Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepergian Surya
Surya tertegun, jantungnya berdegup kencang saat matanya menangkap sosok istrinya, Selvi, terbaring tak berdaya di ambang pintu kamarnya.
"Bu e sadar, Bu!" teriaknya, suaranya bergetar.
Arya, yang tak jauh dari situ, segera menghampiri.
"Gimana Mas? Mbak Selvi kenapa bisa pingsan begini?" tanyanya, penuh kepanikan, sembari membantunya mengangkat Selvi dan membawanya ke ranjang.
Mbah Rejo, nenek bijak yang masih menggendong Kusuma, mendekat dengan wajah khawatir. "Piye, ana apa iki?" tanyanya, mencerminkan kecemasan yang sama.
"Iki lo, Mbah. Tadi Selvi pingsan, saya biarkan saja karena saya mencari Kusuma. Sudah saya ubek-ubek rumah ini, eh, tahu-tahu Selvi sama Kusuma di pangkuanmu," jelas Surya, kebingungan.
"Setelah pintu saya buka, Selvi sudah tidak ada di kursi dan pingsan begitu saja," tambahnya, matanya tak lepas dari wajah pucat Selvi.
Mbah Rejo mengangguk, menandakan ia paham akan situasi. Namun, ia merasakan kehadiran sesuatu yang ganjil di samping Selvi. "Surya, bawa anakmu keluar," perintah Mbah Rejo tegas. "Arya, kowe tetap nang kene!"
"Ada apa, Mbah? Apa yang bisa saya bantu?" tanya Arya, rasa ingin tahunya membara.
"Tutup pintu ne!" perintah Mbah Rejo, suaranya mengandung aura otoritas yang tak bisa dibantah.
Dengan segera, Arya berbalik dan menutup pintu, mengunci keheningan di dalam kamar.
"Apa yang kamu inginkan dari Kusuma?" Mbah Rejo menatap tajam ke arah jendela, seolah bisa melihat sesuatu yang tak terlihat.
"Aku hanya ingin menggendongnya. Setiap Maghrib aku mendatangi, tapi bayi itu tak pernah menangis, sepertinya tak takut," jawab suara misterius, penuh nada menenangkan namun menyimpan ancaman.
"Tetap saja kamu tidak boleh mengganggunya. Sekali lagi, aku tahu kamu membawanya. Jika aku melihatmu lagi, bakal aku habisi!" ancam Mbah Rejo, suaranya menggema di ruangan.
"Anak itu istimewa. Auranya kuat. Dan aku hanya ingin menjaganya," jawab suara itu, tenang namun penuh keyakinan.
"Buat apa kamu menjaganya? Kelak bayi itu bisa menghancurkanmu. Pergilah dan jangan kembali," tegur Mbah Rejo dengan tegas, nada suaranya bagaikan guruh di langit mendung.
"Jangan sekali-kali kau bawa anak itu keluar dari Desa Bojong ini. Atau suatu malapetaka akan menghampirinya," suara itu melanjutkan, menambah rasa tegang di udara.
"Aku tahu itu, pergilah," ucap Mbah Rejo, tegas.
"Sinten Mbah niku?" Arya bertanya, penasaran dengan siapa Mbah Rejo berbicara.
"Kui mau Danyang e Desa Bojong," jawab Mbah Rejo, wajahnya serius.
"Danyang?" tanya Arya lagi, terpesona oleh kata-kata neneknya.
Dengan lembut, Mbah Rejo mendekati Selvi dan mulai mengobatinya. Seketika, wajah Selvi yang pucat pasi berubah menjadi bercahaya, seolah tersentuh sinar harapan.
"Ayo keluar!" ajak Mbah Rejo, matanya memancarkan keyakinan. Desa Bojong, dengan tiga dusunnya, terasa seolah dipenuhi misteri dan kekuatan yang mengikat setiap jiwa yang tinggal di sana.
"Iki besok tanduren nang njero omah, ya gawe penangkal anakmu!" titah Mbah Rejo, suara lembut namun penuh ketegasan.
"Njih, Mbah!" jawab Surya, penuh rasa syukur.
"Pesenku karo anakmu aja metu saka Desa iki. Saiki anakmu wes aman," kata Mbah Rejo lagi, mengakhiri perbincangan dengan penuh rasa tanggung jawab.
"Matur suwun, Mbah," ucap Surya, haru menyelimuti hatinya.
