Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENJALANKAN RENCANA
"Re, tunggu!"
"Regita!"
Amelia berlari mengejar Regita yang sudah hampir mencapai gerbang. Dengan napas tersengal, ia menepuk pundak gadis itu, membuat Regita terlonjak kaget.
"Buru-buru banget. Gue manggilin lo dari tadi," kata Amelia sambil mengatur napasnya.
Regita, yang pikirannya masih melayang-layang, hanya berkedip-kedip bingung. "Lo manggil gue?" tanyanya tak yakin, merasa agak linglung.
Amelia mendengus pelan, menatap Regita dengan tatapan curiga. "Iya, dari tadi! Lo kenapa, sih? Biasanya nggak segini zonk-nya," ucapnya sambil menyipitkan mata, seakan mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi pada temannya itu.
Regita menggaruk kepalanya, berusaha tersenyum. "Ah, nggak kok, cuma lagi capek aja," jawabnya, meski jelas-jelas ia berusaha menutupi kegugupannya.
Amelia hanya menggeleng sambil menatapnya dengan penasaran. "Hmmm… pasti ada sesuatu nih. Lo nggak mau cerita?"
Regita mencoba tertawa, meski terdengar agak canggung. "Serius, nggak ada apa-apa, Mel. Ayo deh, kita pulang bareng," katanya sambil menarik Amelia agar tak bertanya lebih jauh.
Saat mereka berjalan bersama, Amelia memandang Regita dengan senyum penuh arti. "Jadi, gimana? Udah ada perkembangan apa belum sama Kak Aksa?" tanyanya, membuat Regita langsung tersentak kaget.
"Perkembangan? Maksud lo apa?" Regita berusaha terdengar biasa, meskipun detak jantungnya tiba-tiba berdegup lebih kencang.
"Yah, Kak Aksa itu, guru magang yang keren itu, kan kenalan lo!" Amelia tertawa kecil sambil menyikut lengan Regita. "Gue nggak sabar, loh. Kapan gue bisa ketemu dia secara resmi? Masa iya cuma bisa lihat dari jauh."
Regita mencoba mengatur ekspresinya agar tak terlihat canggung. "A-Amel, dia kan guru. Nggak bisa sembarangan kenal-kenalin begitu aja," kilahnya.
Amelia mengangkat bahu, tak terlihat peduli dengan alasan Regita. "Ayolah, Git. Gue cuma mau ngobrol, kok. Lagian, siapa tahu, dia mau kenalan lebih jauh sama gue," katanya sambil tersenyum menggoda.
Regita tersenyum kaku, berusaha menyembunyikan perasaan aneh yang muncul. Di satu sisi, ia tahu Amelia hanya bercanda, tapi entah kenapa ada rasa yang tak nyaman saat membayangkan Aksa dan Amelia berdekatan.
"Lagipula jarak umur kita cuma tiga atau empat tahun, kan? Dia belum setua itu buat jadi guru," kata Amelia sambil terkekeh. "Masih cocok, lah, kalau buat jadi pacar."
Regita menelan ludah, berusaha tetap tenang meskipun perkataan Amelia barusan sukses membuatnya semakin tidak nyaman. "Amel, tapi dia kan tetap aja guru. Kalau ketahuan sama pihak sekolah bisa berabe."
Amelia hanya tertawa riang, mengibaskan tangannya seakan tak mau ambil pusing. "Ya ampun, santai aja, Re! Maksud gue cuma nanya kok, siapa tahu kita bisa ngobrol atau main bareng. Udah lah, nggak usah serius banget!"
Regita mencoba tersenyum tipis, meskipun dalam hatinya ada kegelisahan yang sulit dijelaskan. Memikirkan Aksa dan Amelia bersama, apalagi dengan obrolan ringan seperti ini, entah kenapa membuatnya merasa semakin sulit berpikir jernih.
Sepanjang perjalanan pulang, obrolan Amelia tentang Aksa terus terngiang di kepala Regita. Perkataan temannya yang riang tadi terasa berputar-putar, menambah rasa tak nyaman yang sulit ia pahami.
Sesampainya di rumah, Regita bernapas lega, berharap bisa menenangkan pikirannya sejenak. Namun, saat ia melangkah masuk, ia mendapati Aksa sedang duduk santai di ruang tamu, membaca buku dengan ekspresi tenang. Seketika, rasa gugupnya muncul lagi, terutama setelah obrolan tadi bersama Amelia.
Aksa menoleh, menyadari kehadirannya. "Udah pulang?" tanyanya singkat, sambil tetap fokus pada buku di tangannya.
Regita mengangguk pelan. "Iya, baru aja," jawabnya, berusaha terdengar biasa. Namun, pandangan Aksa yang sesekali mencuri pandang ke arahnya membuat jantungnya berdetak lebih kencang.
Sebelum Regita sempat melangkah ke kamarnya, Aksa memanggilnya lagi. "Git, sini sebentar."
Regita berhenti di tempat, menatapnya dengan bingung. "Ada apa, Kak?"
