Kumpulan Cerita Pendek Kalo Kalian Suka Sama Cerpen/Short Silahkan di Baca.
kumpulan cerita pendek yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dari momen-momen kecil yang menyentuh hingga peristiwa besar yang mengguncang jiwa. Setiap cerita mengajak pembaca menyelami perasaan tokoh-tokohnya, mulai dari kebahagiaan yang sederhana, dilema moral, hingga pencarian makna dalam kesendirian. Dengan latar yang beragam, dari desa yang tenang hingga hiruk-pikuk kota besar, kumpulan ini menawarkan refleksi mendalam tentang cinta, kehilangan, harapan, dan kebebasan. Melalui narasi yang indah dan menyentuh, pembaca diajak untuk menemukan sisi-sisi baru dari kehidupan yang mungkin selama ini terlewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfwondz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjadi Jahat Setelah Dikhianati Manusia.
Langit sore berwarna oranye kemerahan, seperti bara yang diam-diam membakar sisa-sisa kedamaian di hati seseorang. Bayu menatap kosong ke depan, duduk di pinggir dermaga, memandangi riak air yang tenang di bawahnya. Angin dingin berhembus pelan, tapi hatinya tak merasakan dingin itu. Jauh di dalam dadanya, ada sesuatu yang menggeram, siap untuk meledak kapan saja.
"Bayu! Kau di sini lagi?"
Suara Raka memecah keheningan. Bayu tidak menoleh, tetap menatap jauh ke lautan. Raka duduk di sebelahnya, menatap temannya yang terdiam seperti patung. "Kau tidak bisa terus seperti ini. Aku tahu semuanya berat, tapi—"
"Apa yang kau tahu?" potong Bayu, suaranya dingin dan datar. Mata hitamnya menoleh perlahan, memandang Raka dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kau tidak merasakannya. Kau tidak tahu seperti apa rasanya dikhianati oleh orang yang kau percaya sepenuh hati."
Raka terdiam. Ia tidak bisa menyangkal itu. Bayu, lelaki yang dulu ceria dan penuh semangat, kini hanyalah bayangan dirinya yang dulu. Pengkhianatan itu benar-benar menghancurkan hidupnya.
Semua berawal dari Anisa, gadis yang dulu menjadi segalanya bagi Bayu. Mereka sudah bersama sejak SMA, dan semua orang yakin mereka akan menikah suatu hari nanti. Bahkan, Bayu rela menunda mimpinya untuk menjadi seorang pelukis profesional demi Anisa. Ia mengambil pekerjaan yang tidak ia sukai, bekerja siang dan malam untuk mengumpulkan uang, karena mereka berencana untuk membangun hidup bersama.
Namun, kenyataan jauh dari harapan.
Anisa selingkuh.
Tidak hanya dengan siapa pun—tetapi dengan sahabat baik mereka, Aryo. Bayu mendapati mereka berdua di apartemen yang ia dan Anisa beli bersama. Hatinya hancur saat melihat Anisa dalam pelukan sahabatnya. Di sanalah semuanya berubah. Di sanalah Bayu mulai kehilangan kepercayaan pada siapa pun, termasuk dirinya sendiri.
"Bayu, aku tahu itu sulit," kata Raka pelan, "Tapi dendam tidak akan mengubah apa pun."
Bayu tertawa kecil, tawa getir yang penuh kepedihan. "Dendam?" Ia menatap Raka lagi, kali ini matanya berbinar dengan sesuatu yang gelap. "Ini bukan hanya tentang dendam, Raka. Ini tentang pembalasan. Mereka tidak bisa pergi begitu saja setelah menghancurkan hidupku."
"Kau harus berhenti berpikir seperti itu. Ini akan membuatmu gila."
"Siapa bilang aku belum gila?" jawab Bayu tajam. "Aku sudah kehilangan segalanya. Keluarga, cinta, persahabatan—semuanya hilang. Yang tersisa hanya amarah ini. Bara yang tidak akan pernah padam sampai aku membuat mereka menderita seperti yang aku rasakan."
Raka tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia ingin membantu temannya, tapi Bayu bukan lagi orang yang sama seperti dulu. Kegelapan perlahan merasuki hidupnya, dan Raka bisa merasakannya. Ia hanya bisa berharap Bayu akan sadar sebelum semuanya terlambat.
Malam itu, Bayu pulang ke apartemennya yang sepi. Tempat itu terasa semakin hampa sejak Anisa pergi, meninggalkan luka yang masih berdarah. Bayu duduk di meja makan, menatap kosong ke arah dinding yang penuh dengan coretan sketsa. Sketsa Anisa dan dirinya, sketsa mimpi-mimpi yang dulu mereka bangun bersama.
Tapi mimpi itu sudah mati. Dan Bayu sudah tidak punya keinginan untuk membangunnya lagi.
Di meja, sebuah foto lama tergeletak. Foto Bayu, Anisa, dan Aryo. Ketiganya tersenyum bahagia dalam foto itu, seolah-olah mereka tidak pernah mengenal penderitaan. Dengan satu gerakan cepat, Bayu merobek foto itu, memisahkan wajah Aryo dan Anisa.
Matanya berubah dingin. "Kalian akan merasakannya," bisiknya pelan, hampir tidak terdengar. "Kalian akan tahu apa yang terjadi ketika mengkhianati seseorang yang tulus mencintaimu."
