Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.
Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian
Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Bab 17: Secercah Harapan
Jam menunjukkan pukul 12 malam. Cahaya redup dari lampu ruang rawat menerangi wajah lelah Amara, Mas Radit, dan Ibu Maya. Ketiganya duduk berdampingan di samping ranjang, mata mereka tertuju pada ayah Amara yang terbaring lemah. Ketegangan yang menyelimuti mereka selama berjam-jam perlahan mulai mereda, digantikan oleh rasa lega yang perlahan-lahan muncul.
Sejak pagi, ayah Amara tak sadarkan diri. Kondisinya kritis, dan dokter mengatakan bahwa peluangnya untuk bertahan hidup sangat kecil. Amara, Ibu Maya, dan Mas Radit bergantian berjaga di samping ranjang, berdoa dan berharap keajaiban terjadi.
"Amara...," bisik Ibu Maya, suaranya sedikit bergetar, namun kali ini, getarannya bukan lagi karena ketakutan, melainkan karena kelegaan yang mulai terasa. "Lihat... Ayahmu... Dia..."
Amara tersentak, matanya langsung tertuju pada ayahnya. Dia melihat ayahnya menggerakkan bibirnya, matanya berkedip perlahan.
"Ayah... Ayah...," lirih Amara, suaranya bergetar penuh haru, namun kini getarannya diiringi oleh secercah harapan.
Mas Radit juga tersentak, matanya berkaca-kaca, namun kali ini, air matanya bukan lagi karena keputusasaan, melainkan karena kelegaan yang tak terbendung. "Dia... Dia sadar?"
"Ya, Mas," jawab Ibu Maya, suaranya penuh kelegaan, "Dia sudah sadar."
Seorang dokter berjas putih masuk ke ruangan, membawa sebuah alat medis di tangannya. "Selamat malam," sapa dokter itu. "Saya dokter yang menangani pasien ini. Bagaimana keadaannya?"
"Dokter... Ayah saya... Dia... ," Amara tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Air matanya mengalir deras, namun kali ini, air matanya lebih banyak diiringi oleh rasa syukur.
"Tenang, Nona," kata dokter itu, suaranya lembut. "Pasien sudah sadar. Kondisinya sudah membaik. Tapi, kita harus berhati-hati. Pasien masih dalam masa pemulihan. Jangan dulu diajak bicara."
Amara, Ibu Maya, dan Mas Radit saling berpandangan, wajah mereka dipenuhi rasa syukur dan kelegaan. Mereka tak percaya, keajaiban terjadi. Ayah Amara selamat.
"Terima kasih, Dokter," kata Ibu Maya, suaranya bergetar, namun kali ini, getarannya bukan lagi karena ketakutan, melainkan karena rasa syukur yang mendalam. "Terima kasih. Kami sangat bersyukur."
"Sama-sama," jawab dokter itu. "Saya akan memeriksa pasien lagi besok pagi. Silahkan istirahat."
Dokter itu keluar dari ruangan, meninggalkan Amara, Ibu Maya, dan Mas Radit yang masih terpaku di tempat. Mereka saling berpelukan, air mata mereka mengalir deras, namun kali ini, air mata mereka lebih banyak diiringi oleh rasa syukur dan kelegaan.
"Ayah...," lirih Amara, suaranya bergetar, namun kali ini, getarannya bukan lagi karena ketakutan, melainkan karena rasa syukur yang tak terhingga. "Ayah... Aku sangat senang kau baik-baik saja."
"Ya, Amara," jawab Ibu Maya, suaranya bergetar, namun kali ini, getarannya bukan lagi karena ketakutan, melainkan karena rasa syukur yang mendalam. "Kita semua sangat senang."
Mas Radit juga memeluk Amara dan Ibu Maya, hatinya dipenuhi rasa syukur. "Kita harus bersyukur, Amara. Ayahmu... Dia... Dia akan baik-baik saja."
Amara mengangguk, matanya tertuju pada ayahnya yang terbaring lemah. Dia masih merasa khawatir, tapi dia juga merasa sangat lega. Ayahnya masih hidup. Dia masih memiliki kesempatan untuk bersama ayahnya.
"Ayah...," lirih Amara, suaranya bergetar, namun kali ini, getarannya bukan lagi karena ketakutan, melainkan karena rasa sayang yang mendalam. "Aku sayang padamu."
Amara menggenggam tangan ayahnya, merasakan kehangatan tubuhnya. Dia berjanji pada dirinya sendiri, dia akan selalu menjaga ayahnya, akan selalu menjadi tempat bergantung baginya. Dia akan terus berjuang, meskipun rintangan hidup menantinya.
Mas Radit dan Ibu Maya juga menggenggam tangan ayah Amara, wajah mereka dipenuhi rasa syukur dan kelegaan. Mereka tahu, perjalanan mereka masih panjang. Tapi, mereka yakin, dengan kekuatan doa dan cinta, mereka akan melewati semua rintangan.
******
"Ibu...," lirih Amara, suaranya bergetar, "Bagaimana dengan Mira? Dia sudah menjenguk Ayah?"
Ibu Maya menghela napas, matanya berkaca-kaca. "Mira... Dia... Dia sedang jalan-jalan dengan teman-temannya. Dia bilang, dia tidak mau mengganggu Ayah."
