Tiara, seorang gadis muda berusia 22 tahun, anak pertama dari lima bersaudara. Ia dibesarkan di keluarga yang hidup serba kekurangan, dimana ayahnya bekerja sebagai tukang parkir di sebuah minimarket, dan ibunya sebagai buruh cuci pakaian.
Sebagai anak sulung, Tiara merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya. Berbekal info yang ia dapat dari salah seorang tetangga bernama pa samsul seorang satpam yang bekerja di club malam , tiara akhirnya mencoba mencari penghasilan di tempat tersebut . Akhirnya tiara diterima kerja sebagai pemandu karaoke di klub malam teraebut . Setiap malam, ia bernyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang, namun jauh di lubuk hatinya, Tiara memiliki impian besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal yang bisa membanggakan keluarga dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Akankah Tiara mampu menggapai impiannya menjadi penyanyi terkenal ? Mampukah ia membuktikan bahwa mimpi-mimpi besar bisa lahir dari tempat yang paling sederhana ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 10 : Pelukan Diam dalam Gelap
Tiara menggigil di bawah pohon besar, tubuhnya masih terasa lemas dan perih. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya. Dalam sisa kepanikannya, ia merogoh saku celana dan, dengan tangan gemetar, mengambil ponselnya. Menatap layar dengan mata yang penuh air mata, Tiara menekan nomor Raka, adiknya. Suara di seberang menyambut pelan, "Halo, Kak? Kenapa?"
Tiara berusaha menahan tangis, tetapi suaranya bergetar, "De... jemput Kakak, Dek. Mohon." Tidak ada penjelasan lebih lanjut, namun Raka tahu, dari nada suara kakaknya, ada sesuatu yang sangat salah. "Di mana, Kak? Aku ke sana sekarang."
Tak lama setelah percakapan singkat itu, Raka tiba dengan sepeda motor matic bapaknya. Matanya menatap bingung dan khawatir saat ia melihat sang kakak dan temannya duduk dengan pakaian kusut, wajah mereka penuh kesedihan yang tak bisa disembunyikan. Tanpa berkata apa pun, ia hanya menatap mereka sejenak, lalu membawa keduanya pulang.
Sepanjang perjalanan, udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Tiara duduk membeku di belakang sang adik, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang gelap. Putri, yang duduk di belakangnya, sama-sama terdiam, tenggelam dalam kesedihan yang tak terucapkan. Hanya desiran angin yang terdengar, membalut suasana mencekam di antara mereka.
Setibanya di rumah, Raka langsung membawa Tiara dan Putri ke kamarnya. Gerakannya cepat namun lembut, memastikan tidak ada suara yang bisa membuat orang tua mereka menyadari sesuatu. Ia mengunci pintu kamar, memastikan mereka aman dari pertanyaan atau kecurigaan siapa pun.
Di dalam kamar yang sunyi, Tiara dan Putri kembali duduk di lantai. Air mata yang tadinya coba ditahan akhirnya jatuh deras. Raka, yang tak tahu harus berbuat apa, hanya duduk di antara mereka, menyaksikan kakak dan temannya menangis. Ia mencoba memberikan rasa aman, meski ia sendiri dipenuhi pertanyaan dan kecemasan yang tidak terungkap.
"Kenapa, Kak?" bisik Raka pelan, tetapi Tiara tak mampu menjawab. Suaranya tersangkut di tenggorokan, hanya tangisan yang keluar. Putri pun sama. Mereka berdua menangis tanpa bisa berkata-kata, tangisan yang dalam, penuh rasa sakit, penyesalan, dan keputusasaan.
Meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Raka hanya bisa merangkul kakaknya dan teman sang kakak dengan tenang. Ia tahu, kata-kata tak akan mampu meredakan rasa sakit yang mereka rasakan. Jadi, ia hanya diam, mencoba menyalurkan kekuatan dan kasih sayangnya lewat pelukan yang tak bersuara.
Waktu berlalu, dan dalam keheningan itu, ketiganya terjebak dalam perasaan yang tak terucapkan. Tiara dan Putri menangis hingga tubuh mereka lelah, sementara Raka tetap diam, menjaga mereka dalam kebisuan. Tak ada yang berbicara, hanya suara isak tangis yang perlahan mereda.