"Ayo, Arya, terke aku balik saiki!" perintah Mbah Rejo, dan mereka pun melangkah ke luar, meninggalkan kesunyian dan misteri yang menggantung di udara.
**
Hubungan pasangan suami istri itu kian harmonis seiring dengan bertambahnya usia Kusuma, si bidadari kecil yang tumbuh semakin cantik dan lucu. Senyum cerianya mampu menghangatkan rumah kecil mereka di Desa Bojong, menggantikan dinginnya malam yang pernah menghantui.
Sejak peristiwa mengerikan ketika Kusuma kesurupan, dan Mbah Rejo memberikan Surya benda misterius yang harus dipendam di dalam rumah, kehidupan mereka kembali tenang. Kini, Kusuma berperilaku seperti gadis kecil pada umumnya, menjalani hari-hari penuh tawa dan kebahagiaan, seolah bayang-bayang kelam itu tak pernah ada.
Namun, bahagia itu hanya sekejap, seperti embun pagi yang sirna oleh sinar mentari. Saat Kusuma berusia delapan tahun, Surya mengalami kecelakaan tragis di tengah hutan pohon besar tumbang menghantamnya di saat angin lesus berhembus kencang, mengoyak kebahagiaan yang mereka bina.
Selviawati, sang istri yang ditinggalkan, kini harus menghadapi kehidupan baru bersama putrinya di Desa Bojong. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta, tempat kelahirannya, dan menitipkan Kusuma kepada Laila dan Arya dua sahabat yang selalu siap membantu, meskipun dengan hati yang berat.
Lima tahun berlalu, dan Selviawati menemukan kembali jalan hidupnya. Dalam kesunyian dan kesedihan, ia bertemu Harjuna, teman sekolahnya yang kini menjadi duda beranak satu. Dengan penuh ketulusan, Harjuna mendekati Selvi, menghapus jejak kesedihan yang mengakar.
"Gimana, Vi? Mau gak?" tanyanya, dengan tatapan penuh harapan, meski usia mereka telah melangkah jauh.
Setahun kemudian, cinta mereka bersemi dan mengantarkan Selvi pada pelaminan baru. Saat pernikahan terwujud, ia memutuskan untuk menjemput Kusuma, menginginkan kehangatan keluarga kembali.
"Mbak Selvi, pesan Kang Surya dan almarhum Mbah Rejo. Kusuma tidak boleh keluar dari kampung ini selama lebih dari lima hari," ujar Arya, mengingatkan Selvi dengan nada khawatir.
"Saya tahu, Mas Arya. Tapi sekarang keadaan saya berbeda. Saya sudah menikah lagi dan mungkin akan jarang menjenguk Kusuma. Sebab itu, saya ingin membawanya pulang ke Jogja," jawab Selvi, nada suaranya menggambarkan kegelisahan yang tak terelakkan.
"Saya tahu perasaan, Mbak Selvi. Karena saya juga seorang ibu. Akan tetapi, saya memikirkan keselamatan Kusuma!" ucap Laila, berusaha meyakinkan Selvi dengan kasih sayang yang tulus.
Diskusi berlangsung selama satu jam, membahas segala kemungkinan demi masa depan Kusuma. Akhirnya, mereka mencapai kesepakatan. Kusuma akan tetap ikut Selviawati, karena bagaimanapun juga, dia adalah darah dagingnya ikatan yang tak bisa dipisahkan oleh apapun, meskipun Arya dan Laila merasa berat.
"Maaf ya, Laila. Segala risiko yang terjadi, saya yakin Kusuma akan baik-baik saja. Saya dan Kusuma mohon pamit," ucap Selvi, suara penuh keyakinan meski ada keraguan yang melintas di hatinya.
Kusuma, si bidadari kecil, tersenyum manis saat mendengar keputusan ibunya. Dalam pandangannya yang ceria, ada harapan baru menanti di luar Desa Bojong—sebuah petualangan yang akan membawanya pada dunia yang lebih luas.
**
Kini beberapa tahun pun berlalu, Anjar saudari tiri Kusuma, tampak tak suka dengan kehadiran gadis berhidung mancung itu. Dalam satu atap sekolah yang sama, mereka berkompetisi dalam segala hal, seolah hidup ini adalah arena pertempuran. Tak hanya di kelas, di rumah pun Anjar tak henti-hentinya mencari perhatian Selviawati, sang ibu, dengan cara menjelek-jelekkan Kusuma. Ia berusaha membuat ibunya beranggapan bahwa kehadiran Kusuma hanya membawa masalah.