Amara terdiam, matanya membulat, rahangnya mengeras. Kata-kata ibunya seperti menusuk hatinya. Dia tak percaya Mira bisa bersikap seperti itu. Ayahnya sedang sakit, dan dia malah asyik jalan-jalan dengan teman-temannya?
"Tidak mau mengganggu Ayah?" Amara mengulang kalimat ibunya, suaranya meninggi, "Bagaimana bisa dia berkata seperti itu? Ayahnya sedang sakit, Ibu! Dia harusnya berada di sini, merawat Ayah!"
Suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca. Rasa kecewa dan amarah bercampur aduk dalam dirinya. Bagaimana bisa Mira, adiknya sendiri, bersikap begitu tega?
"Amara... ," Ibu Maya berusaha menenangkan Amara, "Jangan marah. Mira... Dia masih muda. Dia belum mengerti."
"Belum mengerti? Ibu! Dia sudah dewasa! Dia sudah berumur 20 tahun! Bagaimana bisa dia tidak peduli dengan keadaan Ayah? Ayahnya sedang sakit, Ibu! Dia harusnya berada di sini, merawat Ayah!" Amara semakin emosi, suaranya bergetar tak terkendali.
Tangannya mengepal erat, rahangnya mengeras. Dia merasa sangat marah dan kecewa. Bagaimana bisa Mira, adiknya sendiri, bersikap begitu tega?
Mas Radit yang selama ini hanya diam, akhirnya angkat bicara. "Amara... Tenanglah. Mira... Dia memang begitu. Dia selalu egois. Dia hanya peduli dengan dirinya sendiri."
"Tapi... Ayahnya sedang sakit, Mas! Bagaimana bisa dia begitu tega?" Amara tak bisa menahan air matanya. "Dia... Dia... ," Amara terisak.
Ibu Maya memeluk Amara erat-erat, berusaha menenangkannya. "Amara... Jangan sedih. Ayahmu... Dia akan baik-baik saja. Kita harus kuat. Kita harus terus berdoa."
"Ibu... ," Amara terisak, "Aku... Aku sangat sedih. Aku... Aku ingin Mira berada di sini, merawat Ayah."
Mas Radit juga ikut memeluk Amara. "Amara... Tenanglah. Kita akan selalu ada untukmu. Kita akan selalu bersamamu."
Amara terdiam, air matanya masih mengalir deras. Dia merasa sangat sedih dan kecewa. Dia tak menyangka, Mira bisa begitu tega pada ayahnya.
"Ibu... ," lirih Amara, "Aku... Aku ingin melihat Ayah."
Ibu Maya mengusap air mata Amara, "Ya, sayang. Kita akan menjenguk Ayah."
Amara mengangguk, matanya masih berkaca-kaca. Dia berjanji pada dirinya sendiri, dia akan selalu menjaga ayahnya, akan selalu menjadi tempat bergantung baginya. Dia akan terus berjuang, meskipun rintangan hidup menantinya.
******
"Ibu, aku pamit pulang dulu ya," kata Amara, suaranya sedikit serak. "Aku capek, dan aku harus siap-siap untuk bekerja besok."
Ibu Maya mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Ya, sayang. Istirahat yang cukup. Besok kamu datang lagi ya?"
"Tentu, Bu. Besok aku akan datang lagi, setelah aku pulang kerja," jawab Amara, matanya tertuju pada ayahnya yang terbaring lemah di ranjang. "Aku akan menjaganya."
"Ya, sayang. Kamu jaga dirimu baik-baik," kata Ibu Maya, suaranya lembut. "Ayahmu akan baik-baik saja."
Amara mengangguk, matanya berkaca-kaca. Dia memeluk ibunya erat-erat, merasakan kehangatan tubuhnya.
"Ibu... ," lirih Amara, "Aku sayang Ibu."
"Ibu juga sayang kamu, Amara," jawab Ibu Maya, suaranya bergetar. "Jaga dirimu baik-baik."
Amara melepaskan pelukannya, dan mendekat ke ranjang tempat ayahnya terbaring. Dia menggenggam tangan ayahnya, merasakan kehangatan tubuhnya.
"Ayah... ," lirih Amara, "Aku sayang Ayah. Aku akan datang lagi besok."
Ayah Amara hanya tersenyum lemah, matanya berkaca-kaca. Dia menggenggam tangan Amara erat-erat, menunjukkan rasa sayangnya.
Amara tersenyum, hatinya dipenuhi rasa lega dan syukur. Ayahnya masih hidup. Dia masih memiliki kesempatan untuk bersama ayahnya.
"Aku akan menjagamu, Ayah," bisik Amara, suaranya bergetar. "Aku akan selalu ada untukmu."
Amara mencium kening ayahnya, dan berpamitan pada Ibu Maya dan Mas Radit. Dia melangkah keluar dari ruangan, hatinya dipenuhi rasa lega dan syukur. Dia yakin, ayahnya akan baik-baik saja.
"Aku akan datang lagi besok, Ayah," bisik Amara, sambil melambaikan tangan kepada ayahnya. "Aku akan selalu menjagamu."