Berawal dengan niat baik untuk menolong membuatnya harus berurusan dengan seorang pria asing yang tanpa Marissa ketahui akan merubah hidupnya 180 derajat. Terlebih setelah insiden satu malam itu.
Kira-kira seperti apa tanggapan pria asing yang bernama Giorgio Adam setelah mengetahui kebenaran dari insiden malam itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nathasya90, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PRIA DARI MASA LALU
Marissa membuka mata saat mendengar ponselnya berdering.
"Ya, halo … " jawab wanita itu dengan suara khas bangun tidur.
Tak ada balasan atau sahutan dari seberang telepon hingga membuat Marissa bangun dan beranjak duduk di tepi bibir ranjang.
"Nomor siapa ini?" Dahinya berkerut menatap layar ponselnya. Terlebih melihat nomor asing yang tidak dikenal.
"Jika Anda tidak ingin bicara, saya akan matikan sekarang juga," ketus Marissa, merasa dipermainkan.
"Apa benar ini dengan Nona Marissa?" tanya seseorang pada akhirnya.
"Oh God.. akhirnya, Anda bicara juga!" seru wanita itu dengan lega.
"Ya, saya Marissa. Maaf, dengan siapa saya bicara saat ini," sambung Marissa penasaran. Karena seingat wanita itu, dia tidak memiliki janji atau urusan apapun dengan orang lain.
"Saya Dimi, Dimi Robert. Apa kau tidak mengingatku?!" kata seorang pria dari seberang telepon.
"Dimi Robert," Marissa membeo saat mendengar nama seorang pria yang sepertinya tidak asing di telinganya. Ada sedikit ingatan saat mendengar nama itu.
"Ya, aku Dimi … apa kau sudah lupa padaku, Isa!?" Terdengar jelas semangat pria itu ketika mendengar Marissa menyebut namanya. Dari nada suara wanita itu Dimi bisa merasakan kalau wanita itu sudah mengingatnya.
Tiba-tiba Marissa tertegun saat mendengar nama yang sudah lama tidak didengarnya. Terakhir kali orang-orang memanggilnya dengan sebutan Isa adalah saat dirinya masih berada di panti asuhan dan itu sudah sangat lama.
"Isa, Isaa … kau baik baik saja?" tanya Dimi saat tidak mendengar sahutan dari seberang telepon.
"Ya aku baik-baik saja," sahut Marissa akhirnya.
"Ya Tuhan.. akhirnya aku menemukanmu setelah sekian lama gadis nakal." Dimi bersemangat setelah sekian lamanya akhirnya ia menemukan orang yang dicari selama ini.
"Darimana kau tahu nomorku, Dimi?" tanya Marissa. Wanita itu sungguh tidak percaya bisa lagi mendengar suara sahabat kecilnya sewaktu mereka masih berada di panti asuhan.
Dimi pergi dari panti asuhan setelah diadopsi sepasang suami istri yang sudah lama mendambakan seorang anak laki-laki namun istrinya belum kunjung hamil. Dan semenjak itu, komunikasi keduanya lost setelah kepindahan Dimi ke negara lain. Hingga akhirnya Marissa pun keluar dari panti asuhan setelah berusia 17 tahun.
"Kau pasti tidak percaya, Isa. Aku melihat data diri calon pelamar di perusahaan ku kemarin dan aku baru berani menelepon mu sekarang," jelas Dimi jujur.
"I'm sorry, Isa. Aku terlalu lama pergi meninggalkanmu," ungkap pria itu lirih.
Tanpa disadari, air mata Marissa jatuh dan semakin lama tangisan itu semakin keras dan terdengar oleh Dimi di seberang sana.
HIKS HIKS HIKS
"Tidak, jangan menangis, Isa. Aku minta maaf.. Ini salahku karena terlalu lama pergi darimu. Please forgive me," mohon pria itu dengan suara serak seperti sedang menahan tangisannya.
"Aku ingin bertemu denganmu, Isa. Kamu mau kan!" sambung Dimi meminta.
Wanita itu tidak langsung menjawab karena masih begitu speechless dengan apa yang terjadi. Sahabat lama yang menjadi pelindungnya dulu dan tiba-tiba muncul setelah sekian lamanya.
"Please, kamu mau ya …." kata Dimi memohon.
"Baiklah," jawab wanita itu akhirnya.
Setelah percakapan mereka, Marissa bersiap mandi karena akan menemui Dimi sahabat masa kecilnya saat di panti asuhan.
