Binar jatuh cinta pada kakak kelasnya sudah sangat lama, namun ketika ia merasa cintanya mulai terbalas, ada saja tingkah lelaki itu yang membuatnya naik darah atau bahkan mempertanyakan kembali perasaan itu.
Walau mereka pada kenyataannya kembali dekat, entah kenapa ia merasa bahwa Cakra tetap menjaga jarak darinya, hingga ia bertanya dan terus bertanya ..., Apa benar Cakrawala juga merasakan perasaan yang sama dengannya?
"Jika pada awalnya kita hanya dua orang asing yang bukan siapa-siapa, apa salahnya kembali ke awal dimana semua cukup baik dengan itu saja?"
Haruskah Binar bertahan demi membayar penantian? Atau menyerah dan menerima keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17. Jaket
Sampai malam tiba, Cakra masih belum membalas pesan atau pun menelepon Binar kembali. Gadis itu sampai ketiduran ketika menunggu balasan chat dari Cakra. Binar mengerang pelan, lalu mengerjapkan mata. Ia mengusap matanya sesaat. Tangan kanan Binar meraba sekitar ranjangnya, dan ketika mendapat benda yang ia duga adalah smartphone miliknya, Binar mengambilnya. Gadis itu menghidupkan smartphone.
Ada pemberitahuan terlihat di layar smartphone, hal itu membuat Binar memicingkan mata. Satu panggilan tak terjawab dari kontak yang ia namai 'Kak Cakra❤'.
Binar langsung terbangun dengan kedua mata membulat sempurna. Ia duduk bersila. Pratinjau di pop up menunjukkan chat yang masuk dari orang yang sama dengan orang yang panggilannya tak terjawab oleh Binar. Cakra memanggilnya pukul sepuluh malam. Ia kini membuka pesan dari lelaki itu.
Kak Cakra❤: Mulai besok, berangkat sendiri. Gue nggak akan antar jemput lo lagi.
Binar mengerjap, ia mengulangi apa yang barusan ia baca sampai yakin bahwa itu bukanlah mimpi. Cakra tidak mau mengantar jemputnya lagi? Itu artinya ... Cakra benar-benar marah sampai tak mau bertatap muka dengannya? Hati Binar retak lagi. Gadis itu meraup rambutnya frustrasi sambil memejamkan kedua matanya sesaat. Membaca hal itu saja terasa ada yang mengimpit dadanya, sesak. Ia takut hal lebih buruk terjadi pada hubungannya dengan Cakra. Cukup dulu saja merenggang, sekarang ketika ia sudah menjadi pacar lelaki itu ... tidak boleh!
***
Binar sudah sampai di sekolah, mau tak mau karena harus mau. Ia kembali diantar salah satu sopir keluarganya ke sekolah. Gadis itu melangkah di koridor yang sudah cukup ramai.
"Eh Bi, lo nggak berangkat sama Cakra? Gue lihat tadi dia udah datang duluan," kata Sasha yang sepertinya dari kantin karena membawa pop ice di tangannya.
Binar tersentak pelan, agak kaget karena tak menyangka kedatangan kakak kelasnya itu. Ia tersenyum. "Oh itu ... aku yang minta kak Cakra duluan, soalnya tadi aku agak kesiangan."
Sasha mengangguk sambil ber-oh-ria. "Kalau gitu gue duluan ya," katanya.
Binar mengangguk, setelah Sasha berlalu dan cukup jauh darinya. Binar memanyunkan bibir. Mau dia berangkat sama siapa kek bukan urusan nenek sihir itu! Binar mendumel kesal dalam hati. Ia jadi mengikuti Cakra memanggil Sasha dengan sebutan nenek sihir. Walau sejujurnya Binar harus mengakui dengan berat hati, Sasha terlalu cantik untuk dipanggil nenek sihir.