Hingga akhirnya, tanpa disadari, kelelahan yang amat sangat membuat ketiganya tertidur. Tiara dan Putri tertidur di samping Raka, dengan mata yang masih basah. Di dalam kamar yang terkunci itu, mereka menemukan sejenak ketenangan di
tengah badai emosi yang belum juga berlalu.
Setelah berhari-hari mengurung diri di kamar, Tiara akhirnya merasa bahwa ia tak bisa terus tenggelam dalam kesedihan dan penyesalan. Pagi itu, sinar mentari menerobos jendela, memberikan kehangatan yang menyentuh hatinya, seolah-olah memanggilnya untuk bangkit. Ia menghela napas panjang, lalu menatap Putri yang masih terbaring di sampingnya. Dengan pelan, Tiara berdiri, menguatkan dirinya untuk melangkah keluar dari segala beban yang selama ini ia rasakan.
Di luar kamar, Tiara mendengar suara gemericik air dan gemerisik cucian yang dikerjakan ibunya di halaman belakang. Sejenak, hatinya terasa sejuk, seperti mendengar panggilan dari sesuatu yang pernah akrab. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk menemui ibunya.
Sesampainya di halaman, ia melihat sang ibu yang tekun mencuci pakaian tetangga yang sudah menumpuk. Tiara diam sejenak, menatap sosok ibunya yang tak pernah menyerah meski hidup begitu keras pada mereka. Rasa haru mengisi hatinya. Tanpa berkata apa-apa, Tiara mendekati ibunya dan mulai membantu. Ibunya terkejut, tapi senyum tipis muncul di wajahnya. Meski tanpa kata, kehadiran Tiara di sisinya sudah menjawab banyak hal.
"Terima kasih, Nak," ucap ibunya pelan, cukup untuk membuat hati Tiara menghangat. Mereka berdua bekerja bersama, mencuci pakaian dalam keheningan yang penuh makna.
Dari kejauhan, Putri memperhatikan Tiara dan ibunya yang bekerja bersama. Ada perasaan damai yang perlahan menyelimuti dirinya. Setelah semua yang mereka alami, melihat Tiara bangkit dan membantu ibunya, memberi Putri secercah harapan. Ia pun beranjak dari tempatnya dan bergabung dengan mereka.
“Aku bantu ya, Bu,” ujar Putri dengan lembut.
Ibunya hanya tersenyum hangat, menerima kehadiran Putri tanpa banyak bicara. Ketiganya kini bekerja sama, mencuci pakaian-pakaian yang menumpuk. Aktivitas sederhana itu, tanpa disadari, seperti perlahan-lahan mencuci bersih luka di hati mereka.
Tawa kecil mulai terdengar di sela-sela pekerjaan mereka. Meskipun tidak banyak bicara, mereka saling memahami. Ada kelegaan yang tumbuh di hati Tiara; hidupnya, meski sulit, masih memiliki harapan. Bekerja bersama ibunya dan Putri membuatnya sadar bahwa ia masih memiliki orang-orang yang peduli dan bersedia mendukungnya, meski dunia luar terasa begitu kejam.
Seiring waktu, suasana hati mereka perlahan membaik. Canda dan tawa yang dulu terasa begitu jauh kini mulai kembali hadir, meskipun diselingi dengan kenangan yang sulit dilupakan. Namun yang pasti, mereka tidak lagi tenggelam dalam kegelapan.
Sore itu, mereka selesai mencuci dan duduk bersama di halaman belakang. Tiara memandang Putri dan ibunya dengan senyum tulus. Putri menatapnya, mengangguk pelan, seakan tahu apa yang ada di benak Tiara. Mereka tahu, meski jalan di depan masih penuh tantangan, mereka tidak sendirian. Bersama, mereka bisa bangkit, perlahan tapi pasti.
Hari itu berlalu dengan tenang, namun ada sesuatu yang masih menggelayut di hati Tiara. Meskipun ia merasa sedikit lebih baik setelah kembali membantu ibunya, bayang-bayang masa lalunya masih terus menghantui pikirannya. Saat malam tiba, Tiara duduk di sudut ruangan bersama Putri. Meski keduanya merasa lega bisa kembali beraktivitas, Tiara tahu bahwa ada hal besar yang belum ia ungkapkan kepada ibunya.
