Binar Cakrawala
"Lihatin aja terus! Sampai kedua bola mata lo copot!"
Binar tersentak kaget karena itu. Ia refleks mendelik pada Pelangi, kemudian menghela napas kasar dengan bahu yang mulai meluruh lesu.
"Ganggu aja lo. Ha ..., Padahal dulu kami pernah dekat, kenapa jadi kayak gini ya?"
"Kasihan banget kawan gue."
Binar memutar kedua bola matanya. Kemudian menegakan tubuh.
Ia menatap Pelangi dengan sorot memohon.
"Comblangin gue sama Kak Cakra lagi dong! Cowok lo kan sahabat dia."
Pelangi mendengus pelan. "Dicomblangin juga percuma, gue udah nyomblangin dari lama. Lo tuh sebenarnya punya kesempatan besar tanpa harus dicomblangin, cuma lo nggak pede sama diri lo sendiri. Gue jamin, baru dekat semeter aja sama kak Cakra, lo udah mengap-mengap duluan saking gugupnya," kata Pelangi sirat nada mengejek.
Binar manyun sesaat. Ia juga tak begitu mengerti dengan dirinya, apalagi dengan hatinya sendiri. Saat dekat Cakra jantungnya jadi nggak karuan. Otaknya kayak orang goblok. Susah untuk terlihat elegan dan tidak salting.
Pelangi menatap sahabatnya yang terlihat nelangsa dengan prihatin sambil geleng-geleng kepala. Mereka sedang jam kosong, jadi memilih ke perpustakaan, bukan untuk membaca, namun untuk melihat kelas sebelas MIPA 1 yang sedang olahraga dari balkon perpustakaan.
Binar masih meratapi diri. Dari dulu sukanya sama satu cowok, sebenarnya pernah suka sama cowok lain sih, tapi cuma sebentar dan sebatas suka, balik lagi ke Cakrawala.
"Udah nyerah aja, terima tuh si Surya yang dari dulu ngejar lo," kata Pelangi.
"Gimana sih? Gue maunya Cakrawala malah disodorin Surya. Ogah!"
"Terus mau sampai kapan kayak gini? Jomblo aja lo udah kebanyakan makan hati, gimana kalau jadi pacarnya nanti?" cibir Pelangi.
"Gue aamiin-in bagian yang jadi pacarnya kak Cakra aja."
Pelangi memutar kedua bola matanya, lalu ia menatap pada lelaki yang ada di lapangan voli yang kini sedang bermain voli bersama Abimanyu, Cakrawala. Tatapannya beralih, menatap lawan main Cakra yang berada di seberang lelaki itu. Ia jadi keasikan sendiri memperhatikan Bima, pacarnya.
"Temen lagi sedih malah senyam-senyum!"
Sindiran keras dari Binar yang kini manyun membuat Pelangi memutar kedua bola mata.
"Terus gue harus gimana, Tuan Putri?"
"Ya gimana dong. Nggak setia kawan lo, Pel. Lo punya cowok, gue nggak."
Pelangi capek.
***
Bel dari surga baru saja berbunyi, begitu Binar menyebutnya. Gadis itu berjalan di koridor bersama beberapa teman sekelasnya juga dengan Pelangi, sahabatnya, mereka menuju kantin untuk mengisi perut yang sudah keroncongan minta diisi. Walau berikutnya, langkah mereka jadi berhenti ketika berpapasan dengan tiga cowok yang baru saja menuruni tangga.
"Eh, Pelangi dan kawan-kawan ternyata. Mau ke kantin?" tanya Putra.
"Iya nih, Kak."
Pelangi meringis sesaat merasakan cengkraman di pergelangan tangannya. Ia menoleh pada Binar yang nampak menahan gugup dan agak menunduk. Pelangi menatap ke arah Cakra, ia mengangkat alis melihat lelaki itu menatap sahabatnya.
"Wah sama dong! Kebetulan, mau bareng aja?" tanya Putra antusias. Kemudian menyenggol lengan Cakra dan Bima dengan masing-masing tangannya.
"Boleh, yuk bareng aja," kata Bima kemudian meraih tangan pelangi dan menggandengnya. Membuat Pelangi membelalak dan kini pasrah ikut berjalan ketika Bima mulai berjalan.
"Eh, Kak bentar! Temanku itu!"
"Udah nanti juga diiringin sama si Puput, kita duluan aja," kata Bima.
Ia menatap Pelangi lalu tersenyum hingga lesung pipit di pipi kanan dan kirinya tercetak sangat jelas. Putra melengos, ia ditinggal! Lelaki itu jadi menoleh pada beberapa teman sekelas Pelangi yang malah jadi cengo menyaksikan kepergian Bima dan Pelangi.
"Eh para ciwik, silakan duluan. Gue di belakang kalian."
"A-ah iya, Kak."
Nggak sia-sia mereka ke kantin bareng Pelangi yang punya pacar salah satu kakak kelas cogan. Mereka mulai melanjutkan langkah, Binar baru saja hendak melangkah, ia ingin menyusul sahabatnya yang malah meninggalkannya di sini. Sialan memang! Tapi, langkahnya terhenti ketika sebuah tangan mencekal pergelangan tangannya, tanpa sadar Binar menahan napas karena tahu itu tangan siapa. Orang yang ia hindari sekaligus penyebab detak tak biasa yang muncul di jantungnya.
