Di masa putih abu-abu, Juwita dan Calvin Cloud menikah karena kesalahpahaman. Calvin meminta Juwita untuk menyembunyikan status pernikahan mereka.
Setelah lulus sekolah, Calvin pergi ke luar negeri untuk menempuh pendidikan. Sedangkan Juwita memilih berkuliah di Indonesia. Mereka pun saling menjauh, tak memberi kabar seperti kebanyakan pasangan lainnya.
Lima tahun kemudian, Juwita dan Calvin dipertemukan kembali. Calvin baru saja diangkat menjadi presdir baru di perusahaan Lara Crop. Juwita juga diterima menjadi karyawan di perusahaan tersebut.
Akan tetapi, setelah bertemu, sikap Calvin tetap sama. Juwita pun menahan diri untuk tidak memberitahu Calvin jika beberapa tahun silam mengandung anaknya.
Bagaimanakah kelanjutan hubungan Juwita dan Calvin? Apakah Juwita akan tetap merahasiakan buah hatinya, yang selama ini tidak pernah diketahui Calvin?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ocean Na Vinli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Menjahili • Revisi
"Ba—pak mau apa?" Sekali lagi Juwita bertanya, kegugupan sudah menyerang tubuhnya sampai-sampai keringat di dahinya mengucur dengan sangat deras sekarang.
Calvin tak segera membalas, justru memajukan wajah tiba-tiba dan membuat Juwita memalingkan muka ke samping kembali.
"Tidak ada, aku hanya ingin membuktikan apa benar di matamu tubuhku ini jelek atau tidak," kata Calvin lalu tersenyum smirk.
"Memang jelek kok, apalagi yang mau dibuktikan." Juwita menggerakkan tangan ke segala arah, berharap tangannya dapat terlepas dari jeratan Calvin.
Calvin tersenyum jahil. "Yakin jelek?"
"Yakin Pak, lepaskan tanganku sekarang Pak, aku mau berkerja!" sahut Juwita dengan sangat ketus.
Juwita sangat tak sanggup berdekatan dengan Calvin. Sekarang, jantungnya berdetak amat kencang karena tubuh seksi Calvin, membuat pikirannya melayang ke mana-mana. Kegugupan Juwita makin bertambah saat bayangan burung perkutut Calvin muncul lagi di dalam benaknya seketika. Sial sekali, di kala situasi tengah genting seperti ini, Juwita jadi ikutan mesum dan semua itu karena ulah Calvin.
'Hei, pergilah!' Juwita berkata di dalam hati sambil menggelengkan kepala ke kanan dan kiri.
Hal itu membuat Calvin mengerutkan dahi sedikit ketika melihat gelagat aneh Juwita.
"Kenapa kamu menggeleng-gelengkan kepalamu?"
Juwita terpaksa menoleh ke depan lalu menatap tajam mata Calvin. Tapi di mata Calvin, Juwita tampak menggemaskan, seperti anak kucing yang sedang marah.
"Suka-suka aku! Lepaskan tanganku Pak!" pinta Juwita dengan suara yang tegas.
Dengan cepat Calvin menurunkan tangan lalu melipat kembali kedua tangannya di depan dada.
"Oke baiklah, mulai hari ini jika kita di apartment aku tidak akan memakai pakaian, karena kamu mengatakan badanku jelek tadi," kata Calvin sengaja memancing Juwita.
Calvin merasa memiliki mainan baru sekarang. Sibuk berkerja membuatnya tidak bisa menikmati hidup dan Juwita lah, istri sekaligus sekretarisnya itu membuat Calvin bersemangat untuk menjalani hidup.
Juwita membelalakkan mata. "Apa? Tapi—"
Calvin memutar badan seketika lalu melangkah lagi menuju sofa.
"Tidak ada tapi-tapi, ini perintahku, kamu kan mengatakan tubuhku jelek, jadi tidak mungkin kamu terpikat dengan tubuhku ini," ucap Calvin kemudian duduk di sofa dengan cepat.
'Ish, sayangnya tubuhmu membuat aku gagal fokus Calvin!' Juwita hanya dapat mengumpat di dalam hati.
"Cepat lakukan tugasmu dan atur jadwal pertemuan dengan para investor sekarang!" titah Calvin.
"Iya." Juwita pun duduk kembali ke sofa dan mulai melakukan tugasnya sebagai sekretaris.
Berulang kali Juwita menundukkan kepala kala merasa sepasang mata elang memandang dengan seksama ke arahnya sejak tadi. Siapa lagi kalau bukan Calvin yang secara diam-diam menatap Juwita.
Juwita tampak salah tingkah dan sesekali berdeham rendah, mengusir rasa gugupnya itu.
"Sudah selesai?" Lima menit telah berlalu, Calvin melihat Juwita baru selesai menghubungi salah satu investor yang sulit dinegosiasi.
Juwita menoleh ke depan. "Sudah Pak, aku akan mencari waktu dan tempat untuk pertemuan besok."
"Nanti saja, sekarang buatkan aku sarapan, aku lapar, dari tadi belum sarapan," ucap Calvin. "Pergilah ke dapur dan masakan aku sesuatu."
Dengan terpaksa Juwita menuruti perkataan Calvin. Wajah Juwita terlihat sangat cemberut. Hal itu menggundang lagi senyum terbit di wajah Calvin. Juwita tak menyadari laki-laki itu tengah tersenyum, karena melihat tingkah lakunya sejak tadi.