Tak lama kemudian, ibunya masuk ke kamar. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya berbeda, seolah menyimpan sesuatu yang ingin disampaikan. Tiara menundukkan kepala, hatinya berdebar-debar. Sang ibu duduk di sampingnya dan meraih tangan Tiara dengan lembut.
"Tiara, Ibu tahu apa yang kamu lakukan selama ini," ujar ibunya dengan suara penuh kasih sayang namun tegas.
Tiara terkejut, tubuhnya seakan membeku. Air matanya langsung mengalir tanpa bisa ia tahan. Ia tahu, inilah saatnya kejujuran terungkap. Dengan suara bergetar, Tiara menunduk dalam-dalam, tak berani menatap mata ibunya.
"Ibu... maafkan aku," ucap Tiara di antara isak tangisnya. "Aku terpaksa bekerja sebagai pemandu karaoke. Aku butuh uang untuk bantu keluarga... tapi aku takut Ibu marah kalau tahu pekerjaan itu... Jadi aku terpaksa bohong..." Suaranya semakin lirih diiringi tangis yang makin pecah.
Ibunya diam sejenak, membiarkan Tiara meluapkan seluruh perasaannya. Lalu, dengan lembut, ia mendekat dan memeluk Tiara erat-erat. Hangatnya pelukan sang ibu membuat hati Tiara terasa hancur, namun sekaligus pulih. Dalam pelukan itu, Tiara merasa semua beban yang selama ini ia tanggung perlahan mulai menghilang.
"Ibu tidak marah, Nak... Ibu mengerti kenapa kamu melakukannya. Dan Ibu bangga karena kamu masih memikirkan keluarga, meski caramu mungkin salah." Suara ibunya lembut namun penuh ketulusan, membuat hati Tiara luluh.
Tiara menangis semakin keras dalam pelukan ibunya, menyesali semua kebohongan dan pilihan yang telah ia buat. Putri, yang menyaksikan semuanya, tak kuasa menahan air mata. Ia terharu melihat kasih sayang seorang ibu yang begitu dalam, meski anaknya telah melakukan kesalahan.
"Aku akan berhenti, Bu," ucap Tiara sambil menahan tangisnya. "Aku nggak mau lagi kerja di tempat itu. Aku nggak sanggup."
Sang ibu mengusap kepala Tiara dengan penuh kasih. "Kamu nggak harus melalui ini sendiri, Nak. Kalau kamu mau keluar, keluarlah. Ibu ada di sini. Kita akan hadapi semua ini bersama."
Putri, yang duduk di samping mereka, merasakan dorongan yang sama. Ia mengangguk pelan dan memutuskan hal yang sama dengan Tiara. "Aku juga akan berhenti," kata Putri dengan suara lemah. "Aku nggak bisa terus seperti ini."
Ibunya tersenyum lembut pada Putri. "Kamu selalu bisa mulai lagi, Putri. Asal kamu mau, pasti ada jalan."
Malam itu menjadi momen penting bagi Tiara dan Putri. Setelah semua yang mereka alami, keputusan untuk berhenti dari pekerjaan mereka di klub karaoke terasa seperti langkah pertama menuju kebebasan. Keesokan harinya, mereka berdua menghadap manajer mereka dan dengan tegas menyatakan bahwa mereka berhenti.
Tanpa ragu, mereka memilih untuk membantu ibu Tiara sebagai buruh cuci pakaian—pekerjaan yang sederhana namun penuh makna. Meski pekerjaan itu tidak menghasilkan banyak uang, ada kedamaian yang mereka rasakan, sesuatu yang selama ini mereka rindukan.
Tiara dan Putri mulai menemukan kekuatan dalam hal-hal kecil, seperti tawa dan kebersamaan saat mencuci pakaian di bawah sinar matahari. Mereka tahu bahwa jalan ke depan mungkin masih panjang, tetapi dengan dukungan keluarga dan sahabat, mereka yakin bisa melewatinya.
Hari-hari penuh kesedihan perlahan mulai tergantikan oleh harapan. Pelukan hangat dari ibunya dan keputusan untuk meninggalkan pekerjaan lama menjadi titik balik dalam hidup Tiara. Ia tak lagi merasa terperangkap dalam rasa bersalah. Kini, ia bertekad menjalani hidup yang lebih baik bersama Putri, meski harus memulai dari awal.