Anson adalah putra tunggal dari pemilik rumah sakit tempat Aerin bekerja. Mereka bertemu kembali setelah tiga belas tahun. Namun Anson masih membenci Aerin karena dendam masa lalu.
Tapi... Akankah hati lelaki itu tersentuh ketika mengetahui Aerin tidak bahagia? Dan kenapa hatinya ikut terluka saat tanpa sengaja melihat Aerin menangis diam-diam di atap rumah sakit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
"Jelaskan apa kesalahan kalian?" suara rendah itu terdengar menakutkan. Fini bahkan tidak sanggup menatap mata Anson. Hanya Aerin yang berani beradu tatap dengan dokter tampan itu.
"Sekali lagi kutanya apa kesalahan yang sudah kalian buat?!" nada suaranya mulai meninggi.
"Lalai dalam bertugas." sahut Aerin dengan sikap tenang dan cenderung masa bodoh.
Anson tertawa keras. Sikap Aerin yang sekarang mengingatkannya pada masa lalu. Sorot mata itu seolah tidak peduli kalau dirinya telah melakukan kesalahan. Itulah salah satu hal yang membuat Anson menjauhinya dulu.
"Siapa yang memberikan obatnya?" tanya Anson menatap lurus ke Aerin dengan tatapan tajamnya lalu pandangannya berpindah-pindah dari Aerin dan Fini yang terus tertunduk. Hanya Aerin yang berani membalas tatapannya.
"Aku." jawab Aerin langsung. Fini langsung mengangkat kepalanya menatap gadis itu. Ia sama sekali tidak menyangka Aerin akan menyembunyikan fakta kalau sebenarnya dirinyalah yang lalai.
"Ada kesalahan dosis, tapi semua baik-baik saja. Aku sudah memeriksa pasien itu, tidak ada masalah besar. Kondisinya sudah kembali normal." kata Aerin lagi panjang lebar.
Namun perkataan itu semakin memicu kemarahan Anson. Lelaki itu menggebrak meja kuat-kuat sampai-sampai para staf lain di luar sana bisa mendengar juga. Mereka penasaran apa yang terjadi di dalam. Biasanya mereka bisa melihat dari balik dinding kaca, tapi hari ini tidak bisa.
Karena Anson sengaja menurunkan Zig blind tirai supaya tidak ada yang melihat dan mendengar pembicaraan mereka dari luar. Walau suara gebrakan meja kedengaran dari luar, namun pembicaraan mereka tidak terdengar jelas. Jadi tidak ada yang tahu apa yang sedang terjadi dalam ruangan Anson.
"Kau pikir salah memberi obat itu bukan masalah besar? Dimana otakmu hah? Kau pikir kau bisa seenaknya bermain-main dengan nyawa manusia, begitu?" tukas Anson sarkas. Ia marah karena melihat raut wajah Aerin yang hanya santai tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Pria itu menarik nafas kasar. Emosinya yang tidak jelas hari ini karena Aerin, di tambah dengan masalah yang baru terjadi, sungguh membuat Anson makin naik darah.
"Dengar, mulai hari ini kau dikeluarkan dari tim ini. Aku tidak suka bekerja dengan dokter yang tidak kompeten, tidak bertanggung jawab dan tak punya perasaan seperti dirimu. Angkat semua barang-barangmu dan pindah ke bagian umum sekarang juga. Kau juga dilarang menangani pasien satu minggu ini. Renungkan kesalahanmu baik-baik sebelum berhadapan dengan pasienmu!" Akhirnya Anson mengambil keputusan. Ia tahu keputusan yang diambil saat marah adalah keputusan yang gegabah. Tapi mau apalagi, semua sudah keluar dari mulutnya. Dia terlalu gengsi untuk menariknya lagi.
Aerin sendiri tampak kaget. Ia tidak berpikir sejauh itu Anson akan bertindak.
Tapi mengingat pria itu yang sudah membencinya dari dulu, ia tidak merasa heran. Anson pasti menggunakan kesempatan ini untuk mengeluarkannya dari tim. Walau hatinya cukup sakit dengan tindakan Anson, ia tidak bisa apa-apa bukan? Lagipula sejak awal dirinya juga tidak berharap masuk ke dalam tim laki-laki itu. Anson mengambil keputusan yang tepat. Dengan begitu, ia tidak akan terlalu banyak terlibat dengan pria itu, juga Logan.
"Dokter sebenarnya aku ... Dokter Aerin ..." Fini, smemberanikan diri untuk berbicara. Sebenarnya masalah yang terjadi murni adalah kesalahannya. Ia jelas tahu.
Dokter Aerin tidak salah apa-apa. Dirinyalah yang lalai. Ia hanya tidak menyangka dokter wanita yang selalu mereka jelek-jelekkan itu malah membelanya. Menutupi kesalahannya, bahkan ...
Fini menunduk merasa bersalah. Ia ingin bilang yang sebenarnya tapi dia masih terlalu takut menatap pria di depannya.