Ia jadi kepikiran lagi, sedekat apa Cakra dengan Sasha di kelas mereka? Gadis itu menghela napas panjang. Suasana hatinya mendung seperti halnya pagi ini.
"ET DAH BUSET!"
"ADUH!"
Binar bertabrakan dengan seseorang ketika akan baru saja memasuki pintu kelasnya. Ia mendongakkan kepala sambil menyentuh keningnya yang sepertinya berbenturan dengan dada orang itu.
"Ih, ngapain sih lo? Jalan pakai mata dong! Lihat-lihat dulu!" kesal Binar.
"Buset galak bener, pms lo? Btw, jalan tuh pakai kaki, bukan pakai mata!" kata ketua kelas Binar. Namanya, Rama.
"BODO AMAT!" bentak Binar kesal lalu mendorong lelaki itu sampai tak menghalangi jalannya.
Ia memasuki kelas sambil cemberut. Rama mengernyitkan kening dengan wajah terheran-heran melihat itu. Ia menggelengkan kepala beberapa kali.
"Dih, sarap!" gumamnya. Kemudian melangkah menuju keluar kelas.
Pelangi melihat Binar datang. Oh wajah itu. Sekarang masalah apalagi? Kemarin ceria, kemarinnya lagi mendung, besok senang, sekarang cemberut, besoknya lagi Pelangi pastikan suasana hati Binar kemungkinan juga berbeda.
"Bi, kenapa lo?" tanya Pelangi setelah Binar duduk di kursi di dekatnya.
"Gue benci nenek sihir!" kata Binar kesal.
Kening pelangi mengernyit. Gadis itu menganga sesaat dan mengerjap beberapa kali. "Nenek sihir?"
"Sasha, Na! Masa lo nggak tahu!"
"Ya mana gue tahu nenek sihir yang lo maksud tuh Sasha? Tapi Sasha yang mana?"
Binar mendelik garang. "Lo nyebelin banget deh, ya lo pikir aja ada berapa Sasha di sekolah ini?"
"Nggak tahu lah, lo pikir gue tahu berapa orang yang namanya Sasha di sekolah ini?" ucap Pelangi.
Binar mendecak singkat, melihat itu Pelangi langsung nyengir.
"Kenapa lagi lo? Ada masalah apa sama dia sampai lo manggil dia nenek sihir?"
Binar menatap Pelangi. "Lo tahu kan Sasha yang satu kelas sama kak Cakra?" tanyanya.
Pelangi mengangguk. "Iya, terus? Kan Bima juga di kelas itu, sayang."
"Gue rasa si Sasha mau rebut kak Cakra dari gue!"
"Tunggu, kenapa dia mau lakuin itu?" tanya Pelangi dengan ekspresi heran.
"Ya karena dia itu pelakor! Dia pasti mau rebut kak Cakra dari gue! Kelihatannya aja sok baik, gue yakin di kelasnya pasti dia godain kak Cakra terus!" kata Binar dengan ekspresi dendam.
"Kenapa lo bisa menyimpulkan kayak gitu? Dari mana lo tahu? Dulu lo juga sempat curiga sama kak Ravana yang dekat banget kayak sepasang sandal jepit sama kak Cakra, padahal mereka cuma berteman. Sekarang sama kak Sasha, padahal menurut penglihatan gue mereka kayak teman sekelas biasa aja kok. Bahkan mungkin kalau di luar kelas nggak kelihatan terlalu akrab kayak halnya kak Ravana sama kak Cakra dulu."
Kening Binar mengernyit. "Lo nggak percaya sama gue, Na?"
"Bu-bukan gitu Bi, gue cuma---"
"Gue paham, lo nggak tahu apa yang gue alami. Jadi wajar aja kalau lo nggak percaya sama gue, nggak papa kok," potong Binar.
"Bi---"
"Bentar lagi bel masuk bunyi kayaknya." lagi-lagi Binar memotong ucapan Pelangi.