Marissa juga tidak lupa memberi kabar pada Giorgio jika ia akan keluar bersama teman lamanya dan pria itu pun mengiyakan tanpa banyak bertanya.
Dimi sudah sampai terlebih dulu di kafe tempat ia dan Marissa janjian karena jarak antara cafe dan kantornya lumayan dekat, sekitar tiga meter.
Hatinya begitu tidak tenang dan gelisah menanti kedatangan wanita yang begitu berarti dalam hidupnya.
Yah, sejak mereka masih di panti asuhan yang sama, pria itu sudah menaruh hati pada wanita itu. Mereka tumbuh bersama di panti asuhan itu hingga mereka remaja. Bahkan sejak usia Marissa 10 tahun, wanita itu sudah mengklaim jika Dimi adalah miliknya.
Setelah menunggu 30 menit, akhirnya Marissa sampai di alamat cafe tempat mereka bertemu.
Marissa memindai sekeliling dan mencari sosok pria yang begitu dirindukan selama ini.
"Dimi .…" gumam Marissa saat melihat sosok yang begitu dirindukannya.
Wanita itu lalu berjalan dan menghampiri pria yang tengah sibuk dengan ponselnya. Marissa berhenti tepat di depan meja pria berjas hitam dengan rambut klimis yang semakin menambah ketampanannya.
Dimi yang memang sedang menunduk dan fokus pada layar ponselnya teralihkan dengan suara heels seorang wanita.
Pria itu lalu menengadahkan kepala menatap sosok wanita yang berdiri di depannya saat ini.
"Halo, Dimi! Apa kabar, kau merindukanku," seloroh wanita itu tersenyum lebar.
"Isa … kamu Marissa?!" tanya pria itu hati-hati karena tidak ingin salah dalam memeluk seorang wanita.
Marissa tertawa kecil melihat ekspresi wajah serius Dimi.
"Ya, aku yakin kau adalah Isa ku. Senyummu, aku sangat mengingat senyum itu!" kata pria itu lalu beranjak dari duduknya dan memeluk tubuh Marissa seketika.
"I miss you, Isa. Really i really miss you," kata pria itu pelan dan terdengar seolah berbisik.
"I miss you too, Dimi," balas wanita itu.
Dimi masih tidak melepas pegangan tangannya pada tangan Marissa seakan tidak ingin kembali dipisahkan oleh keadaan.
"Bagaimana kabarmu? Kamu terlihat lebih tampan sejak terakhir kali kita bertemu," Marissa basa basi.
Saat di dalam taksi tadi begitu banyak yang ingin Marissa tanyakan. Seperti dulu saat mereka kecil. Namun entah mengapa begitu bertemu, pertanyaan itu buyar semua. Mungkin karena mereka bertemu diusia mereka yang sudah tidak lagi muda. Mereka sudah sama-sama dewasa ini dan itu membuat keduanya canggung.
"Baik. Aku juga, aku kagum melihat perubahanmu, Isa. Kau benar-benar sudah berubah, kau semakin cantik sejak terakhir kali kita bertemu. Kau bahkan bertumbuh semakin tinggi seperti ini." Dimi berdecak kagum melihat perubahan dari sahabat lamanya itu.
Mereka berbincang cukup lama dan bernostalgia tentang masa saat mereka masih berada di panti asuhan dulu.
"Baiklah, sekarang kau sudah tahu tentang kehidupanku setelah kita berpisah dulu. Sekarang giliranmu, ceritakan tentang hidupmu, Isa!" seru Dimi.
"Hidupku tidak sebaik hidupmu, Dimi. Aku hidup seperti air mengalir dan tanpa ada tujuan ataupun ambisi sepertimu. Hidupku bak roller coaster setelah aku keluar dari panti asuhan," kata wanita itu sendu.
"Bahkan aku pernah bekerja di sebuah klub malam," sambung Marissa dan itu membuat Dimi menatapnya penuh makna.
"Tenanglah, aku benar-benar bekerja hanya sebagai pelayan saat itu tanpa ada 'plus plus'," balas wanita itu yang seakan tahu apa yang ada dipikiran pria itu.
Terdengar suara helaan napas dari pria bertubuh jangkung itu sesaat setelah mendengar penjelasan Marissa .
"Apa kau malu berteman denganku setelah tahu aku pernah bekerja di klub?" tanyanya saat melihat Dimi bergeming.
Pria itu tersenyum getir melihat kehidupan wanita yang ada di hadapannya saat ini. Bahkan wanita itu pun masih bisa tersenyum setelah melalui proses kehidupannya yang panjang dan pastinya berat.
