Jangan pernah sesumbar apapun jika akhirnya akan menelan ludah sendiri. Dia yang kau benci mati-matian akhirnya harus kau perjuangkan hingga darah penghabisan.
Dan jangan pernah meremehkan seseorang jika akhirnya dia yang akan mengisi harimu di setiap waktu.
Seperti Langit.. dia pasti akan memberikan warna mengikuti Masa dan seperti Nada.. dia akan berdenting mengikuti kata hati.
.
.
Mengandung KONFLIK, di mohon SKIP jika tidak sanggup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Menguji perasaan.
"Bagaimana nih, nanti saya tidur di luar atau di kamar?" Tanya Bang Ratanca karena wajah Dinar memang melihatnya.
"Di dalam saja..!!" Jawab Dinar.
...
POV Bang Ratanca on..
Malam ini aku tidur di dalam kamar bersama Dinar namun aku harus memakai masker wajah karena istri kecilku tidak tahan melihat wajahku dan entah sejak kapan istriku mulai 'geli' melihat wajahku.
'Inilah rasanya kesal tapi tidak sanggup marah, bagaimana bisa marah kalau ternyata kamu yang mencari perkara denganku.'
Dinar mengigau memanggil nama Langkit. Senyumku langsung berubah menjadi temaram mendengar nama pria lain di sebutnya namun aku paham, pondasi rasa kasih sayang di antara aku dan Dinar masih sangat dangkal. Aku pun tidak bisa menyalahkan istriku tapi aku janji, aku akan membuatnya jatuh cinta padaku suatu hari nanti.
***
Pagi tiba, Dinar menggeliat. Nampaknya hari ini Dinar akan berangkat ke kampus karena kemarin istriku membatalkan kegiatannya.
"Apa hari ini kamu sehat, dek?" Tanyaku. Wajar aku begitu mencemaskan Dinar terlebih istriku ini tengah mengandung buah hati pertama kami.
"Sehat. Memangnya Dinar terlihat tidak sehat?" Dinar balik bertanya padaku.
"Bukan begitu, sayang. Kehamilanmu masih sangat muda. Saya cemas kamu kecapekan.........."
"Dinar sehat, apakah karena penyakit ini semua orang jadi meremehkan Dinar?????" Ucap Dinar kesal.
Aku menjepit bibir Dinar dengan jariku. Tidak akan kubiarkan istriku menyebutkan kata 'terlarang' itu di hadapanku.
Tidak banyak orang tau bahwa istriku mengidap kelainan jantung saat kelahirannya, itulah sebabnya Ayah mertuaku begitu mewanti-wanti diriku bahkan sempat menolak ku tapi aku tidak mundur sedikit pun dari niatku.
Flashback Bang Ratanca on..
"Menjauhlah dari putri saya, Dinar." Pinta Ayah mertuaku saat itu.
"Saya mencintai putri Bapak."
"Cintamu hanya cinta dangkal, hanya sebuah permainan dari rasa kagum dan penasaran. Dinar belum dewasa, dia masih polos untuk menanggapi perasaanmu..!!" Jawab Pak Navec seakan benar-benar tidak ingin tau dengan hatiku.
"Perasaan saya murni, perasaan seorang laki-laki untuk perempuan. Tidak peduli apakah usianya setingkat dengan saya, lebih tua, ataupun jauh lebih muda. Hati saya tetap untuk Dinar." Ucapku tanpa ragu.
Mungkin benar adanya jika proses menuju halal sangatlah berat. Seperti yang aku alami saat ini, betapa sulitnya diriku melunakkan hati Pak Navec.
Pak Navec tersenyum kecut. Jelas sekali seorang Navec meremehkan perasaanku untuk putrinya.
"Apa yang saya lakukan adalah bentuk rasa sayang dan perlindungan saya untuk Dinar, bukankah semua yang saya lakukan masih dalam batas wajar. Lagipula, kau bisa memilih wanita cantik dan sehat daripada putri saya..!!" Kata Pak Navec saat itu.
Keningku berkerut, aku penasaran dengan ucapan Pak Navec. Sehat seperti apakah yang di maksud komndanku.