"Dan kau," pandangan Anson beralih ke Fini.
"Gajimu akan dipotong selama tiga bulan." katanya tak ada lembut-lembutnya sedikitpun. Fini bernafas lega. Setidaknya ia tidak di pecat. Selama ini ia hanya mengandalkan pekerjaan itu untuk menghidupi adik-adiknya.
"Keluarlah." pria itu melanjutkan dengan nada dingin. Aerin masih menatap pria itu cukup lama, sebelum akhirnya berbalik pergi.
Anson menatap punggung Ainsley yang lama kelamaan menghilang dari hadapannya. Ia lalu membuang nafas kasar dan menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sembari memijit pelipisnya
Perasaannya tidak membaik setelah mengeluarkan semua emosinya tadi pada Aerin. Apakah dirinya sudah keterlaluan? Tapi salah sendiri, gadis itu sengaja mengabaikan tugas, bahkan tidak merasa bersalah sedikitpun. Sudah beruntung ia tidak sampai memecat. Namun, kenapa hatinya malah makin gundah?
Di luar, Andrea mendekati Aerin. Fini masih berdiri di sebelah Aerin dengan raut wajah bersalah.
"Kenapa kau mengemasi barang-barangmu?" tanya Andrea melihat Aerin mengemasi semua barang-barangnya.
"Dokter Aerin, aku ..." Fini terus menatap Aerin penuh perasaan bersalah. Andrea menatap keduanya bingung. Aerin yang terus mengemasi barang-barangnya, dan Fini yang tidak pindah-pindah juga dari samping gadis itu.
"Fini, jelaskan apa yang terjadi?" Andrea meminta penjelasan pada Fini.
"D ... Dokter Aerin ... Dipindahkan kembali kebagian umum dan dilarang bertugas selama seminggu."
"Apa?!" pekik Andrea tidak menyangka.
Dokter Anson benar-benar keterlaluan. Kenapa langsung mengambil keputusan memindahkan Aerin seenaknya begitu? Sekalipun dia adalah anak pemilik rumah sakit, tapi tidak bisa seenaknya begitu juga kan.
"Aku harus bicara dengan dokter Anson." katanya bersiap-siap melangkah keruangan Anson tapi suara Aerin menahannya.
"Andrea," Andrea menghentikan langkah dan berbalik menatap Aerin yang menggeleng padanya.
"Biarkan saja. Lagipula aku tidak begitu suka di sini. Aku hanya di kembalikan ketempat semula, bukan dipecat." ucap Aerin dengan wajah tegar. Meski dalam hatinya ia merasa sesak. Ia tidak bisa memungkiri bahwa masih ada perasaan yang tersisa dalam hatinya untuk Anson. Itu sebabnya ia merasakan sesak mengetahui pria itu masih sangat membencinya.
"Tapi Aerin,"
"Semuanya selain dokter Aerin, kita dipanggil keruangan dokter Anson sekarang juga." seru Salma yang bekerja sebagai perekam medis. Semua yang ada diruangan itu termasuk Fini dan Andrea mau tak mau ikut pergi meninggalkan Aerin.
Aerin tersenyum kecut. Lalu memasukan lagi semua barang-barangnya dikotak besar. Tak butuh waktu lama baginya untuk meninggalkan ruangan itu. Ia sempat menatap ke dalam ruangan Anson sebentar. Zig blind tirai sudah kembali dibuka oleh pria itu jadi Aerin bisa melihat sosok di dalam sana dengan jelas.
Sesaat tatapan mereka bertemu. Anson menatapnya dari dalam sana dengan tatapan tajam yang begitu mengintimidasi. Aerin sendiri berusaha terlihat sebiasa mungkin. Ia tidak ingin pria itu melihat kelemahannya. Ia bahkan tersenyum lebar pada Anson di dalam sana.
"Astaga, lihat dia. Sudah buat kesalahan fatal tapi masih tersenyum lebar begitu. Tak ada rasa bersalah dan tanggung jawabnya sama sekali."
"Kau tahu sendirikan dokter Aerin itu tidak pernah bekerja serius. Jelaslah dia tidak akan merasa bersalah. Orang pikirannya hanya mencari pria tampan dan kaya raya saja sepanjang waktu."
"Jaga mulut kalian, jangan sembarangan memfitnah orang." sergah Andrea merasa tidak terima. Tega sekali mereka menjatuhkan Aerin saat gadis itu tidak ada. Didepan Anson pula. Kan nama Aerin bisa makin buruk.
Bisik-bisik itu bahkan terdengar begitu jelas ditelinga Anson. Pria itu tidak suka mendengarnya. Apalagi sekarang masih jam kerja tapi mereka semua malah bergosip.
"Sekali lagi kalian bergosip di depanku, aku pastikan besok kalian semua keluar dari tim ini!" ancam Anson murka. Suasana langsung berubah hening dan mencekam.