"Buru-buru amat."
Binar menoleh takut-takut pada Cakra, baru saja menatap laki-laki itu ia sudah menunduk lagi. Bola matanya bergerak kesana-kemari, berusaha menghindari tatapan lawan bicaranya.
Binar menyemangati dirinya sendiri dalam hati.
"A---anu itu Kak, eumh ..."
Binar yang baru saja akan melangkah tak jadi lagi karena tangannya ditarik lelaki itu. Ia kaget setengah mati. Memang cuma tangan yang ditarik, tapi efeknya sampai ke seluruh tubuh. Jantungnya terasa akan meledak, dan rasanya ada sensasi geli yang menyebar dari atas kepala sampai bawah kaki.
"Lo nggak papa?" tanya Cakra merasa Binar hanya diam saja.
Oh tentu saja tidak. Binar ambyar, ia berusaha agar tak terlihat gugup.
"I-iya, nggak papa. Kenapa?" namun ekspektasi tak sesuai realita.
"Oh ... nggak."
Hawa canggung begitu kentara di antara mereka.
"Gimana kabar lo?" pertanyaannya begitu klise, tapi Binar tetap senang.
"Baik. Kak Cakra gimana?" Kali ini ia tidak boleh terlihat cupu. Binar takut Cakra akan illfeel.
"Baik, kayaknya ini yang terbaik."
Binar tak tahu kenapa saat ini ia bergandengan tangan dengan Cakra. Rasanya seperti anak TK yang mau nyeberang. Tapi begitu menyenangkan ketika tangannya digenggam lelaki di sampingnya ini. Gadis itu menahan senyuman yang nyaris terbit di bibirnya. Tangan Cakra yang besar dan hangat melingkupi jemari kecilnya.
Apakah ia bermimpi? Mimpi ini terlalu nyata. Tanpa sadar, Binar meremas tangan Cakra yang menggenggamnya.
"Kenapa?" Cakra menoleh.
Mereka bertatapan, membuat Binar sempat terdiam lalu menelan ludah.
"Kenapa apa?" Binar cukup heran ditanya demikian, suaranya agak mencicit.
"Naikin dikit volume suara lo, eh, muka lo merah!"
Binar tak masalah jika saat ini juga ia menghilang dari muka bumi. Perempuan itu tak tahu harus berkata apa. Memang kelihatan banget? Binar mengerjapkan mata. Mana Cakra malah langsung nembak tepat gitu.
"Santai aja. Wajar kalau lo deg-degan apalagi sama orang ganteng."
Kening Binar berkerut, kini ia mendongak dan menatap Cakra yang juga menatap padanya. Perempuan itu tak bisa santai jika Cakra terus di dekatnya seperti ini. Cakra malah mengusap-ngusap dagu dengan tangan kanannya yang bebas. Nyaris, hampir sama seperti penjahat ganjen yang beberapa kali Binar lihat di iklan sinetron.
"Jomblo kan lo?"
"Iya, kenapa?"
"Cuma mau mastiin." Cakra mengangkat bahu
"Ka-kakak juga jomblo kan? .... ayo pacaran aja." Binar berucap pelan di ujung kalimatnya tanpa sadar. Wajahnya semakin panas.
"Oke, ayo pacaran."
"Hah?!" Binar kaget karena Cakra menjawab ucapannya. Perasaan ia berucap dalam hati.
Jantung Binar seakan berhenti berdetak. Gadis itu menganga.
"Lo barusan nembak gue kan?"
Binar menggelangkan kepala cepat. "Nggak! Anu---barusan aku---"
"Nggak usah malu-malu. Mulai sekarang lo cewek gue."
Lelaki itu melepaskan pergelangan tangannya. Kemudian melangkah terlebih dahulu. Berbeda dengan Binar yang kini seolah mematung di tempat berusaha mencerna perkataan Cakra barusan.
Gimana?
Barusan dia ditembak? Apa dia yang nembak? Apa tadi kata Cakra? Dia ceweknya cowok itu? Ok, tarik napas dulu.
"Heh! Malah ngelamun!"
Lamunan Binar buyar karena seruan itu, ia menatap Cakra dengan wajah cengo.
"Apa Kak?"
"Mau ke kantin nggak?"
"Iya."
Lelaki itu melanjutkan langkah, Binar kini juga melangkah dengan hati yang penuh bunga-bunga bermekaran. Ia mengulum bibir dan menahan senyum.
Binar jadi ingin jungkir balik, meski ia tak bisa.
Kalau nggak di depan Cakra, ia pasti sudah jumpalitan ketika lelaki itu mengatakan bahwa Binar adalah ceweknya. Meski caranya jauh dari kata romantis, teramat sangat tidak elit dan jauh dari harapan Binar yang ingin ditembak super romantis diberi kejutan sambil nyanyi dan dikasih bunga atau boneka, tapi tidak apa-apa.
Tapi Binar masih bingung, mereka benar-benar pacaran sekarang?
Kenapa ia tidak digandeng seperti tadi?
Tapi, ia memang lagi nggak di-prank kan?
Jika ini mimpi, ia tidak mau bangun!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments