"No way! Ngga akan pernah. Gue ngga sudi punya keturunan dari wanita rendahan seperti Dia. Kalau Dia sampai hamil nanti, Gue sendiri yang akan nyingkirin bayi sialan itu dengan tangan gue sendiri. Lagipula perempuan itu pernah hamil dengan cara licik! Untungnya nyokap gue dan Alexa berhasil bikin Wanita sialan itu keguguran!"
Kalimat kejam keluar dengan lincah dari bibir Axel, membawa pedang yang menusuk hati Azizah.
Klontang!!!
Suara benda jatuh itu mengejutkan Axel dan kawan-kawannya yang tengah serius berbincang.
Azizah melangkah mundur, bersembunyi dibalik pembatas dinding dengan tubuh bergetar.
Jadi selama ini, pernikahan yang dia agung-agungkan itu hanyalah kepalsuan??
Hari itu, Azizah membuat keputusan besar dalam hidupnya, meninggalkan Suaminya, meninggalkan neraka berbalut pernikahan bersama dengan bayi yang baru tumbuh di dalam rahimnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maufy Izha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maaf Aku Menyerah
Azizah POV
Aku baru saja turun dari Grabcar yang Aku tumpangi. Akhirnya Aku kembali lagi kesini, Rumah Sakit.
Tadinya Aku berfikir untuk menyembunyikan kepergianku pada Kakek. Tapi Aku sadar bahwa suatu saat kakek pasti akan kecewa padaku.
Jadi, Aku putuskan untuk memberitahu Kakek semuanya, termasuk kehamilan ini. Beliau berhak tahu, karena Bayi ini adalah cicitnya.
Aku menitipkan barang-barangku di meja resepsionis. Kebetulan Aku sudah cukup akrab dengan para nakes di rumah sakit ini, karena setiap Minggu Aku akan menjenguk kakek bahkan terkadang Aku menginap.
Tak disangka, saat hampir sampai di ruang perawatan Kakek, Aku berpapasan dengan Ibu mertuaku yang.... sangat membenciku.
"Kau lagi, Kau lagi, Kuakui Kau sangat gigih dan tekun dalam mengambil hati Ayahku. Tapi jangan harap Kau akan mendapatkan sepeserpun nanti, Pelacur!'
Deg, Hatiku sakit. Ibu mertuaku memang memiliki julukan khusus untukku, pelacur. Meski sudah sering mendengar kalimat pedih itu hatiku tetap saja merasa sakit. Tapi kali ini mataku tidak memanas. Mungkin karena air mata yang ku keluarkan sudah berada di tahap overdosis, jadi sumbernya bisa jadi sudah mengering hingga Aku tidak bisa lagi menangis.
Aku tetap menatapnya dengan tenang, tapi kali ini rasa hormat dan sayangku sudah menguap. Jadi Aku hanya menyisakan perasaan dingin di hatiku.
"Maaf Nyonya, karena Saya sudah banyak membuat kesulitan untuk Anda dan Putra Anda. Anda tidak perlu khawatir, karena ini terakhir kalinya saya datang kemari. Anda boleh memegang janji Saya. Jadi Saya mohon pada Anda, izinkan saya bertemu dengan Kakek untuk berpamitan"
Aku melihat dahinya berkerut terkejut. Mungkin karena Dia berfikir bahwa aku akan membungkuk dan beramah-tamah seperti biasanya. Tidak. Aku sudah berubah. Aku bukan lagi Azizah yang idiot dan pendek akal seperti dulu.
Setelah terpaku beberapa saat, Ibu mertuaku kemudian berkata dengan sinis,
"Baguslah kalau kamu tahu diri, Aku akan memegang kata-katamu, pergilah dan jangan pernah kembali"
Aku tersenyum dingin dan membalas tatapannya dengan berani,
"Jangan khawatir Nyonya, Aku adalah orang yang tepat janji. Jadi, bisakah Aku menemui kakek Adhitama sekarang?"
Aku berjalan melewatinya dengan kepala tegak. Meskipun Aku miskin dan tidak memiliki garis keturunan darah biru, Aku punya harga diri dan akan aku junjung tinggi harga diriku yang masih tersisa. Tidak akan aku biarkan mereka menginjak-injaknya lagi.
Ceklek...
"Kakek..."
Aku yang tadinya sangat kuat dan yakin bahwa Aku bisa mengatakan semuanya dengan tegar kini mulai goyah saat melihat wajah sepuhnya yang pucat dengan mata terpejam.
Aku menghampirinya, menaikkan selimutnya yang sedikit tersibak hingga menutupi bagian perut pria berusia 75 tahun itu.
"Maaf...."
Hanya itu yang mampu keluar dari bibirku. Aku duduk di samping Kakek seraya menyentuh jemarinya yang sudah sangat keriput. Tubuhnya semakin kurus. Melihat kondisinya Aku merasa semakin terbebani. Apakah Aku sanggup menyampaikan keinginanku untuk pergi?
Tanganku terus bergerak, memberikan pijatan lembut pada lengan kurusnya, Mungkin karena belum terlelap Kakekpun terbangun.
"Azizah..."
"Assalamualaikum Kek..."
Aku mencoba tersenyum. Aku yakin kakek akan menerima keputusanku.
"Waalaikumsalam, Ini sudah malam nak, Kenapa Kamu disini?"
Dia bertanya dengan riang, semburat cahaya kebahagiaan muncul di wajahnya.
"Aku ingin menemani Kakek"
Jawabku, yang sesungguhnya masih terus meyakinkan diri dan mengumpulkan keberanian untuk membahas masalahku itu.
"Azizah..."
Panggil kakek. Matanya menatap sendu ke arahku. Aku merasa Beliau sudah mengetahui jika Aku mempunyai masalah. Aku juga menatapnya, tanpa sadar Aku menangis.
"Maaf Kek, Aku menyerah"
Aku berkata tersendat-sendat diiringi isakan tangisku.
"Menyerah?"
Kakek bertanya, keningnya sedikit berkerut. Aku menelan ludah pelan.
"Aku menyerah dengan pernikahanku kek, Aku sudah berjuang selama 4 tahun untuk mencairkan hati suamiku yang dingin seperti es. Aku berusaha sekuat tenaga sampai tidak pernah merasa lelah, Tapi sekarang Aku sadar jika semuanya... sia-sia Kek, Suamiku tidak akan pernah mencintaiku"
Aku menunduk, sama sekali tidak mampu untuk menatap mata Kakek. Aku sadar bahwa Aku telah menorehkan luka di hatinya.
"Aku mengerti" Ucap Kakek lirih tapi masih bisa ku dengar, membuatku mendongak seketika.
"Kakek?" Bukan kelegaan yang Aku rasakan, melainkan rasa bersalah yang seolah menggerogoti tubuhku hingga habis.
"Aku sudah mengetahui segalanya bahkan sejak awal nak, Aku yang seharusnya minta maaf, telah membuatmu menderita selama menjadi istri cucuku yang biadab itu"
Kakek nampak berkaca-kaca, Beliau lalu tersenyum lembut seraya mengusap rambutku.
"Pergilah Nak, kejarlah kebahagiaanmu sendiri, Aku merestui keputusanmu. Bukan Kamu yang tidak pantas untuk cucuku, tapi Dia yang tidak layak untukmu"
"Kakek... Maaf, maaf sudah mengecewakanmu"
"Tidak Nak, Kamu sudah berkorban banyak. Akulah yang seharusnya meminta ampunanmu, menceburkanmu kedalam neraka yang dibuat oleh Cucuku sendiri. Aku yakin Axel pasti akan menyesalinya seumur hidup karena melepas berlian sepertimu"
Aku melihat sebulir bening membasahi kedua kelopaknya yang keriput, Aku mengusapnya pelan dan berkata,
"Terima kasih Kek, Aku juga memiliki kabar bahagia untukmu"
Aku kemudian menyentuh perutku yang masih rata dan memberitahunya bahwa Aku tengah mengandung.
"Kakek akan segera menjadi buyut. Jadi tetaplah sehat. Aku dan Anakku akan mengunjungimu suatu saat nanti"
Aku menangis saat melihatnya menatapku penuh haru juga bahagia hingga tampak tubuhnya ikut bergetar karena menangis tersedu-sedu.
"Aku akan sehat Nak, Aku akan rajin minum obat dan menuruti semua perintah Dokter, Aku ingin melihat Cicitku dan memanggilku Eyang buyut"
Ucapnya seraya tertawa di sela-sela tangisnya. Aku mengangguk mantap kemudian mengambil janjinya.
"Aku memegang janji Kakek, Aku juga berjanji akan menjaga cicit kakek dengan baik. Tunggulah Kami"
Kakek mengangguk dan tersenyum.
"Kemana Kamu akan pergi?" Tanyanya. Aku tersenyum dan menjawab,
"Ke Tempat yang tidak ada seorangpun mengenalku"
Aku tersenyum pedih begitu juga dengan Kakek, Beliau ikut tersenyum namun sorot kesedihan tidak bisa terelakkan.
Kami adalah Keluarga yang terbentuk atas dasar kasih, Meski tak memiliki hubungan darah, Tapi Kakek Adhitama adalah orang yang sangat berjasa sekaligus berarti dalam hidupku. Kebaikannya tak akan pernah Aku lupakan.
Malam itu, Aku menghabiskan malam terakhirku berada di Kota ini, berbagi cerita dengan kakek untuk kami jadikan kenangan indah dalam memori yang akan melekat di setiap hari-hari kami nanti.
Sampai esok harinya tiba, Aku meninggalkan Rumah Sakit sebelum kakek terbangun. Sungguh Aku mungkin tak akan sanggup bahkan bisa berubah pikiran jika melihatnya nanti saat melepas kepergianku.
Aku memainkan Handphone yang baru Aku beli saat perjalanan pulang kemarin. Handphone yang sebelumnya kupakai adalah pemberian dari Axel. Aku sama sekali tidak ingin berhutang apapun lagi padanya.
Bahkan uang yang pernah Aku pinjam untuk pengobatan Ibuku dikampung sudah aku kembalikan sebagian. Aku sudah meninggalkan sepucuk surat di dalam kotak yang ku titipkan pada Bu Willy yang isinya seputar hutang dan juga jumlah saldo rekening yang berasal dari sisa uang belanja yang Ia berikan setiap bulan.
Selama 2 tahun terakhir, Aku menggunakan uang pribadiku hasil berjualan untuk makan dan membeli kebutuhan. Aku hanya memakai uang yang dikirimkan oleh sekretaris Axel untuk membayar listrik, Air dan keperluan mendesak lainnya. Karena Axel juga tidak mengirim uang tepat waktu jadi Aku memang sudah terbiasa mencari penghasilan sendiri untuk makan.
Sementara Rumah, Aku tidak pernah membayarnya, Rumah itu sepertinya memang sudah di sewa Axel untuk waktu yang lama, atau mungkin selamanya, untuk membuangku dalam hidupnya.
axel harus menyesali seumur hidupnya