Setelah bertahun-tahun berpisah, hidup Alice yang dulu penuh harapan kini terjebak dalam rutinitas tanpa warna. Kenangan akan cinta pertamanya, Alvaro, selalu menghantui, meski dia sudah mencoba melupakannya. Namun, takdir punya rencana lain.
Dalam sebuah pertemuan tak terduga di sebuah kota asing, Alice dan Alvaro kembali dipertemukan. Bukan kebetulan semata, pertemuan itu menguak rahasia yang dulu memisahkan mereka. Di tengah semua keraguan dan penyesalan, mereka dihadapkan pada pilihan: melangkah maju bersama atau kembali berpisah, kali ini untuk selamanya.
Apakah takdir yang mempertemukan mereka akan memberi kesempatan kedua? Atau masa lalu yang menyakitkan akan menghancurkan segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alika zulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saat Kenangan Menghampiri
"buat dapet duit lah, buat apalagi coba," sahut Alice sambil menghela napas, matanya tetap fokus ke langit-langit, seolah mencoba melarikan diri dari kenyataan.
"ya, siapa tau lo cuman cari pengalaman, atau biar kelihatan sibuk aja," sahut Alvaro santai sambil memainkan rambutnya.
Alice melirik Alvaro sekilas, tapi tetap diam.
"terus lo enggak kuliah?" Alvaro melanjutkan, kali ini suaranya lebih lembut. "bukannya lo cita-citanya jadi dokter? Ya, walaupun... nilai lo dulu pas-pasan," lanjutnya dengan tawa kecil yang menggoda, seakan mencoba mencairkan suasana.
Alice tersenyum tipis, tapi ada sedikit kesedihan di matanya. "mimpi kan nggak selalu sesuai realita, Al," jawabnya pelan. "gue enggak punya pilihan lain selain kerja sekarang. Kuliah? Jauh banget dari jangkauan gue."
Alvaro terdiam sejenak, sorot matanya berubah lebih serius. "tapi lo kan masih bisa ngejar itu. siapa tau nanti ada jalan, siapa tau lo bisa kuliah sambil kerja. gue yakin lo bisa, Al."
Alice tersenyum kecil, tapi kali ini ada ketegaran di sana. "makasih, tapi... buat sekarang, gue harus realistis dulu.
"Alvaro hanya bisa diam mendengar jawaban Alice, matanya terus menatapnya sambil mengembangkan senyuman yang tak disadari oleh Alice. Dalam momen itu, ia merasa ada yang spesial, meskipun Alice tak menyadarinya.
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul tiga siang. Alice pun akhirnya berpamitan pada Alvaro untuk pulang, sebuah keputusan yang sebenarnya diinginkan Alvaro.
"lo beneran enggak papa gue tinggal sendiri di sini, Al?" tanya Alice, suaranya sedikit bergetar, menandakan ketidakpastian. Ia merasa keberatan jika harus pulang sendiri.
"aman, gue mah. Gue udah sembuh. Bahkan, ngebunuh orang yang kemarin aja udah bisa nih!" sahut Alvaro sambil menepuk-nepuk lengan yang masih dibalut perban.
"eh, anjir, sombong banget lo! Tangan masih di perban juga, ngecuci rambut sendiri aja belum bisa," sahut Alice sambil terkekeh, mencoba mengusir rasa khawatir di hatinya.
"udah ah, gue mau pulang. Assalamu'alaikum," pamit Alice sambil berdiri dan berjalan menuju pintu.
"waalaikumsalam," sahut Alvaro, menatap punggung Alice yang menjauh dari pandangannya, merasakan sebersit kesedihan saat ia pergi.
Setelah Alice pergi, Alvaro terdiam sejenak. "sebenarnya gue pengen banget lo selalu ada di dekat gue, Al. Cuman, keselamatan lo lebih penting sekarang," gumam Alvaro lirih, suaranya hampir tak terdengar, seolah ia takut kata-katanya akan kembali ke Alice. Ia merasakan ketidakhadiran Alice seperti satu bagian yang hilang dari hidupnya, dan ia berharap suatu saat bisa menuntaskan rasa khawatir yang menghantuinya.
Alice melangkah menuju parkiran rumah sakit, tak sengaja bertemu sosok laki-laki yang pernah mengisi kekosongan hatinya, meski hubungan mereka hanya bertahan beberapa bulan.
"Ka Putra," lirih Alice, matanya menatap lelaki yang tengah mengeluarkan motor di sampingnya.
"Eh, Al! Ngapain di sini?" tanya Putra, senyum rindu menghiasi wajahnya.
"Anu, Ka..." ucap Alice, merasa gugup dan mencari kata-kata yang tepat.
"Emm?" tanya Putra, semakin menampakkan senyumnya yang hangat.
"Eh, ini ngejengukin teman, Ka," sahut Alice, berusaha menjelaskan situasinya.
"Ou, mau pulang?" tanya Putra, masih dengan nada penuh perhatian.
"Iya, nih mau pulang," jawab Alice, berusaha terdengar santai.
"Em, aku anter ya," tawar Putra, matanya menatap penuh harap.
"Enggak usah, Kak," sahut Alice, tetapi di dalam hatinya, ada rasa bahagia yang meluap karena Putra masih memperhatikannya.
"Ngga usah ngebantah sama yang lebih tua," sahut Putra sambil mengusap kepala Alice yang tertutup hijab, membuatnya merasa tak bisa menolak.
Putra memahami betul sifat Alice. Ia tahu bahwa Alice lebih suka pasangan yang tegas dan memaksanya daripada sekadar bertanya apa yang dia inginkan. Baginya, Alice adalah wanita paling gengsi yang pernah ia temui, tapi justru itulah yang membuatnya tertarik. Melihat wajah Alice yang memerah dan terdiam, Putra merasa seolah ada sesuatu yang hangat dan menyenangkan mengalir di antara mereka, meskipun masa lalu mereka penuh kenangan yang tak terucapkan.
g pa" belajar dari yg udah berpengalaman biar bisa lebih baik lg, sayang lho kalo ceritanya udah bagus tp ada pengganggu nya di setiap part nya jd g konsen bacanya karna yg di perhatiin readers nya typo nya tanda petik koma titik tanda tanya selain alur cerita nya
bu, aku minjem ini, ya," dan masih bnyk kalimat yg tanda titik baca komanya g sesuai thor