Terlalu sering memecat sekretaris dengan alasan kinerjanya kurang dan tidak profesional dalam bekerja, Bryan sampai 4 kali mengganti sekretaris. Entah sekretaris seperti apa yang di inginkan oleh Bryan.
Melihat putranya bersikap seperti itu, Shaka berinisiatif mengirimkan karyawan terbaiknya di perusahaan untuk di jadikan sekretaris putranya.
Siapa sangka wanita yang dikirim oleh Daddynya adalah teman satu sekolahnya.
Sambungan dari novel "Kontrak 365 Hari"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Annelise menghela nafas berat sembari mendudukkan diri di depan meja rias. Selama 3 tahun bekerja di bidang yang dia sukai, yaitu bekerja di perusahaan besar, baru kali ini Annelise merasakan tidak semangat ketika akan berangkat bekerja. Wajahnya tampak kusut seperti jemuran yang hanya di tumpuk-tumpuk tanpa di setrika. Padahal dia baru saja selesai mandi, rambutnya juga masih setengah basah bekas keramas. Seharusnya Annelise keluar dari kamar mandi dengan keadaan fresh dan semangat, bukan kebalikannya.
"Si kutub utara itu kenapa hanya bisa merusak mood ku saja. Belum genap 2 minggu bekerja, rasanya sudah tidak betah menghadapi sikap randomnya yang di luar nalar manusia. Pria itu lebih mirip titisan beruang kutub daripada titisan Pak Shaka dan Bu Jihan." Annelise menggerutu sendiri di depan kaca sembari mengoleskan make up di wajahnya.
Kalau di pikir-pikir, ucapan Annelise ada benarnya juga. Dengan sikap Bryan yang dingin, cuek dan terkadang sangat galak, Bryan sudah mirip seperti beruang kutub. Secara tampilan fisik juga ada sedikit kemiripan, Sama-sama putih dan memiliki sorot mata yang tajam.
Tokk,, tokk,, tokk,,,
Annelise segera beranjak dari duduknya ketika mendengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya. Pintu kamarnya memang di kunci sejak semalam, Annelise belum keluar dari kamarnya sampai saat ini.
"Anne,, kenapa kamu tidak cerita pada Bibi soal pekerjaanmu sekarang.?" Pertanyaan itu langsung di todongkan pada Annelise saat baru saja membuka pintu.
Wanita berparas cantik itu tampak menghela nafas. Dia seperti sudah sangat malas dengan wanita paruh baya itu. Wanita yang tak lain adalah Kakak kandung dari mendiang Ayah Annelise.
"Bibi, sejak kapan Bibi peduli dengan pekerjaan ku.? Bukankah yang paling penting adalah uang bulanan dariku lancar.?" Annelise berkata datar namun penuh penekanan. Tujuannya untuk menyindir dan menyadarkan sang Bibi bahwa apa yang dia lakukan tidak mencerminkan seorang Bibi terhadap keponakannya yang sudah menjadi yatim-piatu.
Dulu ketika Annelise kehilangan kedua orang tuanya sekaligus dalam tragedi kecelakaan, dia hanya seorang remaja yang masih membutuhkan kasih sayang dan peran orang tua sebagai tempat berkeluh kesah dan berlindung.
Seharusnya keberadaan Bibi dan Pamannya bisa menggantikan peran orang tua untuk Annelise yang kala itu masih remaja. Namun pada kenyataannya tidak ada yang bisa Annelise harapkan dari Bibi dan Pamannya.
Sekarang Annelise paham kenapa dulu Bibinya sangat ingin mengasuh dan mengajaknya tinggal bersama, ternyata hanya untuk menjadikannya alat penghasil uang. Apalagi mereka jadi bisa tinggal di rumah peninggalan orang tua Annelise yang lumayan besar ini.
"Kamu ini bicara apa. Dulu Bibi sudah tau pekerjaan dan posisi kamu di perusahaan, jadi Bibi tidak bertanya lagi. Sekarang kamu sudah pindah perusahaan dan posisi kamu jauh lebih tinggi dari sebelumnya." Ujarnya santai.
"Bibi dengar, Bos kamu masih mudah dan belum menikah. Annelise, kamu sangat beruntung mendapatkan kesempatan itu. Kamu bisa mendekatinya." Ucapnya dengan raut wajah dan nada bicara yang antusias.
Annelise cukup syok mendengarnya, dia bukan orang bodoh yang tidak paham maksud sang Bibi.
"Bibi, aku tidak ada bakat menjadi wanita penggoda. Lagipula bos-bos besar hanya tertarik pada wanita yang sederajat dengannya. Kalau Bibi berfikir aku bisa menarik perhatian Bos ku, itu salah besar." Annelise lantas segera pamit masuk ke kamarnya lagi, dia mengambil ponsel dan memasukkannya ke dalam tas, lalu bergegas keluar kamar lagi.