Kusuma, gadis cantik berambut panjang yang cerdas, merupakan sosok ceria dengan hobi menulis dan bernyanyi. Hari-harinya dipenuhi warna, tertawa bersama teman-teman dan mengukir impian yang semakin mendekati kenyataan. Kini, di usianya yang delapan belas tahun, ia bersiap menamatkan SMU dan melanjutkan ke jenjang kuliah.
Ketika pengumuman ujian akhir keluar, harapan dan impian Kusuma pun terwujud. Ia meraih peringkat pertama, sementara Anjar terpuruk di peringkat tiga puluh. Harjuna, sang ayah, marah besar kepada Anjar karena nilai buruknya. Pertengkaran antara ayah dan anak kandung pun tak terhindarkan.
“Oh, jadi sekarang ayah lebih membela anak pungut ini daripada anak kandung ayah sendiri?” Anjar melontarkan kata-kata tak sopan itu tanpa sengaja, menciptakan bara kemarahan di hati Harjuna. Dalam sekejap, tamparan ayahnya mendarat di pipi Anjar.
Kusuma, yang berdiri di belakang Anjar, terdorong jatuh ketika saudaranya menghindari tamparan itu. Dalam kekacauan, sebuah pisau yang terletak di ujung meja melukai pinggangnya, darah segar mengucur deras. Dalam sekejap, dunia di sekelilingnya menjadi gelap, dan Kusuma pingsan.
Ketika Harjuna melihat darah mengucur deras dari tubuh putri tirinya, ia ketakutan, dan segera membawa Kusuma ke rumah sakit. Dokter bekerja cepat menjahit luka yang tidak terlalu dalam, namun anehnya, Kusuma tak sadarkan diri selama dua hari lamanya.
“Mama…” panggilnya lirih setelah dua hari pingsan. Perlahan, Kusuma membuka matanya, tetapi tak ada siapa pun di sampingnya. Hanya suara tangisan perempuan yang samar ia dengar, melankolis dan penuh kesedihan.
Setelah tubuhnya pulih, Kusuma mencoba bangkit dari ranjang. Ia teringat akan rasa sakit di pinggangnya dan berjalan pelan menuju tirai yang memisahkan kamar. Suara tangisan itu masih terdengar jelas, mendorong rasa penasaran yang tak tertahankan.
“Au…” lirihnya, menahan sakit ketika kakinya menyentuh lantai. Dengan hati-hati, ia menyibakkan tirai yang menghalangi pandangan. Seorang wanita berpakaian kuning duduk membelakanginya, rambutnya panjang dan acak-acakan, menangis tersedu sendirian di ujung ranjangnya.
“Mbak, jangan bersedih! Saya juga sebenarnya ingin menangis kalau meratapi hidup ini,” ungkap Kusuma, berusaha mencairkan suasana dengan keramahan yang tulus.
Suara tangisan berhenti seketika saat Kusuma mengajaknya berbicara. Ia masih berdiri di balik tirai, merasa senang karena bisa berbagi meski dalam keadaan sakit. Wanita itu menoleh, dan wajah yang dipenuhi darah dengan mata melesak ke dalam membuat Kusuma tersentak, seolah waktu terhenti.
Tanpa bisa menahan diri, Kusuma berlari menjauh, ketakutan menyergapnya. Wanita itu tertawa keras, tawa yang membuat jantung Kusuma berdegup lebih cepat. Dalam kebingungannya, ia menabrak sesosok tubuh tinggi dengan tangan penuh darah segar. Saat mendongak, wajah yang rusak dan kepala yang seakan mau putus dari lehernya membuatnya teriakan.
“Aagggrrhh…” suara jeritan Kusuma menggema di ruangan.
Ia bukan hanya melihat satu, tapi banyak makhluk mengerikan mendatangi, menatapnya dengan tajam dan menyeramkan. Dokter dan perawat yang ada di ruangan berusaha menenangkannya, tetapi semua itu seakan sia-sia. Dalam kepanikan, Kusuma merasa terjebak dalam dunia yang kelam, dikelilingi oleh makhluk-makhluk yang tak pernah ia bayangkan ada.