***
Hari-hari berlalu. Raka mulai jarang melihat Bayu. Kabar dari teman-teman lain pun semakin berkurang. Hingga pada suatu hari, kabar buruk itu sampai.
Aryo ditemukan tak sadarkan diri di apartemennya. Tubuhnya penuh luka, dan ada bekas pukulan keras di kepalanya. Polisi menyebutnya sebagai perampokan, tetapi Raka tahu lebih baik. Bayu—ini pasti perbuatan Bayu.
Raka bergegas ke rumah sakit, mencoba menemukan jawaban. Aryo masih tak sadarkan diri ketika ia tiba, tetapi yang mengejutkan, Anisa ada di sana, menangis di samping ranjang Aryo.
"Anisa?" panggil Raka, meski suaranya nyaris tenggelam dalam gemuruh rasa khawatirnya. Anisa mengangkat wajah, matanya sembab.
"Raka...," suaranya parau, pecah oleh tangis. "Aku tak tahu harus bagaimana... Aryo... dia..."
Raka terdiam, menyadari betapa dalam rasa kehilangan yang dirasakan Anisa. Meski ada rasa marah dan muak karena apa yang telah dilakukannya pada Bayu, ia tidak bisa menutup mata terhadap kesedihan yang terpancar dari wanita itu.
"Siapa yang melakukan ini?" tanya Raka, meskipun di dalam hatinya ia tahu jawabannya.
Anisa menggeleng, air mata mengalir di pipinya. "Aku... aku tidak tahu. Polisi bilang ini perampokan, tapi... aku merasa ada yang tidak beres."
Raka memejamkan mata, berusaha menenangkan pikirannya yang berputar-putar. Ia harus menemukan Bayu. Ia harus menghentikannya sebelum semuanya terlambat.
Malam itu, Raka pergi ke apartemen Bayu. Ketika pintu terbuka, aroma tembakau segera menyergap hidungnya. Bayu berdiri di ambang pintu, matanya merah dan wajahnya kusut. Di tangannya, ia memegang sebatang rokok yang sudah hampir habis.
"Kau di sini untuk menegurku?" tanya Bayu tanpa basa-basi, suaranya terdengar lelah tapi penuh dengan ketegangan yang membara di bawah permukaan. "Aku tahu apa yang kau pikirkan, Raka."
Raka menatap temannya dengan sorot mata tajam. "Apa yang kau lakukan pada Aryo?"
Bayu tidak langsung menjawab. Ia menatap Raka selama beberapa detik, lalu tersenyum tipis. "Aku hanya memberinya pelajaran."
"Pelajaran? Kau hampir membunuhnya!" sergah Raka, tidak mampu menahan emosinya lagi. "Apa kau sudah benar-benar gila?"
Bayu tertawa kecil, suara yang terdengar aneh di telinga Raka. "Gila? Mungkin. Tapi mereka pantas mendapatkannya. Anisa, Aryo, mereka mengkhianatiku. Aku berhak membalasnya."
"Kau tidak bisa mengakhiri semuanya seperti ini, Bayu. Kau akan menghancurkan dirimu sendiri."
"Tidak, Raka," Bayu berjalan mendekati jendela, menatap ke luar dengan tatapan kosong. "Diriku sudah hancur sejak lama. Yang tersisa hanyalah kekosongan, dan aku hanya ingin mereka merasakan hal yang sama."
Raka berjalan mendekati Bayu, mencoba menyentuh bahunya, tetapi Bayu menepisnya. "Jangan sentuh aku. Aku tidak butuh kasihanmu."
"Ini bukan tentang kasihan, Bayu. Ini tentang menyelamatkanmu dari dirimu sendiri."
Bayu memalingkan wajahnya, menatap Raka dengan sorot mata tajam yang penuh kebencian dan rasa sakit. "Sudah terlambat untuk itu."
***
Hari-hari berikutnya, keadaan semakin tidak terkendali. Anisa menerima ancaman misterius, pesan-pesan aneh yang dikirim melalui surat tanpa tanda tangan. Ia mulai ketakutan, selalu waspada di mana pun ia berada. Namun, ia tahu siapa yang mengirimkan pesan-pesan itu. Dan ia tahu Bayu tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan apa yang diinginkannya.
Raka tidak bisa tidur selama beberapa malam. Ia tahu satu-satunya cara menghentikan ini adalah dengan mengadukan Bayu kepada polisi, tapi ia tidak sanggup melakukannya. Persahabatannya dengan Bayu terlalu berharga baginya. Namun, ia juga tidak bisa membiarkan Bayu terus tenggelam dalam amarah dan kebencian ini.
Hingga pada suatu malam, ketika Raka memutuskan untuk kembali ke apartemen Bayu, ia menemukan pintu itu sudah terbuka. Jantungnya berdetak kencang saat ia memasuki apartemen yang gelap. Di tengah ruangan, Bayu duduk di lantai, memeluk lututnya dengan kepala menunduk. Di sekelilingnya, foto-foto Anisa dan Aryo yang telah disobek berserakan.
"Bayu?" panggil Raka pelan.
Bayu tidak bergerak. "Mereka sudah merenggut semuanya dariku, Raka. Semuanya.