"Anne, kamu bisa hidup enak dengan menikah dengan bos mu. Harusnya kamu setuju dengan pemikiran Bibi." Ujar Nani sambil mengekori Jasmine yang menuruni anak tangga.
"Aku bisa hidup enak dengan usaha dan kerja kerasku sendiri, tidak perlu menjadi murahan di depan orang kaya." Jawab Annelise sebal.
"Aku berangkat dulu." Annelise berlalu begitu saja, dia bahkan melewatkan sarapan paginya karna sudah tidak selera lagi.
Pagi ini moodnya benar-benar buruk. Dia sudah kesal memikirkan sikap Bryan, sekarang malah di tambah lagi dengan sikap rakus Bibinya yang hanya memikirkan uang dan uang.
...******...
Bryan tiba di perusahaan pukul 7.30. Hari ini dia datang lebih awal dari biasanya, sebab ada file yang tertinggal yang harus dia cek untuk di kirim pagi ini.
Saat melewati ruangan sekretaris yang hanya berdinding kaca transparan, Bryan reflek menghentikan langkah lantaran melihat Annelise sudah duduk di sana dan terlihat sedang sarapan. Wanita berambut panjang itu fokus makan tanpa menyadari keadaan disekelilingnya.
Bryan berdecak pelan ketika baru sadar dirinya terlalu lama menatap Annelise. Dengan langkah tegap dan pandangan lurus ke depan, Bryan beranjak dari sana.
Sampainya di ruangan kerjanya, Bryan langsung memeriksa file itu dan segera mengirimkannya pada Felix. Butuh sekitar 20 menit untuk menyelesaikan pekerjaannya.
File yang dia kirim lewat email sudah berhasil di kirim. Namun jari telunjuk Bryan masih bergerak-gerak di atas keyboard dengan gerakan mengetuk.
Dia sedang mencari alasan agar bisa memerintahkan Annelise ikut ke Batam dengannya.
"Lihat saja, aku pastikan kamu bertekuk lutut padaku karna sudah berani menolak tawaran ku.!" Gumamnya dalam hati.
Seketika Bryan meraih telfon kantor dna menghubungkannya ke ruangan Annelise.
"Ke ruangan ku sekarang.!" Titahnya. Tanpa basi-basi, Bryan langsung menutup telfon sebelum Annelise menjawab.
Jelas saja wajah Annelise semakin masam dan cemberut di sebelah sana. Wanita itu berdiri dari duduknya dengan menghentakkan kaki dan berjalan menuju ruangan sang Bos.
Annelise mengetuk pintu terlebih dulu sebelum masuk ke dalam ruangan. Dia menormalkan ekspresinya dan berusaha untuk profesional selama berada di perusahaan meski sebenarnya sangat malas berhadapan dengan Bryan.
"Pak Bryan butuh sesuatu.?" Tanya Annelise ramah, walaupun wajah Bryan tampak menjengkelkan.
"Minggu depan kamu ikut saya ke Batam. Saya tidak bisa meng-handlenya sendirian karna harus menghadiri beberapa rapat penting di sana.!" Ujarnya tegas.
Annelise hampir saja melayangkan protes, namun dia ingat dengan kata-kata profesional dalam bekerja. Jabatannya hanya sebagai sekretaris, jadi sebisa mungkin harus patuh dengan perintah atasannya selama masih berkaitan dengan pekerjaan.
"Baik Pak." Annelise menjawab singkat. Jawaban yang sebenarnya tidak di harapkan Bryan. Sebab raut wajahnya Bryan menunjukkan kekesalan. Mungkin karna Annelise sangat patuh ketika bekerja, tapi berani membantahnya di luar perusahaan.
"Apa ada lagi yang ingin Pak Bryan sampaikan.?" Tanya Annelise sopan.
"Ini.!" Dengan sedikit menggebrak meja, Bryan menyodorkan undangan makan malam dari Mommynya untuk Annelise.
"Nanti malam datang ke rumah, Orang tuaku ingin mengundangmu." Tutur Bryan datar.
Annelise meraih undangan itu. Undangan dengan judul Wedding Anniversary ke 28 tahun.
"Terimakasih, saya akan usahakan datang."
"Kalau begitu saya permisi." Annelise pamit sopan dan segera keluar dari ruangan Bryan.
"Bisa-bisanya tidak membahas hal itu.!" Geram Bryan. Dia kesal sendiri karna Annelise tidak membahas soal tawarannya beberapa hari lalu. Sepertinya Bryan masih berfikir bahwa Annelise sama saja seperti wanita di luaran sana yang akan tertarik jika di iming-imingi uang
Kayak ngegantung sih