Aksa menutup bukunya, lalu menatapnya dengan tatapan yang dalam. "Gue denger lo tadi masih dekat-dekat ya sama Kevien?" tanyanya, suaranya tenang, namun ada nada yang sulit dijelaskan dalam tatapannya.
Regita merasa wajahnya memanas. Ia tidak menyangka Aksa akan menanyakan hal itu. "Ah, Kevien? Enggak. Aku dan dia cuma teman biasa, Kak. Tadi dia hanya menanyakan sesuatu," ucapnya cepat, berusaha meyakinkan.
Aksa mengangguk pelan, namun tatapannya tetap intens. "Tetap jaga jarak, Git. Jangan terlalu dekat sama siapa pun kalau lo nggak mau gue bikin masalah."
Regita tertegun. Kata-kata Aksa terasa lebih dari sekadar perhatian biasa. Ada sesuatu dalam suaranya yang membuatnya merasa terikat, seolah memberi isyarat bahwa Aksa tak ingin melihatnya bersama orang lain.
Regita terdiam, menggigit bibirnya sambil menunduk, mencoba meredam rasa gugup yang muncul kembali. Ia sempat berpikir untuk membahas kecupan Aksa tadi pagi, namun tak yakin harus memulainya dari mana.
Aksa yang memperhatikan sikap canggungnya itu, tiba-tiba mendekatkan wajahnya, membuat Regita refleks menahan napas.
“Lo kenapa? Masih mikirin kecupan tadi pagi?” tanya Aksa dengan suara rendah, nada suaranya sedikit menggoda.
Regita mendongak, matanya melebar. Ia tak menyangka Aksa akan membahas hal itu secara langsung. "A-Apa… Maksud Kakak?" tanyanya terbata, wajahnya sudah memerah.
Aksa tersenyum tipis, menikmati ekspresi Regita yang kebingungan. "Kelihatan kok, dari tadi lo canggung banget. Jadi, gimana? Bikin lo kepikiran, ya?"
Regita hanya bisa menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. "K-Kak Aksa… kenapa tiba-tiba…"
Namun, sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Aksa mendekat sedikit lagi, membuat jarak di antara mereka semakin tipis. "Lo mau gue jawab, atau lo udah tahu jawabannya?"
Regita menatapnya, bingung dan tak mampu bergerak. Perasaan asing itu kembali muncul, bercampur dengan rasa penasaran yang membuatnya sulit berpikir.
Aksa tersenyum samar, tangannya terulur dan dengan lembut menyelipkan helaian rambut Regita ke belakang telinganya. Sentuhan itu membuat Regita menahan napas, terperangkap oleh jarak di antara mereka yang semakin dekat.
Tanpa peringatan, Aksa membiarkan jemarinya bermain di rambut Regita, membelainya dengan perlahan, lalu mendekatkan wajahnya hingga bisa mengendus aroma rambutnya. "Harumnya," gumamnya pelan, nyaris berbisik, membuat wajah Regita semakin merah.
"Jangan bilang lo… belum pernah ciuman?" tebak Aksa, nada suaranya penuh percaya diri.
Regita tersentak, matanya melebar. Bagaimana Aksa bisa tahu? Ia ingin membantah, tapi kata-katanya tak bisa keluar. Ia hanya menunduk, wajahnya semakin memanas, dan itu sudah cukup menjadi jawaban bagi Aksa.
Aksa tertawa kecil, suaranya dalam dan sedikit menggodanya. "Tebakan gue benar, ya?"
Regita hanya bisa terdiam, semakin bingung dengan apa yang terjadi. Rasa malu dan gugup bercampur, membuatnya kehilangan kata-kata.
“Gimana kalau gue ajarin lo?” bisik Aksa sambil menatapnya dalam-dalam. Regita terdiam, tubuhnya terasa kaku. Wajahnya memerah, tak tahu harus merespons apa.
“Gue bisa bersikap profesional kok,” lanjut Aksa dengan senyum tipis, seakan menambah panas wajah Regita.
Regita mulai panik, merasakan detak jantungnya semakin tak teratur. Ia ingin segera bangkit, menghindari situasi yang membuatnya tak nyaman ini, tapi begitu ia mencoba bergerak, Aksa dengan cepat menahan bahunya. Dalam satu gerakan cepat, Aksa mengangkat kedua tangannya, mengurung wajah Regita di antara telapak tangannya, membuatnya tak punya pilihan lain selain menatap lurus ke arah Aksa.
“Lo… apa yang Kakak—” gumam Regita, suaranya hampir tak terdengar.
Aksa menatapnya, pandangannya begitu tajam namun tak tergesa-gesa. "Tenang aja, gue cuma ngajarin," katanya pelan, namun sorot matanya mengisyaratkan hal lain, membuat Regita semakin sulit menahan rasa gugupnya.
Dengan hati-hati, Aksa mendekat, matanya masih terpaku pada Regita, seakan ingin memastikan setiap reaksi darinya. “Kalau lo nggak mau, bilang aja,” ucapnya lagi, kali ini lebih pelan, memberikan kesempatan pada Regita untuk menolak.
Tapi Regita hanya bisa terdiam, terjebak dalam tatapan dan sikapnya yang mendominasi.