Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CIUMAN PERTAMA
Saat suasana terasa begitu hening dan penuh ketegangan, Aksa perlahan mendekat, hingga wajah mereka hanya terpaut beberapa inci. Regita menahan napas, tak mampu mengalihkan pandangannya dari mata Aksa yang begitu dalam. Sebelum ia sempat mencerna apa yang terjadi, Aksa mengecup bibirnya lembut, singkat namun cukup untuk membuatnya terdiam sepenuhnya.
Regita terkejut, tubuhnya membeku seketika. Sentuhan itu sederhana, namun terasa seperti gemuruh yang menggetarkan hatinya. Ia menatap Aksa, bingung dan malu, tapi tak bisa mengingkari bahwa ada debaran yang begitu kuat di dadanya.
Aksa menarik diri perlahan, menatap Regita dengan senyum tipis yang penuh arti. “Maaf, Git… tapi gue nggak bisa nahan diri,” bisiknya pelan, sambil tetap menjaga tatapan mereka tetap bertemu.
Regita menggigit bibir, hatinya masih tak karuan. “Kak… kita nggak seharusnya…”
“Gue tahu,” potong Aksa cepat, “tapi kadang perasaan nggak bisa diatur, kan?”
Regita hanya bisa menunduk, jantungnya masih berdegup kencang. Kenyataan baru ini membuatnya bingung, tapi di sisi lain, ia tak bisa mengingkari bahwa hatinya mulai menerima, perlahan.
Regita masih terdiam, membiarkan debaran di dadanya perlahan mereda, meski wajahnya memerah karena kejadian tadi. Aksa tetap menatapnya, seakan mencoba menangkap setiap perubahan emosi di wajahnya.
“Git,” panggil Aksa lembut, membuat Regita kembali menatapnya. “Gue tahu ini nggak gampang, apalagi buat lo. Tapi… gue nggak mau bohong soal apa yang gue rasain.”
Regita menghela napas panjang, berusaha menyusun kata-kata di benaknya. “Kak, aku… nggak tahu harus gimana. Ini semua… rumit.”
Aksa mengangguk, seolah memahami kebingungannya. “Iya, gue ngerti. Tapi gue mau kita jujur satu sama lain. Kalau lo nggak nyaman, lo bilang. Kalau lo nggak suka, gue bakal berhenti.”
Regita menatap Aksa, melihat kesungguhan di matanya. Meski perasaannya masih campur aduk, ada sedikit rasa lega mendengar kalimat itu. “Aku… nggak tahu, Kak. Mungkin aku cuma butuh waktu buat ngerti semua ini,” jawabnya pelan.
Aksa tersenyum kecil, lalu mengangguk. “Oke. Gue nggak bakal maksa. Kita bisa jalanin ini pelan-pelan, dan lo nggak perlu jawab apa pun sekarang.”
Regita tersenyum kecil, merasa sedikit lebih tenang. Mereka duduk dalam hening, tetapi tak ada lagi rasa canggung. Hanya ada perasaan hangat yang menyelimuti mereka, dan mungkin, untuk pertama kalinya, Regita merasa tenang berada di samping Aksa.
•••
Beberapa hari berlalu sejak momen itu, dan meskipun mereka tidak banyak membahasnya, hubungan antara Regita dan Aksa terasa sedikit berubah. Ada perasaan nyaman dan hangat yang tidak bisa ia abaikan, namun juga ada keraguan yang terus mengusik pikirannya.
Suatu pagi, saat Aksa dan Regita bertemu di meja makan, Aksa melirik ke arah Regita, yang sibuk dengan sarapannya. “Lo mau gue anter ke sekolah lagi?” tanyanya santai, meskipun matanya menunjukkan perhatian yang lebih.
Regita mengangkat wajahnya, tersenyum ragu, “Kamu yakin nggak keberatan, Kak?”
“Kalau gue keberatan, nggak mungkin gue nawarin, kan?” Aksa tersenyum, melirik padanya dengan tatapan lembut.
Dalam perjalanan ke sekolah, hening mengisi ruang di antara mereka, tetapi Aksa akhirnya angkat bicara. “Gimana… lo udah mikirin soal yang kemarin-kemarin?”
Regita menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Kak, aku nggak tahu. Maksudnya, aku… aku bingung,” katanya, berusaha jujur.
Aksa hanya mengangguk pelan, menyadari kebingungan Regita. “Gue nggak mau lo merasa terpaksa, Git. Gue cuma… gue cuma mau ada di samping lo.”