Sesampainya di dapur, Juwita melebarkan mata saat melihat kulkas dalam keadaan kosong.
"Pak, di kulkas tidak ada makanan. Bagaimana aku mau membuat sarapan?" Dari dapur, Juwita berseru sambil menelisik isi kulkas, yang nyatanya tidak ada sama sekali bahan-bahan makanan atau pun minuman, bahkan telur pun tidak ada.
Calvin lantas melangkah ke dapur. Dengan muka tak berdosa, dia menyeringai tipis.
"Astaga, aku lupa, sepertinya kamu punya tugas baru, pergilah sekarang ke supermarket, di luar gedung apartment ada supermarket, tidak jauh kok, kamu hanya perlu berjalan kaki saja," sahut Calvin dengan suara yang pelan.
Namun, terdengar seperti sebuah ejekan di telinga Juwita.
"Keluar? Tidak mau Pak! Bapak pikir aku tidak tahu, supermarketnya lumayan jauh tahu!" protes Juwita karena tadi sempat melihat keadaan luar gedung apartment yang memang jarak supermarket lumayan jauh menurutnya.
Calvin melototkan mata seketika. Tapi bibirnya sedikit naik ke atas, tengah menahan senyum.
"Hei, kamu berani meninggikan suaramu di depanku ya!"
Juwita semakin cemberut.
"Ayo cepat keluar, ambil lah kartu atmku di atas meja, pakailah, beli lah kebutuhan makananku bila perlu, aku mau salmon, pasta, lalu—"
"Iya, iya aku akan keluar," potong Juwita cepat kemudian melengoskan muka.
Meninggalkan Calvin mengembangkan senyum jahil, menatap kepergian Juwita.
***
Tak butuh waktu lama, Juwita sudah berada di apartment dan saat ini berada di depan pintu masuk gedung apartment, hendak membawa barang belanjaannya.
"Argh, berat sekali! Awas kamu! Dasar mesum!" seru Juwita tiba-tiba karena kantong yang dia pegang lumayan berat.
Juwita membungkukkan kepala, mulai sibuk merapikan kantong yang ditaruh di bawah tadi, agar mudah dibawa. Akan tetapi, Juwita tak menyadari bila beberapa meter darinya ada seorang pria merasa terganggu dengan ucapannya barusan.
Lelaki itu tiba-tiba mendekat. "Kamu mengatai aku mesum?"
Juwita tersentak, lantas buru-buru menegakkan tubuh.
"Eh, maaf, aku bukan mengatai kamu, tapi aku mengatai bosku," kata Juwita seraya melempar senyum hambar. Dia tidak enak hati karena ucapannya tadi membuat orang lain tersinggung.
Lelaki blasteran itu tak langsung menjawab, malah membuka kacamata hitam dan memindai Juwita.
"Hei, sepertinya kita pernah bertemu di suatu tempat," sahutnya.
Juwita mengerutkan dahi. "Siapa ya? Aku tidak ingat."
Lelaki yang memiliki jambang tipis di rahangnya itu tersenyum tipis. "Kamu pernah menabrakku saat di mall beberapa hari yang lalu, aku masih ingat sekali waktu itu kamu menggendong anak kecil, apa itu anakmu?"
Mendadak kejadian sewaktu di mall kemarin, berputar-putar di benak Juwita. Ada seorang pria yang tidak sengaja dia tabrak saat menggendong Chester untuk kabur dari Calvin.
"Oh iya, iya aku baru saja ingat, bukan, dia anak temanku," ucap Juwita sambil mengambil barang belanjaannya. "Kalau begitu aku permisi dulu."
Juwita hendak melangkah, tapi tangannya tiba-tiba ditahan.
"Hei tunggu dulu aku belum selesai, siapa namamu? Namaku Gustav," ucap Gustav sambil mengulas senyum.
Wajah tampan Gustav tak kalah mempesonanya dengan Calvin. Matanya yang berwarna biru laut itu memandang Juwita dengan sangat intens. Entah mengapa reaksi Juwita membuat Gustav mulai tertarik pada Juwita. Sebab selama ini para wanita akan tersipu malu atau pun langsung menempel padanya ketika diajak berbicara, tapi tidak dengan Juwita. Wanita berwajah keibuan itu seakan-akan menghindarinya.
"Namaku ...." Juwita tak jadi meneruskan ucapannya kala bunyi ponsel Gustav tiba-tiba berdering.
Gustav perlahan melepaskan tangan Juwita. "Tunggu sebentar, aku angkat teleponku dulu." Gustav mengambil cepat ponsel di saku celana lalu memutar badan ke belakang.
Juwita menghela napas kasar, melihat matahari di atas semakin bersinar terang. Juwita akhirnya memutuskan masuk ke gedung apartment, meninggalkan Gustav yang masih sibuk berbicara pada seseorang melalui ponsel. Lelaki itu pun tiba-tiba berlari ke arah lain.
"Aw!" Namun, Juwita tiba-tiba berteriak saat seseorang menarik tangannya dari belakang. Secepat kilat Juwita menoleh ke arah si pelaku. Ternyata Putri.
"Putri ...."
"Kenapa kamu ada di sini hah?!" seru Putri dengan napas memburu.
o ya ko' Chester bisa ke perusahaan sendiri,dia kan masih bocah... sementara kan jarak rumah ke perusahaan jauh?