Gadis itu berbalik membelakangi Pelangi untuk melepaskan jaket yang ia pakai, lalu mengeluarkan buku pelajaran. Pelangi menghela napas melihatnya. Ia hanya ingin mengatakan, Binar tidak baik curiga seperti itu. Ia tahu ia tak merasakan apa yang Binar alami. Ia hanya berpikir bahwa pemikiran Binar mungkin tak benar, tapi meski begitu, Binar akan selalu mendapat kepercayaannya, meskipun nantinya apa yang Binar duga salah.
***
Pelangi tak tahu apa yang terjadi pada Binar. Karena sejak ia kembali dari kantin, Binar sudah ada di kelas, duduk di kursinya sambil menyembunyikan wajah di lipatan tangan. Ia kira Binar masih berada di kelas Cakra karena gadis itu tadi bilang tidak akan ke kantin dan membawa bekal untuk dimakan bareng bersama Cakra.
Tapi gadis itu malah terlihat semakin murung, ia tak bersemangat ketika pelajaran berlangsung. Tak seperti Binar ketika telah bertemu Cakra. Hujan deras yang kini turun seakan mendukung suasana hatinya.
Beberapa saat terlewati, sampai kini bel pulang sekolah berbunyi. Semua murid di kelas Binar merapikan alat tulis mereka, bersiap untuk pulang meski di luar masih hujan deras.
"Bi, gue minta maaf. Gue percaya sama lo kok. Lo kenapa? Jangan kayak gini, lo jadi agak seram kalau murung gini," kata Pelangi.
Binar menggelengkan kepala. "Nggak papa Na," katanya.
"Kalau lo nggak papa, lo nggak akan murung kayak gini."
"Gue cuma mau sendiri," kata Binar.
Pelangi menghela napas sesaat, kemudian mengangguk. "Oke, lo bisa cerita apa pun sama gue, lo tahu itu. Kapan pun lo butuh panggil aja gue," kata Pelangi, lalu menepuk pundak Binar sekali dan berlalu pergi lebih dulu menuju keluar kelas karena Bima sudah menunggunya.
Binar hanya melihat kepergian sahabatnya itu. Bima melambaikan tangan padanya yang dibalas oleh Binar dengan senyuman tipis, lalu, Pelangi dan Bima pergi. Gadis itu menghela napas, ia kini berdiri dan menggendong tasnya. Tadi sudah mengirimkan pesan agar dijemput oleh sang sopir.
Kali ini ia melangkah keluar kelas dengan tak semangat. Beberapa orang tampak menunggu hujan reda di koridor. Binar juga akan menunggu sang sopir di ujung koridor nanti sampai sopirnya memasuki sekolah, lalu turun dari mobil menjemputnya menggunakan payung agar tak kehujanan. Perlu diingat, bahwa kala itu Binar pernah memutuskan bahwa ia membenci hujan.
Kini, gadis itu sudah berada di ujung koridor. Menunggu bersama beberapa murid lain, bedanya mereka menunggu hujan reda, sementara ia menunggu sopirnya.
Tapi, aroma yang ia cium ... Binar mengenal wangi ini, dan rasanya dekat sekali. Ia menoleh ke samping kiri dan langsung membulatkan mata melihat yang berdiri di sampingnya adalah Cakra.
"Kak Cakra?" ucapnya refleks.
Cakra menoleh ke arah Binar, kemudian kembali menatap ke depan pada rintik hujan yang berjatuhan. Binar menatap lelaki itu dari samping, kemudian menatap ke arah sepatunya dengan murung. Seperti dugaannya, Cakra seolah enggan bahkan untuk sekadar bertatapan.
"Lo bawa jaket?" tanya Cakra.
"Ha?" Binar mendongak pada lelaki itu.
Kemudian ia malah menatap ke sekeliling, takut Cakra bertanya pada orang lain.
"Lo, Bi. Lo bawa jaket nggak?"
"O-oh aku? Bawa."
"Pakai."
