampu bersihin ginian," tambahnya kemudian.
Ya, tidak ingin sakit kepala karena terlalu menduga-duga, Haura menarik kesimpulan segera. Bergegas dia turun dari tempat tidur, tujuan utama tentu saja toilet demi memenuhi panggilan alam.
Tidak hanya itu, Haura juga bermaksud untuk membersihkan dirinya karena hari ini dia harus tetap memenuhi tanggung jawab terhadap brand yang menjadikannya Brand Ambassador.
Meski statusnya sudah menikah, Haura tidak lupa dan bertekad untuk tetap menjadi Haura yang sama. Adanya Ervano sebagai suami tidak bisa menjadi penghalang, terlebih lagi sebelum menikah tidak ada kesepakatan yang membuat Haura berhenti dari pekerjaan.
Dengan kata lain, tidak ada yang berubah dari Haura. Dia masih bersiap seperti biasa, mandi tanpa menyiksa diri dan cukup sampai segar saja.
Sampai selesai mandi semua masih berjalan dengan semestinya. Hingga, Haura berdecak sebal tatkala membuka lemari dan hanya dihadapkan dengan beberapa set pakaian tidur dengan warna senada di depannya.
"Dia cuma nyiapin baju tidur kah?" tanya Haura mulai frustrasi dan menatap ke arah pintu kamar dengan harapan Ervano segera datang padanya.
Tidak munafik, nyatanya hati kecil Haura seolah mengaku jika butuh Ervano di saat seperti ini. Akan tetapi, hatinya yang memang belum begitu berdamai memilih keluar dan bermaksud menyelesaikan masalahnya sendiri.
.
.
"Dasar pelit, bisa-bisanya cuma nyiapin baju tidur kodian begitu ... kalau tidak sanggup beliin, minimal ambil koperku yang_ euh?" Omelan Haura seketika terhenti begitu melihat begitu banyak paper bag yang terletak di atas meja.
Umpatan dan anggapan bahwa Ervano adalah pria pelit sontak terbantahkan detik itu juga. Perlahan mendekat, Haura memeriksa isinya barangkali tidak sesuai.
Satu persatu dia periksa, dan isinya benar nyata. Berbagai gaun, celana dan semacamnya dari brand terkenal yang kerap digunakan kaum menengah ke atas.
"Wuih kaya juga ternyata ... tapi bentar, ini untukku atau istrinya?" tanya Haura pada diri sendiri sebelum lancang mencoba.
Tidak ingin terlalu percaya diri, Haura sadar betul siapa suaminya. Mengingat hal itu, hati Haura mendadak panas dan lagi-lagi mengomel di luar batas.
"Ih, dasar pilih kasih, kalau sekiranya tidak bisa bersikap adil ngapain nikah lagi, Ervano," kesal Haura sembari menendang salah-satu paper bag yang ada di sana sampai terpental cukup jauh.
Tanpa terduga, di waktu yang sama Ervano datang dari arah berlawanan dan memungutnya sebelum kemudian menghampiri Haura.
Sembari menghela napas panjang, Ervano terus menatap ke arah Haura yang tengah bersedekap dada dengan rambut basah dan bathrobe membalut tubuh indahnya.
"Sudah mandi?" tanya Ervano basa-basi dan meletakkan paper bag yang tadi ke tempatnya.
Pertanyaan Ervano tak Haura jawab, dia memilih bungkam dan memalingkan muka karena benar mengira Ervano pilih kasih padanya.
"Rambut_"
"Eits!! Jangan pegang-pegang," ketus Haura menepis tangan Ervano yang hendak menyentuh rambutnya.
Kembali Ervano tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat sampai Haura tidak bisa menyimpulkan Ervano bagaimana.
"Rambutnya basah, mau aku bantu keringkan?" tanya Ervano lembut, padahal baru saja dikasari.
"Tidak usah, mending ambil koperku saja," ucap Haura masih terus menatap nanar ke depan dan tidak bersedia menatap lawan bicaranya.
"Nanti sore, pihak hotel yang antar ke sini."
"Ih mana bisa!! Aku mau kerja, hari ini mulai syutingnya."
Tanpa menjawab, Ervano duduk di atas sofa sembari menatap Haura yang tengah berdiri di hadapannya.
"Malah duduk, ini gimana jadinya?" protes Haura sebal sendiri sampai menghentakkan kakinya.
"Apanya yang gimana?" Ervano balik bertanya dan jelas Haura semakin kesal saja.
"Bajuku, masa pakai beginian?! Malu lah, Pak!!"
Emosi istrinya terlihat tidak stabil, tapi Ervano sesabar itu dan menanggapinya dengan sangat tenang. "Pakaian sebanyak ini di depanmu masih bingung? Bingung pakai yang mana atau bingung cara pakainya? Hem?"
"Oh? I-ini untukku?" Haura memerah, bukan hanya karena pertanyaan Ervano yang terdengar seperti jebakan, tapi juga malu akan sikapnya tadi.
"Hem, untukmu."
"Semuanya?" tanya Haura menatap Ervano penuh keraguan.
"Iya, aku tidak tahu mana yang kamu sukai ... pilih sendiri saja."
"Oh, kirain buat istrimu." Haura bergumam pelan.
"Ya memang, itu untuk istri," sahut Ervano sontak membuat Haura mengurungkan niatnya.
Wajahnya kembali berubah, dia menatap tajam Ervano. "Gimana sih? Jadi ini buat siapa sebenarnya? Katanya buat aku, kenapa sekarang berubah?"
"Berubah apanya? Kan memang untukmu, Haura," papar Ervano disertai helaan napas kasar.
"Terus kenapa barusan bilang buat istrimu?"
Ervano yang tadi duduk diam sontak berdiri dan melangkah hingga kembali berada di hadapan Haura. Perlahan mengikis jarak dan secara terang-terangan meraih dagu sang istri agar Haura bersedia menatap wajahnya.
"Sepertinya kamu belum terlalu sadar ya."
"Sa-sadar apa?" tanya Haura gugup setengah mati karena ini kali pertama Ervano bicara dengan jarak begitu dekat saat berdua.
Tak segera menjawab, Ervano masih terus menatap wajah cantik Haura lekat-lekat sebelum kemudian menjawab. "Kamu itu istriku, Ra, hanya kamu, jelas?"
Usai membuat Haura ketar-ketir, Ervano berlalu meninggalkan sang istri yang kini kembali menerka-nerka apa maksud ucapan Ervano yang terakhir. "Hanya kamu? Dia lupa statusnya apa gimana? Atau mungkin tidak menganggap keberadaan istri pertama? Kalau sampai iya, sungguh durjana, suami macam apa itu?"
.
.
- To Be Continued -
Abimanyu : Tidak menerima refund, Van, nikmati pahitnya sendiri.
dan Sukses selalu thor....