Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.
Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian
Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14
Mas Radit menelepon, suaranya terdengar sedikit cemas. "Halo, Dewi? Bagaimana kabar kalian? Amara baik-baik saja kan?"
Dewi menjawab dengan nada santai, "Tenang saja, Mas Radit. Kami baik-baik saja. Amara juga baik. Dia sedang beristirahat di kamar."
Yuna menyela, "Iya, Mas Radit. Fokus saja pada pekerjaanmu. Kami bisa mengurus diri sendiri."
Mas Radit sedikit lega mendengar kabar itu. "Baiklah, kalau begitu. Kalian jaga diri baik-baik ya," ucapnya, lalu menutup telepon.
Dewi dan Yuna saling berpandangan, senyum licik terukir di wajah mereka. Mereka telah berhasil membohongi Mas Radit.
"Hahaha! Dia percaya saja," ucap Dewi, tertawa puas.
"Tentu saja, Dewi. Kita kan ahli dalam berbohong," jawab Yuna, ikut tertawa.
Mereka berdua merasa sangat senang karena telah berhasil menipu Mas Radit. Mereka yakin, Mas Radit tidak akan curiga dengan apa yang mereka lakukan kepada Amara.
"Sekarang, saatnya kita lanjutkan siksaan kita," ucap Dewi, matanya berbinar-binar penuh kelicikan.
"Ya, Dewi. Kita harus membuatnya menderita," jawab Yuna, senyum jahat mengembang di bibirnya.
Mereka berdua kembali merencanakan kekejaman mereka terhadap Amara. Mereka merasa sangat berkuasa atas Amara, dan mereka akan menggunakan kekuasaan itu untuk menghancurkan Amara.
******
"Amara, pergilah ke pasar. Belanja sesuai dengan nota ini," perintah Dewi, melemparkan selembar kertas ke arah Amara.
Amara mengambil nota itu dengan tangan gemetar. Ia membaca daftar belanjaan yang tertera di sana. Berbagai macam bahan makanan dan kebutuhan rumah tangga tercantum dengan detail.
"Uangnya?" tanya Amara, suaranya lirih.
"Ya, pikir saja sendiri. Pokoknya kamu harus belanja sesuai dengan nota ini," jawab Dewi dengan nada dingin.
Amara terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia melihat uang yang diberikan Dewi. Jumlahnya tidak cukup untuk membeli semua barang yang tertera di nota.
"Dewi, uangnya tidak cukup," ucap Amara, suaranya bergetar.
"Itu urusanmu. Aku tidak peduli," jawab Dewi, lalu berlalu pergi.
Amara merasa sangat tersakiti. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa seperti budak yang dipaksa untuk bekerja tanpa bayaran.
"Kenapa aku harus menderita seperti ini?" gumam Amara, air matanya mengalir deras.
Ia merasa sangat lelah dan putus asa. Ia ingin sekali berteriak, ingin sekali melampiaskan semua rasa sakit yang ia rasakan.
Namun, ia hanya bisa terdiam, menahan air mata dan kesedihan. Ia merasa sangat kecil dan lemah di hadapan Dewi dan Yuna.
Ia tahu, ia tidak akan pernah bisa melawan Dewi dan Yuna. Mereka terlalu kuat dan kejam.
Amara hanya bisa pasrah. Ia hanya bisa berharap, Mas Radit akan segera pulang dan menyelamatkannya dari siksaan Dewi dan Yuna.
*****
Amara melangkah gontai menuju pasar. Hatinya masih dipenuhi rasa sedih dan kecewa. Ia merasa sangat terbebani dengan tugas yang diberikan Dewi dan Yuna. Uang yang diberikan tidak cukup untuk membeli semua barang yang tertera di nota.
Namun, saat ia mulai berbelanja, keajaiban terjadi. Setiap kali ia membeli barang, penjual memberikan diskon.
"Mbak, ini ada diskon untuk mbak," ucap penjual sayur, tersenyum ramah.
"Wah, terima kasih ya, Pak," ucap Amara, matanya berbinar-binar.