"Dinar mengalami kelainan di saat kelahirannya, itulah sebabnya saya sedikit lebih 'mengistimewakan' Dinar di bandingkan dengan saudaranya yang lain. Bukan karena dia anak kandung saya ataupun dia yang paling kecil dalam keluarga, tapi semua bisa memaklumi keadaannya."
Sungguh hatiku kaget mendengarnya. Ternyata ceria nya seorang Dinar juga mengalami masalah yang begitu berat, namun sekali lagi kembali pada permasalahan awal. Cinta.. tidak akan pernah bisa di tebak hadirnya, bahkan untuk berlabuh pada tuan nya.
"Saya tidak mengijinkan kedua putri saya untuk pacaran, terutama dengan pria yang profesinya adalah seorang tentara. Tidak perlu saya jelaskan alasannya, kau pun pasti paham. Saya hanya seorang ayah biasa yang menginginkan putrinya bahagia. Jika benar cinta seorang anak perempuan adalah ayahnya, biar saya saja yang akan menyelesaikan nya hingga akhir, sebab saya tidak akan rela jika putri saya menangis di tangan laki-laki yang tidak tepat. Kejadian malam ini membuat saya semakin takut untuk melepaskan putri saya untuk mengenal dunia." Ucap Pak Navec.
Batinku tersentak, tapi sungguh di dalam lubuk hatiku hanya ada gadis kecil putri kesayangan panglima.
"Baiklah Pak. Bapak lebih mengenal sosok Dinar, tapi saya juga tidak ingin merusak putri bapak, berpacaran untuk saling mengenal pun tidak di ijinkan. Jika berkenan, bolehkah saya menikahi putri bapak?" Tanyaku tanpa ragu.
Pak Navec memejamkan matanya, jelas pria setengah baya tersebut memikirkan dengan matang permintaan dariku. Aku pun diam dan sabar menunggu keputusan dari beliau. Aku hanya bisa pasrah dan berdo'a, jika memang semua ke arah yang lebih baik.. kuharap Tuhan mengabulkan permohonanku.
Flashback Bang Ratanca off..
"Seorang suami juga boleh, bahkan wajib mencemaskan istrinya." Kataku.
"Om Ran, kenapa Tuhan tidak memberikan raga yang sehat untuk Dinar?" Tanya Dinar padaku.
Jujur sebagai seorang suami, aku terpukul mendengarnya. Tapi aku pun harus menyadari bahwa segala apapun yang di ciptakan dan di takdirkan Tuhan di dunia ini pasti sudah memiliki porsinya masing-masing.
Aku menarik tangan Dinar dan mengarahkan istri kecilku agar bisa lebih erat memeluk ku.
"Kata siapa tidak sehat? Kenapa istri Om Ran punya pikiran seperti itu? Apa karena ada satu masalah dalam hidup kita lalu kita jadi menyalahkan Tuhan???? Tidak begitu, sayang..!! Ingat.. kita manusia harus senantiasa penuh rasa syukur. Manusia tidak boleh terlalu melihat ke atas saat berjalan agar tidak tersandung. Kamu punya dua tangan dan kaki yang lengkap, paras yang cantik, hidup pun nyaman. Satu lagi.. kamu bisa membawa nyawa lain dalam tubuhmu. Kesempurnaan apa yang kamu cari???? Langkit???" Ucapku pelan namun sekaligus ingin menyadarkan istri kecilku.
"Dinar juga pengennya lupa. Tapi Dinar nggak tau, kenapa wajah Om Langkit selalu di depan wajah Dinar." Jawab Dinar.
Aku membelai wajah ayu istri kecilku. Sebenarnya aku juga takut untuk 'memulai', hanya saja mungkin inilah satu-satunya cara agar batin kami saling bertaut.
"Dinar masih mual nggak, lihat wajah Om Ran??" Tanyaku.
Dinar mengangguk pelan namun matanya berusaha keras untuk menatapku.
"Om Ran bikin nggak mual lagi, mau nggak??"
"Caranya??" Mata Dinar berkedip-kedip menatapku.
.
.
.
.