"Jangan menatapku seperti itu, Dimi. Ayolah, aku tidak butuh rasa kasihanmu itu karena aku bahagia dengan hidupku yang sekarang," kisah Marissa tersenyum.
Ya, dia bahagia, terlebih kini ada kehidupan baru yang tumbuh di dalam rahimnya.
"Tidak, aku bukan mengasihani mu, Isa. Aku justru bangga padamu karena kau masih bisa menjaga dirimu sendiri dan tidak terpengaruh dengan pergaulan buruk seperti sex bebas.
DEG
Hati Marissa seketika mencelos mendengar pujian yang dikatakan pria itu.
"Aku tidak seperti apa yang kamu banggakan, Dimi. Jangan terlalu berekspektasi tinggi tentangku. Aku takut jika suatu saat kau akan kecewa jika mengetahui diriku yang sesungguhnya," kata Marissa lirih dengan tatapan sendu.
"Aku tahu kau, Isa. Kita bersama sejak kita masih kecil hingga remaja dan aku yakin kau masih sama seperti dulu karena kita tumbuh kembang bersama," tukas pria itu.
Aku memang masih sama, Dimi hanya saja jalan yang aku tempuh begitu banyak hingga berakhir hamil dan menjalani hubungan rumit seperti ini.
Marissa tersenyum manis mendengar ucapan Dimi yang terdengar sama dengan pria yang dikenal saat di panti asuhan dulu. Marissa tidak menyangka jika pria yang dulu begitu menyayangi dan melindunginya masih ada dan perlakuannya pun masih tetap sama walau lama tidak bersua.
"Sudahlah, aku memintamu bertemu selain karena merindukanmu juga karena aku ingin memberitahu jika lamaranmu di perusahaan ku diterima," kata Dimi akhirnya setelah sempat lupa dengan tujuan awalnya bertemu.
"Benarkah?" sahut Marissa antusias namun di detik berikutnya bahunya langsung melemas.
"Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Dimi ketika melihat ekspresi wajah Marissa berubah sendu.
"Sepertinya aku tidak bisa menerima pekerjaan itu, Dimi," jawab wanita itu.
"Kenapa? Apakah karena aku?" tanya Dimi lagi.
Marissa tidak menjawab dan tidak pula memberikan alasan. Hanya memperlihatkan senyumannya yang seolah dipaksakan.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Dan aku jamin 1000 persen jika apa yang kau pikirkan adalah tidak benar. Karena perusahaan kami adalah profesional dan tidak akan ada perlakuan khusus pada orang yang kami kenal," ucap Dimi jujur.
"Pihak HRD yang memberitahukan ini padaku dan mereka pasti akan memberimu kabar sebentar lagi. Aku hanya tidak sabar ingin melihatmu secara langsung dan menjadikan hal itu sebagai alasan bisa bertemu denganmu," jelas pria itu.
"Baiklah, akan aku pikirkan. Ini sudah sore, aku harus pulang, bye!" seru Marissa lalu beranjak dari kursi.
"Tunggu!" seru pria itu menahan tangan wanita di depannya.
"Ada apa? Bukannya kita akan bertemu besok," senyumnya terbit dari sudut bibirnya.
"Baiklah, aku hanya merasa belum puas melihatmu, Isa," balas Dimi tersenyum.
"Kau naik apa? Biar aku mengantarmu pulang, bagaimana?!" tanya pria itu menawarkan.
Bagaimana ini? Aku belum sanggup jujur tentang hubunganku dengan Giorgio. Apa yang harus aku lakukan?
"Hei, ada apa? Kau melamun! Apa kau keberatan jika aku mengantarmu pulang?" tanya pria itu beruntun.
"Tidak, bukan begitu. Mungkin nanti, tidak apa-apa 'kan!" balas wanita itu pelan.
"It's okay. Aku mengerti. Baiklah, kita bertemu besok di kantorku," kata pria itu mengalah dan tidak ingin memaksakan kehendaknya.
"Hem, bye!" seru Marissa melambaikan tangan lalu keluar dari cafe dan setelah itu masuk ke dalam taksi yang memang stand by di depan cafe.
Dimi menatap Marissa yang masuk ke dalam sebuah taksi.
Kali ini aku tidak akan melepas tanganmu lagi, Isa. Bahkan jika kau berlari pergi dariku sekalipun. Aku akan benar-benar menjaga dan mengejar mu hingga membuatmu tidak bisa pergi lagi dariku.
TERIMA KASIH DAN SUKSES SELALU BUAT KITA SEMUA 🫶🏼