Ia merasa sangat bersyukur. Ia tidak menyangka akan mendapatkan diskon.
"Alhamdulillah," gumam Amara dalam hati, matanya berkaca-kaca.
Ia merasa, Allah sedang menunjukkan kebaikan-Nya padanya. Ia merasa, Allah sedang menolongnya dalam kesulitan.
Ia melanjutkan berbelanja, dan keajaiban itu terus terjadi. Setiap kali ia membeli barang, ia selalu mendapatkan diskon.
"Alhamdulillah, Allah baik pada hamba-Nya," gumam Amara dalam hati, matanya berkaca-kaca.
Ia merasa sangat bahagia dan bersyukur. Ia merasa, Allah sedang menjaganya dan menolongnya.
Ia berjanji dalam hati, akan selalu berbuat baik dan selalu bersyukur kepada Allah atas semua nikmat yang telah diberikan-Nya.
Ia merasa, Allah sedang menguji kesabarannya. Ia merasa, Allah sedang mengajarkannya untuk selalu bersyukur dan tidak mudah putus asa.
Ia merasa, Allah sedang menuntunnya ke jalan yang benar. Ia merasa, Allah sedang menjaganya dan menolongnya.
Ia merasa, Allah sedang mencintainya.
Ia merasa sangat bahagia dan bersyukur.
Amara pulang dengan langkah ringan, membawa kantong belanjaan penuh. Ia tersenyum bahagia. Ia berhasil membeli semua barang yang tertera di nota, bahkan dengan sisa uang. Rasa syukur memenuhi hatinya.
"Aku pulang, Dewi," ucap Amara, meletakkan kantong belanjaan di meja.
Dewi dan Yuna terdiam, mata mereka terbelalak tak percaya. Mereka melihat semua barang yang dibeli Amara.
"Dari mana kau mendapatkan uang untuk membeli semua ini?" tanya Dewi, suaranya bergetar.
"Aku mendapatkan diskon dari setiap pembelian," jawab Amara, matanya berkaca-kaca.
"Bohong! Kau pasti punya hubungan dengan mas-mas penjual sayuran!" tuduh Dewi, matanya menyala dengan api amarah.
"Tidak, Dewi! Aku tidak punya hubungan dengan siapa pun," bantah Amara, suaranya bergetar.
"Jangan berbohong! Kau pasti tidur dengan mas-mas penjual sayuran!" bentak Dewi, lalu menampar pipi Amara dengan keras.
Amara terhuyung ke belakang, tubuhnya terasa sakit. Air matanya mengalir deras.
"Aku tidak berbohong, Dewi! Aku tidak melakukan apa pun!" teriak Amara, suaranya bergetar.
Namun, Dewi tidak percaya. Ia terus menuduh Amara dan memarahi Amara.
"Kau perempuan murahan! Kau tidak pantas menjadi istri Mas Radit!" bentak Dewi, matanya tajam menatap Amara.
Amara terdiam, tubuhnya gemetar. Ia merasa sangat tersakiti. Ia tidak tahu harus berbuat apa.
Ia hanya bisa pasrah, menahan air mata dan kesedihan. Ia merasa sangat kecil dan lemah di hadapan Dewi dan Yuna.
Ia hanya bisa berharap, Mas Radit akan segera pulang dan menyelamatkannya dari siksaan Dewi dan Yuna.
*****
Yuna menyeringai melihat Amara ditampar Dewi. Mata Yuna berkilat-kilat penuh kegembiraan. Ia menikmati penderitaan Amara, menikmati ketakutan dan kesedihan yang terpancar dari wajah Amara.
"Hahaha! Lihat, Amara! Kau memang perempuan murahan!" ejek Yuna, suaranya berdengung penuh kepuasan. Ia menunjuk-nunjuk Amara dengan jari telunjuknya, mengucapkan kata-kata kasar dan menghina.
Yuna merasa sangat puas melihat Amara terpuruk. Ia merasa, Amara pantas mendapatkan semua ini. Iaucap Yuna, suaranya berbisik penuh ancaman. Ia menatap Dewi, matanya menyala dengan api dendam.