Regita tersenyum kecil, hatinya berdebar mendengar kalimat itu. “Makasih, Kak. Aku juga… seneng ada di dekat kamu.”
Aksa tersenyum, lalu menepuk bahu Regita dengan lembut. Meski perjalanan mereka masih penuh pertanyaan dan keraguan, kedekatan itu membuat semuanya terasa lebih ringan. Bagi Regita, mungkin ini baru awal untuk memahami perasaannya yang perlahan tumbuh bersama Aksa.
Sambil menatap lurus ke jalan, pikiran Aksa dipenuhi rencana yang ia susun dalam diam. “Gue harus secepatnya bikin dia nggak bisa hidup tanpa gue,” batinnya, matanya fokus ke depan tetapi pikirannya jelas terarah pada Regita di sampingnya.
Sesekali, ia melirik Regita yang asyik melihat pemandangan di luar jendela, tampak begitu polos tanpa menyadari apa yang berputar di pikiran Aksa. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Ia ingin memastikan Regita terikat padanya, membuatnya bergantung, sampai tak ada orang lain yang bisa mendekat.
Ketika mereka tiba di depan sekolah, Aksa menghentikan mobilnya dan menoleh padanya. “Git, inget aja, gue selalu ada buat lo,” ucapnya lembut, namun tatapannya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam.
Regita tersenyum, merasa tersentuh oleh perhatian Aksa. “Makasih, Kak.”
Aksa hanya tersenyum tipis, lalu Regita bersiap turun. Namun, saat ia hendak membuka pintu, Aksa tiba-tiba meraih pergelangan tangannya, menghentikan langkahnya.
“Cium dulu dong,” ucap Aksa dengan senyum menggoda, matanya menatapnya penuh arti.
Regita menatapnya, wajahnya memerah seketika. “Kak, kita lagi di depan sekolah…” bisiknya, setengah tak percaya.
Aksa hanya mengangkat alis, seakan menantang. “Kapan lagi?” katanya, seolah tak peduli mereka di tempat umum. “Atau gue yang bakal cium lo di sini?”
Regita merasakan debaran di dadanya makin cepat. Setelah beberapa detik ragu, ia pun mendekat dan memberi Aksa kecupan singkat di pipinya. “Nah, puas?” katanya cepat, sambil tersenyum malu.
Aksa tersenyum puas, melepaskan pergelangan tangannya. “Gitu dong. Hati-hati di dalam, ya.”
Regita keluar dari mobil dengan pipi masih memerah, hatinya berdetak cepat. Sambil berjalan menuju pintu sekolah, ia masih bisa merasakan senyum Aksa yang terbayang di pikirannya, membuatnya semakin bingung namun tak bisa berhenti memikirkan perasaannya.
Regita berjalan menuju gerbang sekolah, tetapi perasaannya masih berdebar kencang. Seakan-akan kecupan kecil tadi mengikat pikirannya pada Aksa sepanjang hari. Ia mencoba mengusir bayangan itu, tapi senyum menggoda Aksa seakan terus membayanginya.
Di kelas, Amelia langsung menyadari perubahan ekspresi Regita yang terlihat melamun. "Lo kenapa? Dari tadi senyum-senyum sendiri," tanya Amelia penasaran, menyenggol bahu Regita.
Regita tersadar dan tersipu malu. "Enggak kok, cuma... lagi kepikiran aja," jawabnya, berusaha mengalihkan perhatian.
“Cie, pasti ada yang spesial nih,” ledek Amelia dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Paling juga masih mikirin Kevien. Jadi gimana kabar kalian?”
Regita tersenyum kecil, tak tahu mengapa Amelia bisa berpikiran seperti itu. “Enggak ada apa-apa kok, Amel.”
Namun, Amelia hanya mendekatkan diri, menatapnya lebih intens. "Eh, jangan bohong! Wajah lo tuh enggak bisa nyembunyiin apa-apa, tahu.”
Regita hanya bisa tertawa kecil, tapi dalam hatinya, ia tahu Amelia sedikit benar. Hanya saja dia tidak memikirkan Kevien, melainkan Aksa. Perasaannya pada Aksa semakin sulit ia kendalikan, dan setiap momen bersamanya—meskipun sekilas—membuat perasaan itu semakin nyata.
walau bikin deg deg an 😂
cinta terlarang ituuu...masih 1 ibu loch 🙈
semoga endingnya happy ya Thor 😁