"Oke." Binar nurut, langsung mengambil jaket dari dalam tasnya.
Ia cukup senang kali ini Cakra berbicara padanya. Binar tersenyum kecil. Cakra tak semarah itu, buktinya, lelaki itu masih peduli padanya.
Binar kini telah mengenakan jaket. Lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya.
Cakra menoleh, ia memegang kedua lengan Binar sampai gadis itu menghadap ke arahnya. Meski berusaha, tetap saja, Cakra tak bisa untuk tak peduli pada Binar. Lelaki itu memakaikan kupluk jaket pada kepala gadis itu, lalu menarik resleting jaket Binar sampai dada, ia berhenti dan menatap gadis itu.
Binar terkejut dengan apa yang Cakra lakukan. Entah salah lihat atau memang benar, ia melihat lelaki itu tersenyum simpul. Sebelum akhirnya, pandangannya tertutup karena Cakra menarik resleting jaket Binar sampai atas dan menutupi wajah gadis itu. Cakra menarik tangannya, ia terkekeh pelan tanpa Binar tahu.
"Iih Kak Cakra!" Binar membuka resleting jaket sampai ia bisa menatap Cakra yang santai saja menatap rintik hujan.
"Kak Cakra jahil banget sih!" kata Binar sambil manyun dan memukul lengan lelaki itu.
Tanpa Binar sangka, Cakra mendorongnya pelan dengan tubuh lelaki itu. Binar tersenyum, ia membalas mendorong Cakra. Mereka jadi saling mendorong, Binar terkejut ketika hampir jatuh ke depan, ia balas mendorong Cakra sambil tertawa.
Cakra termundur, tanpa sadar tak ada lagi tumpuan untuk kakinya menapak di belakang. Lelaki itu kaget, ia akan jatuh dan tangannya malah refleks menarik tangan Binar untuk pegangan. Tentu saja, Binar tak kuat menahan bobot tubuh Cakra.
Semua murid yang ada di sana memekik melihat itu.
Brukkk!!!
Mereka berdua terjatuh dengan Cakra yang berada di bawah Binar dan jaket bagian punggungnya otomatis basah dan kotor. Binar berada di atas lelaki itu. Seolah waktu berhenti, keduanya hanya saling menatap di bawah hujan.
Setidaknya untuk beberapa detik sebelum sebuah erangan terdengar.
"Ah, punggung gue basah." Lelaki itu meringis sesaat.
Binar mengerjap tersadar. Ia buru-buru berdiri, lalu membantu lelaki itu berdiri juga.
"Maaf, Kak," kata Binar setelah keduanya kembali meneduh.
"Nah basah kan, lagian kalian ngapain sih? Tuh azab romantisan di depan jomblo, dibayar tunai," kata salah satu murid lelaki yang melihat keduanya sedari tadi.
Yang lain menyahuti. Ada juga yang hanya tertawa. Binar meringis sembari tersenyum malu, Cakra meratapi nasib pakaiannya yang basah. Pakaian Binar juga basah sih, tapi ia tak terlalu peduli.
"Gue pulang duluan," kata Cakra. Kemudian berlari menuju parkiran. Binar hanya menatap lelaki itu sambil tersenyum kecil.
"Yah, kok ditinggal?" salah satu murid kembali menyahut.
Binar menoleh sambil tersenyum padanya. "Gue dijemput sama salah satu sopir di rumah gue pakai mobil. Soalnya kak Cakra bilang, kalau gue ikut dia pulang naik motor, nanti kehujanan, dia pasti nggak mau gue sakit karena itu," dustanya.
Gadis itu kembali menatap ke depan sambil masih tersenyum ketika Cakra sudah pergi menerobos hujan dengan motornya.
Binar batalkan apa yang ia ucapkan waktu itu. Ia menatap langit yang masih menumpahkan tangisannya, kali ini Binar tersenyum. Ia tak lagi membenci hujan!