Yuna dan Dewi saling berpandangan, mata mereka bertemu dan terpancar rasa senang yang sama. Mereka berdua bertekad untuk terus menyiksa Amara, membuat hidupnya semakin sengsara.
Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, Amara terduduk lemas di sudut ruangan. Air matanya mengalir deras, mencurahkan semua rasa sakit, kecewa, dan keputusasaan yang terpendam di dalam hatinya. Ia merasa sangat lelah, jiwanya terasa kosong dan hampa.
Namun, di tengah kesedihannya, Amara teringat akan Tuhan. Ia teringat akan janji-Nya, bahwa Allah selalu ada untuk hamba-Nya, menolong dan melindungi mereka dalam segala kesulitan.
Amara bangkit dari duduknya, mengeraskan tekad untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ia berwudhu dengan air mata yang masih membasahi pipinya, lalu menunaikan sholat.
Saat sujud, Amara melantunkan doa-doa. Ia memohon kepada Allah agar diberikan kekuatan untuk menghadapi cobaan ini. Ia memohon agar Allah melindungi ayahnya, memberikan kesembuhan untuknya. Ia memohon agar Allah melindungi dirinya dari kejahatan Dewi dan Yuna.
"Ya Allah, aku mohon kekuatan untuk menghadapi semua ini. Lindungi ayahku, berikan kesembuhan untuknya. Lindungi aku dari kejahatan Dewi dan Yuna. Hanya kepada-Mu aku berserah diri," lirih Amara, suaranya bergetar.
Amara merasa tenang setelah menunaikan sholat. Ia merasa, Allah selalu ada bersamanya, menjaganya dan menolongnya. Ia merasa, Allah sedang menguji kesabarannya. Ia merasa, Allah sedang mengajarkannya untuk selalu bersyukur dan tidak mudah putus asa.
Ia merasa, Allah sedang menuntunnya ke jalan yang benar. Ia merasa, Allah sedang menjaganya dan menolongnya.
Amara bangkit dari sujudnya, matanya berkaca-kaca, tetapi hatinya penuh dengan ketenangan dan keyakinan. Ia tahu, Allah tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya. Ia yakin, Allah akan selalu menolongnya dalam segala kesulitan.
*******
Telepon berdering, menghentikan kesunyian di rumah. Dewi menjawab dengan nada santai, "Halo, Mas Radit."
"Dewi, Amara ada di rumah? Aku ingin bicara dengannya," ucap Mas Radit, suaranya terdengar sedikit khawatir.
Dewi melirik Yuna, kemudian menjawab dengan nada berbisik, "Amara sedang pergi berbelanja, Mas. Dia butuh beberapa keperluan rumah."
Yuna mengangguk setuju, menambahkan, "Iya, Mas. Amara pergi bersama teman-temannya. Nanti kalau dia sudah pulang, aku suruh dia telepon kamu."
Mas Radit percaya begitu saja. Ia tidak curiga sedikit pun dengan ucapan Dewi dan Yuna. "Baiklah, kalau begitu. Sampaikan salamku untuk Amara," ucap Mas Radit, lalu menutup telepon.
Dewi dan Yuna saling berpandangan, senyum licik mengembang di wajah mereka. Mereka telah berhasil membohongi Mas Radit.
"Hahaha! Dia percaya saja," ucap Dewi, tertawa puas.
"Tentu saja, Dewi. Kita kan ahli dalam berbohong," jawab Yuna, ikut tertawa.
Mereka berdua merasa sangat senang karena telah berhasil menipu Mas Radit. Mereka yakin, Mas Radit tidak akan curiga dengan apa yang mereka lakukan kepada Amara.
"Sekarang, saatnya kita lanjutkan siksaan kita," ucap Dewi, matanya berbinar-binar penuh kelicikan.
"Ya, Dewi. Kita harus membuatnya menderita," jawab Yuna, senyum jahat mengembang di bibirnya.
Mereka berdua kembali merencanakan kekejaman mereka terhadap Amara. Mereka merasa sangat berkuasa atas Amara, dan mereka akan menggunakan kekuasaan itu untuk menghancurkan Amara.